Rezeki Sang Tuan Sufi

abatasa | Senin, 08 April 2013 06:08 WIB | 9.053 kali
Rezeki Sang Tuan Sufi
Hendri adalah seorang pegawai kecil yang berpenghasilan minim, r.amun Allah memberinya amanah tujuh orang anak. Subhanallah Suatu saat, ia diajak temannya untuk menjemput tetangganya yang bernama Sartono di Bandara Soekarno-Hatta Jakarta. Saat itu Sartono baru pulang dari tempatnya bertugas di KBRI Chekoslowakia (sebuah negeri komunis di Eropa Timur) untuk menikmati cuti tahunan.

Dalam perjalanan menuju rumahnya, Sartono berkata, "Berapa anakmu sekarang, Hen?"
"Tujuh!"
"Wah, gimana memberi makannya tubll" Sergah Sartono sambil mengerutkan kening tanda sedang berpikir serius.

"Pak Sartono, biar saya orang kecil dan hanya guru SD, saya mah masih bisa memberi makan anak-anak saya! Saya punya Tuhan Yang Maha Kaya Pemberi rezeki!!!" Kata Hendri lantang.

Allah Maha Kuasa!!! Meski Hendri hanya seorang guru SD, tetapi ia dapat merawat ketujuh anaknya dengan baik. Berbeda dengan Sartono, seorang pejabat diplomat KBRI Cheko yang memiliki dua anak. Anak tertuanya ketika menginjak remaja putri terkena virus otak, sehingga menjadi cacat mental. Sementara anak keduanya laki-laki tewas tenggelam di sebuah danau saat sedang mengadakan lomba renang dalam memperingati HUT RI.

Itulah kehendak Allah Swt Yang Maha Tinggi dan Maha Pencipta yang menjamin rezeki setiap hamba-Nya. Bukanlah perkara aneh bagi-Nya untuk memberikan rezeki yang tiada terduga kepada seorang ayah berpenghasilan kecil seperti Hendri untuk dapat memberi nafkah dan makan kepada tujuh orang anak yang dititipkan Allah kepada hamba-Nya. Dialah Allah! Tuhan Yang Menjamin rezeki semua hamba-Nya.

Allah Swt berfirman, "Tiada yang melata di muka bumi melainkan Allah telah menanggung rezekinya." (QS. Hud [11]:6)

Seorang sufi pernah membaca ayat ini. Ia begitu yakin bahwa Allah Swt menjamin rezeki seluruh hamba-Nya. Namun, sang sufi ingin membuktikan hal tersebut, maka ia pergi ke sebuah bukit. Di atas bukit ada sebuah gua, lalu sufi duduk bersila di dalamnya. Sang sufi berniat untuk uzlah (mengisolasi diri dari dunia lain) demi membuktikan kebenaran ayat di atas. Ia bernazar tidak akan membuka mata seraya melihat, tidak membuka mulut seraya berbicara, dan tidak bergerak sedikit pun hingga ‘rezeki datang langsung ke mulutnya. Maka, duduklah sang sufi di dalam gua gelap tersebut.

Selang beberapa lama, hujan deras turun. Beberapa orang dari sebuah kafilah turut menepi untuk berteduh sejenak dalam gua yang sama. Saat salah seorang dari mereka menyalakan api untuk masuk ke dalam gua, dia melihat seseorang yang sedang duduk dalam kegelapan. Si pembawa obor pun mengucapkan salam, tetapi tidak ada balasan. Si pembawa obor mencoba memanggil beberapa rekannya. Begitu mereka mendapati ada orang di dalam gua yang terdiam tanpa membalas salam, mereka pun mencoba menepuk- nepuk punggung dan pundak sang sufi seraya berharap ada respon yang keluar dari dirinya. Sang sufi hanya diam tak bergeming. Salah seorang dari kafilah tersebut berujar, "Mungkin dia sudah terlalu lama tidak mendapat makan. Untuk membalas salam dan memberi respon saja dia sudah tidak sanggup!"

Rekan sejawatnya pun berpikiran sama. Salah satu dari mereka berinisiatif untuk mengambil perbekalan makan mereka dan diberikan kepada sang sufi.

Sang sufi masih terdiam, memejamkan mata, membisu dan tiada bergerak. Ketika salah seorang dari kafilah membawakan makanan, sang sufi pun masih terdiam. Beberapa orang di antara kafilah merebahkan tubuh sang sufi. Bahkan, seorang di antara mereka sudah bersiap-siap memasukkan sepotong roti dan segelas air untuk diberikan kepada si manusia dalam gua. Begitu makanan sudah masuk dalam rongga mulut. Maka, terbitlah senyum yang cerah di wajah sang sufi kemudian ia berteriak, " Subhanallah wal Hamdulillah!"

Subhanallah!

Kontan rombongan kafilah menjadi kaget dan keheranan. Mereka bertanya, "Saudaraku, saat kami memberi salam mengapa tidak kau jawab? Saat kami menepuk punggung dan pundakmu, mengapa kau tak meresponnya? Dan lalu kenapa begitu kami memberimu makan, kamu langsung tersenyum sambil bertasbih dan bertahmid? Kami mengira semula kamu sakit?"

Sang sufi pun bercerita, bahwa ia melakukan itu semua hanya karena ingin membuktikan kebenaran, bahwa Allah Swt sungguh menjamin rezeki seluruh hamba-Nya.

Subhanallah

Betapa sering kita merasa galau, risau, dan panik dalam urusan kehidupan ini, baik itu mengenai rezeki, masa depan, maupun kejayaan hidup. Tetapi bagaimana pun kita harus meyakini bahwasannya Allah telah menjamin rezeki setiap makhluk. Hanya saja kita perlu mengupayakan untuk mendapatkannya dengan berusaha, kesungguhan, serta tawakal yang sempurna.

Ketika berfirman, "Dan Aku tidak menciptakanjin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku" (QS Adz-Dzariyat [51]: 56), Allah mengetahui bahwa mereka memiliki pelbagai kebutuhan sebagai manusia yang, jika tidak terpenuhi, bisa mengotori ketulusan mereka dalam mengabdi. Karena itu Allah menjamin rezeki mereka agar bisa berkonsentrasi mengabdi kepada-Nya dan agar mereka tidak sibuk mencarinya sehingga lalai dari ibadah kepada-Nya.

Maka, janganlah pernah merasa bahwa Allah menyia-nyiakan hidup kita dan tak menjaminnya. Asalkan kita menjadi hamba-Nya, Maka Dia akan terus menjamin penghidup kita!

Dikutip dari buku Mearih Rezeki Tak Terduga
Penulis : Bobby Herwibowo
Penerbit : Zaytuna



Yuk Bagikan :

Baca Juga