Cermin Kebijaksanaan

adminaba | Minggu, 30 Desember 2012 00:00 WIB | 5.393 kali
Cermin Kebijaksanaan
Ketika Timur Lenk mengunjungi dusun Nasrudin, tentu saja sang penguasa ini mengundang Nasrudin yang sudah menjadi artis terkenal di dusunnya.

Timur Lenk berkata, "Semua orang berkata bahwa kau adalah manusia berpengetahuan tinggi kau bagaikan cahaya penyingkap kegelapan; kau bisa melakukan hal-hal mustahil. Kau adalah hal terajaib di dun a."
Nasrudin tersenyum mendengarnya, "Memang demikianlah hamba."

Mendengar kesombongan Nasrudin, Timur Lenk marah besar. la berteriak, "Jika kau memang sehebat itu, tunjukkanlah, wahai Nasrudin! Tunjukkan kepadaku, seperti apa wajah setan!"
"Tentu saja saya akan menunjukkannya," Nasrudin semakin tersenyum simpul sambil menyodorkan sesuatu, "jika Anda ingin melihat setan; lihatlah siapa yang ada di dalam cermin ini."
Kode Rahasia dalam Kisah "Cermin Kebijaksanaan"

Seseorang kadang lupa bahwa dirinya adalah sesuatu yang buruk seperti yang tercermin pada Timur Lenk. Kadang, yang muncul adalah halusinasi bahwa kita adalah orang hebat, seperti yang tercermin dalam ucapan Nasrudin yang membanggakan diri sendiri. Untuk mengatasi ketidaksadaran tentang keburukan dan kebanggaan berlebihan, yang kita butuhkan adalah "cermin".

Salah satu fungsi sufi adalah mencerminkan keadaan di sekitarnya. Nasrudin Hoja juga berfungsi sebagai cermin yang memantulkan keburukan-keburukan manusia di sekelilingnya. Sebaliknya, orang yang merasa bahwa ia adalah sufi hanya karena merasa menjadi cermin kehebatan orang di sekitarnya, mungkin tidak akan memahami kisah ini.

Yang lebih menarik, setan dapat disebut sebagai "keangkuhan" atau "keakuan" diri sendiri. Terdapat aforisme dari Nur Ali Elahi, seorang sufi, guru dan musisi, "Jangan khawatir tentang shaitarr, khawatirlah dengan shay-ye tan." (shay-ye tan berarti "hal dalam tubuh", tubuh fisikal, ego separatif).

 Jangan takut pada setan yang menyebabkan dosa; tapi takutlah pada diri sendiri, setan keakuan, karena diri sendirilah yang bisa menggiring kita memakan buah khuldi yang sebenarnya: keterikatan pada dunia; kebanggaan; dan anggapan-anggapan.


Yuk Bagikan :

Baca Juga