Amanah untuk Sang Pemimpin

adminaba | Selasa, 02 Oktober 2012 05:25 WIB | 5.783 kali
Amanah untuk Sang Pemimpin
Pada masa Rasulullah saw. di Madinah, para sahabat biasa menghadiri majelis ilmu yang diselenggarakan dan diisi langsung oleh Rasulullah saw. setiap hari Kamis. Demikian pula, pada hari Kamis itu, majelis sudah dibuka. Kaum Muslimin yang ingin mendapat siraman hidayah bersegera untuk menempati tempat terbaik. Dalam majelis itu, tidak dibeda-bedakan mana tempat untuk pejabat dan mana untuk rakyat. Barang siapa yang cepat, ia yang lebih dulu dapat tempat. Semua dalam keadaan haus akan tuntunan. Mereka ingin semua yang disampaikan Rasulullah bisa menjadi penghantar menuju keridhaan Allah dan surga-Nya.

Ketika majelis tengah berlangsung, tiba-tiba ada seseorang yang baru saja datang. Ia melihat ke sana kemari, mencari tempat di mana ia bisa menyelipkan dirinya. Nami.n, semua tempat terisi penuh. Sampai dia mene¬mukan satu tempat duduk, di mana di sampingnya ada seorang miskin dengan pakaian yang sudah rombeng dan pudar.

Oi ang yang baru datang itu terlihat ragu-ragu untuk dudu’c di situ. Memang, pakaian dia jauh berbeda dengan orang miskin itu. Dia memakai pakaian yang berbahan mahal. Potongannya pun bukan potongan sem- barangan. Ditambah lagi, wangi-wangian yang ia pakai melengkapi seluruh kemewahan penampilannya.
Namun, tidak ada pilihan lain. Ia ingin sekali mendengar uraian bimbingan Rasulullah. Dengan sangat terpaksa, ia pun duduk di samping si fakir. Sambil mendengarkan ceramah Rasulullah, berulang kali ia melipat- lipat pakaiannya supaya tidak menyentuh pakaian orang miskin di sampingnya. Karena hal itu berlangsung terus-menerus, akhirnya Rasulullah mengetahui dan mene¬gurnya.
"Mengapa kau terus-menerus menarik kain bajumu? Apakah kau takut pakaianmu kotor terkena pakaian sau¬daramu yang fakir?"

Orang kaya itu tersentak dan menyadari perbuatan salahnya. Ia merasa menyesal telah khilaf. Tanpa terasa, ternyata perbuatannya sudah menunjukkan sikapnya yang merendahkan orang lain.
Kemudian ia berkata, ‘Ya Rasulullah, aku bertobat kepada Allah atas kesalahanku ini. Sebagai penebus dosaku, aku akan memberikan separuh hartaku kepada saudara yang di sampingku ini." Demikian kata si kaya sambil menunjuk kepada si fakir yang duduk di sampingnya itu.

Rasulullah bertanya kepada si fakir, "Apakah kamu bersedia menerima hibahnya, ya Abdallah?"
Si fakir menjawab dengan tegas. "Tidak. Aku tidak mau hartanya!"
Rasulullah memandang sejenak orang miskin itu, lalu bertanya, "Mengapa kau tidak mau menerima separuh hartanya?".

Orang miskin itu menjawab, "Aku takut menjadi sombong karena harta, seperti orang ini."
"Harta bisa menjadi alat untuk beribadah, tapi juga bisa menjadi dosa manakala manusia tidak sanggup menggunakannya dengan sebaik-baiknya. "

 



Yuk Bagikan :

Baca Juga