Buah dari Kejujuran

adminaba | Senin, 01 Oktober 2012 05:02 WIB | 7.533 kali
Buah dari Kejujuran
Saat menghadapi perang adalah saat seseorang diuji kebenaran imannya. Siapa yang memegang keyakinan akan kebenaran yang dipegangnya, tentu tidak akan ragu-ragu untuk berkorban. Sementara para munafikin justru mencari berbagai cara untuk menghindar dari kewajiban ini. Seribu satu alasan akan muncul demi melegalkan perbuatan yang mereka lakukan.

Demikian pula pada saat kaum Muslimin harus menghadapi perang melawan pasukan Bani Ashfar yang merupakan salah satu dari dua kekuatan superpower saat itu. Banyak kaum Muslimin yang merasa ngeri membayangkannya. Kalau tidak karena keimanan mereka, tentu mereka lebih memilih tidak ikut berperang. Namun, para sahabat yang merindukan syahid dijalan Allah melihat perang ini adalah suatu kesempatan untuk menjayakan Islam. Apabila menang, tiket untuk memasuki surganya Allah mereka dapatkan, mereka rela walau harus mad.

Ka`ab bin Malik termasuk yang hatinya terbujuk hawa nafsu ketika menghadapi perintah supaya ikut serta dalam perang yang dikenal dengan sebutan perang Tabuk. Ia lebih memilih ketenteraman di rumahnya dibanding berpanas-panas, bergelut dengan musuh, dan mempertaruhkan nyawanya. Ka`ab berpikir, toh sudah banyak sahabat lainnya yang ikut berperangjuga. Kalau seandainya hanya satu atau dua orang saja yang tidak ikut, tentu tidak akan terlalu berpengaruh terhadap peperangan.

Ketika ia mendengar kabar bahwa Rasulullah dan para sahabat sudah berangkat ke medan perang, Ka`ab baru keluar dari rumahnya. Di luar tidak ada laki-laki yang ditemuinya, kecuali beberapa orang yang tampak jelas kemunafikannya dan beberapa orang yang lemah dan tidak mempunyai kemampuan untuk berperang. Saat itu, Ka`ab merasa hatinya menjadi gelisah. Kegelisahan Ka`ab semakin memuncak ketika mendengar Nabi saw. dan pasukan Islam kembali ke Madinah dengan membawa kemenangan. Para wanita dan anak- anak menyambut mereka dengan mengumandangkan shalawat badar. Apa yang harus ia katakan kepada Nabi Muhammad tentang alasannya tak ikut berperang. Terlintas dalam dirinya untuk membuat alasan yang dibuat- buat alias berbohong. Ia pun meminta saran kepada kerabatnya dan para kerabatnya itu menyetujui supaya Ka`ab berbohong saja.
Seperti biasa, sepulang dari perang, Rasulullah selalu melakukan shalat dua rakaat di masjid. Setelah itu, Rasulullah menerima kedatangan 80 orang laki-laki yang akan memberikan alasan kenapa mereka tidak ikut berperang. Para munafikin memberikan alasan-alasan bohong kepada Rasulullah. Beliau menerima alasan lahir mereka karena alasan batin mereka sudah diserahkan sebagai urusan mereka dengan Allah Swt.

Saat menunggu giliran, Ka`ab merasa dirinya hina sekali. Ia berada dalam barisan bersama orang-orang munafik. Keinginan untuk berbohong pun tiba-tiba lenyap dalam hatinya. Kalau ia berbohong, lantas apa bedanya ia dengan para munafikin itu? Hatinya tidak bisa menerima kalau ia disebut orang munafik. Ia bertekad untuk jujur saja, apa pun risikonya.
Saat di hadapan Rasulullah, sambil menundukkan pandangan, Ka`ab bin Malik berkata dengan sejujurnya.
``Wahai Rasulullah, sekiranya aku sekarang berkata bohong, demi Allah, tentu kau akan menerima kebohonganku, tetapi Allah akan murka. Sebaliknya, jika aku berkata jujur, tentu kau akan murka. Tetapi dengan itu, aku berharap mendapat ampunan dari Allah. Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku tidak punya alasan apa pun. Aku dalam keadaan sehat, kuat, dan lapang saat aku tidak turut serta ke Tabuk.``

``Kau jujur. Pergilah sampai Allah memberikan keputusan-Nya tentangmu!`` jawab Rasulullah.
Saat itu perasaan Ka`ab antara lega dan tidak. Lega karena Rasulullah tidak marah seperti yang dia bayangkan. Belum lega karena Ka`ab belum tahu hukuman apa yang akan ditimpakan kepadanya. Ra`ab lalu pergi menjauhkan diri dari masjid.

Setelah Ka`ab pergi, Rasulullah melarang kaum Muslimin untuk berbicara dengan Ka`ab sampai Allah Swt. memberi keputusan tentang hukuman apa yang pantas ditimpakan kepada Ka`ab. Sejak saat itu, Ka`ab dianggap tidak ada. Di mana pun Ka`ab bertemu dengan orang-orang, tidak ada yang mau berbicara dengannya. Apabila Ka`ab mulai bicara, mereka tidak memedulikan. Mereka bicara hanya dengan sesama mereka saja, meskipun Ka`ab ada di sekitar mereka. Ka`ab dikucilkan, bahkan oleh sahabat-sahabatnya. Hati Ka`ab merasa sangat tersiksa diperlakukan seperti itu. Ia pun mendatangi saudara sepupu yang paling dekat dengannya.

``Wahai Abu Qatadah, demi Allah, apakah menurutmu aku ini masih mencintai Allah dan Rasul-Nya? `` tanyanya.
Namun, Abu Q^atadah tidak mengacuhkannya. Ia tidak mau menjawab pertanyaan Ka`ab. Ka`ab belum putus asa. Ia mengulangi pertanyaannya sampai tiga kali. Akhirnya, Abu Qatadah menjawab pendek, ``Hanya Allah dan Rasul yang tahu.``

Mendengar jawaban saudaranya itu, hati Ka`ab terasa hancur berkeping-keping. Air mata tidak bisa ditahannya lagi. Ia pun menangis sejadi-jadinya, memohon ampun kepada Allah atas kebodohan yang ia lakukan. Suatu hari, Ka`ab didatangi utusan dari Raja Ghassan di Syam. Utusan itu memberikan surat kepada Ka`ab yang isinya, ``Sesungguhnya, kami mendengar kabar, sahabatmu telah menyia-nyiakan dirimu. Bergabunglah dengan kami dan kami akan membantu Anda.``

Ka`ab membayangkan sambutan hangat yang mungkin diterimanya apabila ia menerima tawaran Raja Ghassan. Tapi kalau seandainya begitu, untuk apa dia berkata jujur apabila ternyata dia tidak sanggup akan konsekuensinya. Ka`ab menyadari bahwa didiamkannya dia oleh Rasulullah dan kaum Muslimin adalah buah dari kejujurannya. Maka, Ka`ab pun membakar surat itu dan tidak menanggapinya.

Buah dari kejujuran Ka`ab semakin berat ditanggung olehnya. Pada hari ke-40, istrinya pulang ke rumah orangtuanya atas perinlah Rasulullah. Demi ampunan dari Allah, Ka`ab tenis berupaya melapangkan dadanya. Dibanding dengan kesalahan yang dia lakukan, mungkin hukuman ini tidak seberapa. Kalau sampai Allah belum mengampuni dosanya sampai dia wafat, tentu siksa neraka akan lebih dahsyat lagi. Oleh karenanya, Ka`ab terus bersabar menanti keputusan dari Allah. Rupanya, kesabaran dan keteguhan Ka`ab akan tobatnya, diterima oleh Allah Swt. Pada hari ke-50, turunlah firman Allah yang berbunyi:

``Dan terhadap tiga orang yang ditinggalkan. Hingga ketika bumi terasa sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa mereka pun telah (pula terasa) sempit bagi mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksaan) Allah, melainkan kepada-Nya saja, kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya, Allah Maha Penerima taubat, Maha Penyayang. ``
-QS AT-TAUBAH AYAT 118

Ka`ab tersungkur dan bersujud sambil mengucapkan puji syukur kepada Allah atas rahmat dan karunianya yang begitu indah. Maka terucaplah dari bibirnya, ``Allah telah menyelamatkan aku karena aku berkata jujur. Setelah ini, selama sisa umurku, aku berjanji untuk tidak pernah berucap selain kejujuran. ``


``Jujur memang perbuatan sederhana, tetapi tidak semua orang sanggup melakukannya.
Selain karena faktor ego, juga risiko yang bakal ditanggung oleh orang yang jujur tersebut.
Oleh karena itu, orang yang jujur pastilah orang- orang yang kuat mentalnya.
``

 



Yuk Bagikan :

Baca Juga