Ampunan Bagi Penyantun Anak Yatim

adminaba | Rabu, 29 Agustus 2012 00:00 WIB | 12.188 kali
Ampunan Bagi Penyantun Anak Yatim
Dahulu di Kota Basrah hidup seorang laki-laki yang menghabiskan setiap waktunya untuk mabuk- mabukan. Semua harta yang dimilikinya habis untuk membeli minum-minuman keras dan alkohol yang merupakan minuman kesukaannya. Entah sudah berapa kali tetangga-tetangganya melarang dan menasihatinya agar ia meninggalkan kebiasaan buruk itu, namun tidak pernah ia gubris sama sekali. Akibat kebiasaan yang tercela itu, ia dikucilkan oleh masyarakat sepanjang hidupnya sampai laki-laki ini meninggal dunia. Ketika lelaki pemabuk ini meninggal, tak seorang pun yang
mau melayat, mengurus jenazahnya atau menyalatinya. Masyarakat menganggap kematiannya laksana kematian hewan yang tak perlu diurus apalagi disalati.
Apa yang dilakukan oleh penduduk Kota Basrah jelas membuat istri laki-laki pemabuk ini merasa sedih. Karena tidak ada yang mau membantu mengurus jenazah suaminya, akhirnya terpaksa ia yang memandikan dan mengafani jenazah suaminya sendirian sambil menangis terisak-isak. Ia sedih karena suaminya telah meninggal dan kesedihan itupun bertambah karena masyarakat seakan jijik untuk membantunya dan mengurus jenazah suaminya. Sesudah selesai memandikan dan mengafani, perempuan itu kemudian mengelilingi Kota Basrah untuk mencari orang-orang yang sekiranya mau menyalati jenazah suaminya. Namun, tak seorang pun yang bersedia. Di tengah keputusasaanya, tiba-tiba seorang ulama zahid-ulama * yang meninggalkan keduniawian-datang dan berniat menyalatinya. Berita kedatangan ulama zahid itu dan niatnya untuk menyalati jenazah laki-laki pemabuk spontan menggemparkan masyarakat setempat,
"Mengapa ulama zahid itu sudi menyalatinya?" tanya seorang penduduk kepada tetangganya.
"Mungkin dia tidak tahu bahwa si mayat yang dia salati semasa hidupnya suka mabuk-mabukan dan berbuat maksiat," tukas tetangganya berusaha menjelaskan kemungkinan yang juga ia tak pahami, "Atau mungkin juga karena beliau merasa kasihan karena tak seorang pun di antara kita yang mau menyalati jenazah itu," duga yang lainnya.
Apa yang dibicarakan oleh para penduduk itu rupanya terdengar oleh sang ulama zahid. Beliau pun akhirnya menemui mereka dan berusaha memberikan penjelasan kepada mereka, "Di dalam tidurku se¬malam, aku bermimpi mendapat perintah ke tempat ini untuk mendatangi jenazah seorang laki-laki yang hanya ditemani oleh istrinya. Dalam mimpi itu aku juga disuruh untuk menyalatinya, karena dosa-dosa si mayat selama hidup di dunia telah diampuni oleh Allah (Swt)," jelas ulama zahid itu kepada penduduk Kota Basrah.
Apa yang dikatakan oleh sang ulama membuat mereka kaget bercampur heran. Mereka saling me¬natap satu sama lainnya. Pancaran mata mereka jelas menyiratkan rasa penasaran dan tanda tanya karena perkataan sang ulama tadi. Di dalam benak mereka, mereka bertanya-tanya amal kebajikan apakah yang dilakukan oleh sang mayit sehingga Allah mengampuni dosa-dosanya.
Beberapa saat sesudah sang ulama menyelesaikan kalimatnya, istri si mayit datang menghampiri mereka. Di depan para penduduk itu sang ulama bertanya kepada istrinya, "Kebaikan apakah yang dilakukan oleh suamimu semasa hidupnya?" tanya sang ulama kepada istri si mayit. Istri si mayit terdiam. Ia menundukan kepalanya beberapa saat. Perlahan dia menatap sang ulama dan orang-orang di sekitarnya, "Tidak ada," jawabnya pendek sambil menggelengkan kepalanya. "Setiap hari aku menyaksikan dia mabuk-mabukan," lanjutnya dengan pelan. Tangannya masih sibuk me¬nyeka air matanya yang sesekali masih menetes.
"Subhanallabl" tukas sang ulama kaget. Beliau kemudian tercenung. Di dalam hatinya dia sama sekali tidak percaya kalau tidak ada kebaikan sedikitpun yang dilakukan oleh si mayit semasa hidupnya, apalagi dalam mimpinya ia menyaksikan bahwa dosa-dosa mayit telah diampuni oleh Allah (Swt), "Cobalah ingat-ingat lagi. Barangkali dia memiliki amal kebaikan yang biasa dia lakukan dalam hidupnya," pinta sang ulama sekali lagi. Istri si mayit kembali menundukkan kepalanya dalam diam. Ia mencoba untuk berpikir keras menyisir setiap waktu perjalanan suaminya semasa hidup bersamanya. Namun sesudah lama ia terdiam, dia sama sekali tidak menemukan kebaikan yang dilakukan oleh sang suami kecuali kemaksiatan yang ‘telanjang’ di depan masyarakat dan dirinya, "Demi Tuhan tidak ada sama sekali kebaikan yang dia lakukan," jelasnya berusaha menyakinkan sang ulama dan orang-orang di sekitarnya. Sesudah menyelesaikan kalimatnya, dia tiba-tiba teringat sesuatu yang menjadi kebiasaan suaminya, "Hanya saja apabila suamiku sadar dari mabuknya dan waktu subuh datang dia
langsung berganti pakaian dan berwudu untuk kemudian melakukan salat berjamaah. Sesudah itu ia kembali melanjutkan kebiasaanya menenggak arak," ujar sang istri panjang lebar.
Ulama itu masih terdiam. Dia belum bisa menerima penjelasan istri si mayit sebagai sebuah kebaikan yang bisa menghapus dosa-dosa seseorang dari kemaksiatan yang dilakukannya. Begitupun penduduk setempat, mereka sama sekali tidak percaya bahwa kebaikan seperti itu bisa menghapuskan dosa si mayit. Ketika mereka sama-sama sedang tercenung, tiba-tiba istri si mayit melanjutkan ceritanya, "Dan ketika sadar di tengah keasyikannya menenggak arak. Ia menangis sambil menyesali diri dan perbuatannya, ‘Ya Tuhanku, di manakah sudut neraka Jahanam? Apakah Engkau akan mengisi sudut neraka Jahanam dengan dosa- dosaku ini?’ Begitulah kalimat penyesalan yang sering diungkapkan oleh suamiku," kisah perempuan itu dengan mata berkaca-kaca.
"Dan, ada satu hal lagi yang dilakukan oleh sua¬miku," orang-orang yang hadir dan sang ulama serasa
tak sabar ketika perempuan itu beberapa saat meng¬hentikan ceritanya. Mereka menatap perempuan itu. Pandangan matanya serasa meminta agar perempuan itu secepatnya melanjutkan ceritanya, "Rumah kami tidak pernah sepi dari anak-anak yatim. Setiap hari anak-anak yatim mendatangi rumah kami. Suamiku menyayangi mereka dengan setulus hati melebihi kasih sayang yang ia berikan kepada anak-anaknya sendiri," kisah perempuan itu sambil menangis sesenggukan.
Para penduduk yang sudah telanjur mengecap si mayit sebagai pendosa dan tak pernah melakukan ke¬baikan sama sekali, merasa malu mendengar penuturan istri si mayit. Buru-buru mereka meminta maaf kepada si mayit atas khilaf dan prasangka buruk yang selama ini mereka lakukan, juga kepada istri si mayit. Sang ulama mengangguk-anggukan kepalanya, matanya berkaca-kaca. Ia merasakan keharuan yang mendalam. Kemudian dia berkata lirih, "Janganlah sekali-kali kalian menghukumi seseorang karena kesalahannya kemudian kalian mengatakan bahwa dia pasti masuk neraka. Di samping perkataan seperti itu merupakan
bentuk kesombongan, kalian juga telah mendahului kehendak Allah (Swt). Lihatlah mayit yang kalian sangka kotor dan berlumur dosa ini. Ternyata Allah telah mengampuni dosa-dosanya. Sungguh tidak ada kebahagiaan bagi seseorang yang meninggal kecuali ketika ia mendapati dirinya diampuni dosa-dosanya oleh Allah (Swt)."
Para penduduk yang mendengarkan perkataan sang ulama zahid itu semakin menyesal dan merasa berdosa terhadap perlakuan mereka selama ini, bahkan di antara mereka banyak yang terisak haru. Sedangkan tangis istri si mayit makin menjadi-jadi. Kebahagiaan serasa menjalar dalam setiap kisi hatinya mendengar berita bahwa dosa suaminya diampuni oleh Allah (Swt). Beberapa saat kemudian sang ulama dan para penduduk yang hadir ramai-ramai mengambil air wudu dan menyalati jenazah Sang Panyantun Anak yatim itu. Mahabenar Allah dan Rasul-Nya. Wallahualam, hanya Dia-lah Yang Mahatahu atas segala sesuatu.


Yuk Bagikan :

Baca Juga