Pemimpin Berhati Busuk

adminaba | Rabu, 18 Juli 2012 05:53 WIB | 10.058 kali
Pemimpin Berhati Busuk

Hari ini sudah diputuskan pemimpin baru di"kota nan makmur dan subur. Semua orang mengucapkan hamdallah. Pemilihan pemimpin baru beijalan damai tanpa bentrokan antarpendukung yang dicalonkan. Pemimpin bam yang terpilih bernama Syafwan bin Zaid, seorang pemuda intelektual yang aktif berorganisasi dan pandai berpidato. Itu sebabnya, peresmian Syafwan sebagai pe­mimpin baru dihadiri hampir seluruh penduduk Kota untuk mendengarkan pidatonya yang menggugah.

Di atas mimbar, Syafwan beijanji akan melakukan perubahan yang lebih baik, memberikan petunjuk, serta ajaran yang bijaksana. Semua terpesona! Hari ini merupakan hari bahagia bagi semua orang. Berbagai harapan dan keyakinan muncul. Mereka yakin perubahan lebih baik akan teijadi di kota mereka.

Mereka tidak tahu sesungguhnya Syafwan hanyalah seorang manusia biasa. Di atas mimbar, dia seolah memberikan petunjuk dan ajaran dengan bijaksana. Namun, ketika turun mimbar, dia adalah seorang yang lihai melakukan tipu daya demi keuntungannya pribadi. Tujuannya menjadi pemimpin hanya untuk menumpuk kekayaan dengan cara mencuri hak milik rakyat.

Sepulang dari mimbar, dia langsung bercakap de­ngan istrinya dengan wajah gembira.

’’Wahai istriku, kini aku adalah seorang pemimpin. Lihatlah beberapa hari ke depan, semua akan berubah.” Istrinya tak kalah gembira. ’’Semoga perubahan lebih baik bagi penduduk, wahai suamiku.”

Syafwan tersenyum sinis. ”Kau salah. Tentu saja yang pertama perubahan lebih baik bagi keluarga kita. Aku akan gampang mencari uang karena kepemimpinan ini. Kita akan hidup berlimpah harta.”

Istrinya terkejut dengan apa yang diucapkan Syafwan. ’’Benarkah apa yang kauucapkan?”

Syafwan tersenyum simpul. ’’Untuk apa aku berbohong?”

Istrinya sangat sedih mendengar ucapan Syafwan. Dia tidak menyangka niat suaminya menjadi pemimpin sungguh buruk.

’’Kalau begitu, aku tidak bangga dengan keberhasilanmu. Aku justru sedih mendengar semua perkataan yang keluar dari mulutmu.”

Syafwan marah dan mengusir istrinya.

Syafwan benar-benar mengeruk banyak keuntungan atas kepemimpinannya. Dia membangun kota dengan sangat megah. Namun, rakyatnya tidak tahu pembangunan yang dilakukan merupakan pinjaman dari kota lain dengan pola pembagian 50 : 50, yaitu 50% pinjam­an untuk pembangunan dan 50% untuk dirinya sendiri. Bagi mereka, berkat Syafwan-lah kota mereka semakin lengkap dengan fasilitas dan pembangunan semakin merata. Penduduk hidup makmur karena semua men­jadi serbamudah. Syafwan memiliki ide-ide brilian bagi pembangunan kota.

Keberhasilan Syafwan-lah yang akhirnya membuat dia terus terpilih menjadi pemimpin kota dari tahun ke tahun. Tak terasa, Syafwan sudah memimpin lebih

dari 40 tahun dan dia semakin rakus. Semakin pintar ia membodohi rakyat, semakin rakuslah dia. Sudah tak terhitung berapa banyak harta yang dia kumpulkan selama menjadi pemimpin dan semakin harum namanya di mata penduduk kota.

Hingga suatu hari, Syafwan menemukan dirinya merasa hampa. Dia merasa rindu kepada istrinya yang telah dia usir. Tiba-tiba saja, dia merasa kedudukannya tidak berarti. Apalagi, dia telah ditimpa kekesalan karena pinjaman-pinjaman kotanya telah memasuki jatuh tempo dan harus segera dibayar, sedangkan dia merasa tidak mampu untuk mengurusi itu semua.

Syafwan memilih mundur dari jabatannya.

Begitu Syafwan mundur, seluruh penduduk kota terhenyak karena begitu banyak utang kota yang harus ditanggung oleh mereka. Kemunduran langsung terjadi secara drastis. Penduduk marah kepada Syafwan dan menuntutnya bertanggung jawab. Syafwan enggan mengakui kecurangannya dan tetap menganggap diri­nya bersih dari dosa hingga azab Allah datang.

Allah menurunkan azab kepada pemimpin yang berbuat zalim dan menipu. Syafwan terserang penyakit yang membuatnya tidak mampu turun dari tempat tidur. Se­luruh tubuhnya terserang penyakit mematikan. Malangnya, tidak seorang pun mau merawatnya. Bahkan istrinya yang telah dia usir. Syafwan hidup dalam penderitaan di dalam rumah mewahnya. Semua yang ia miliki dan harta yang berlimpah tak mampu menolongnya ketika dia sakit, hingga maut menjemputnya.

Harta kekayaan Syafwan disita oleh pemerintah kota dan digunakan untuk membayar utang kota. Sepeninggal Syafwan, kota kembali damai

 

”Khianat paling besar adalah bila seorang penguasa memperdagangkan rakyatnya."

-HR Ath-Thabrani



Yuk Bagikan :

Baca Juga