Taat kepada suami adalah ciri perempuan penghuni surga. Menjadi perempuan yang taat kepada suami merupakan jalan cepat menuju surga. Ketaatan kepada suami dan bersikap hormat kepadanya dapat meninggikan derajat pahala seorang istri sampai derajat pahala orang-orang yang berjihad di jalan Allah. Sungguh menakjubkan. Hal tersebut sebagaimana hadits dari Abdullah ibnu `Abbas r.a. bahwa seorang perempuan berkata, "Wahai Rasulullah, aku adalah utusan kaum perempuan kepadamu." Lalu ia menyebutkan keuntungan yang diperoleh kaum laki-laki dari berjihad dan lainnya berupa pahala dan harta rampasan perang. Dan ia berkata, "Lalu apa yang kami peroleh dari semua itu?" Kemudian beliau menjawab, "Sampaikanlah kepada tiap perempuan yang kamu jumpai bahwa ketaatan kepada suami dan mengakui haknya mengimbangi pahala semua itu, tetapi sedikit sekali di antara kalian yang mampu melakukannya." (HR. Al-Bazzar dan Ath-Thabrani).
Ketaatan istri kepada suami juga merupakan ciri atau sifat perempuan shalehah. Dalam hal ini Allah telah menegaskan dalam tema ayat kepemimpinan suami, setelah penetapan prinsip kepemimpinan suami dan bentuk-bentuknya kemudian Allah menyifati perempuan shalehah melalui firman-Nya, "... Maka perempuan-perempuan yang shalehah adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada karena Allah telah menjaga (mereka) ...." (QS. An-Nisa: 34).
Pada ayat tersebut dijelaskan bahwa ciri perempuan shalehah adalah "qanitat" dan "hafizhatul lil ghaibi". Kata "qanitat" diambil dari kata "qunut" yang berarti taat dan kata "qanit" yang berarti orang yang taat. Jadi, kata "qanitat" mempunyai arti perempuan yang taat kepada Allah dan suami dengan menunaikan hak-hak Allah dan suami. Inilah yang diuraikan oleh para ahli tafsir.
Imam Ar-Razi menjelaskan makna "qanitat" dalam tafsirnya, Ketahuilah bahwa seorang perempuan tidak dikatakan shalehah, kecuali jika taat kepada suaminya karena Allah SWT berfirman, "Maka perempuan yang shaleh adalah yang taat kepada Allah." Sedangkan Al-Wahidi r.a. berkata, "qanitat" berarti ketaatan yang bersifat umum, yaitu ketaatan kepada Allah dan kepada suami. Makna ini dapat merujuk kepada perempuan yang sudah menikah atau belum. Jika belum menikah, ia akan senantiasa taat dan istiqamah kepada Allah. Adapun jika ia sudah menikah, ketaatannya ditambah dengan ketaatan kepada suami. Jadi, taat kepada Allah juga taat kepada suami.
Adapun kata "hafizhat" mencakup segala bentuk amanah yang wajib dijaga oleh seorang istri ketika suami tidak di rumah, baik bersifat material maupun non material, seperti menjaga jiwa, keperempuanan, kehormatan, rahasia suami, keluarga, anak-anak, dan harta. Sedangkan, kata "al-ghaib" mencakup segala sesuatu yang tidak diketahui yang harus dirahasiakan ketika suami berada di rumah atau tidak. Oleh karena itu, istri yang menjaga segala bentuk amanah ketika suami tidak berada di rumah, ia berhak menyandang gelar istri shalehah dan taat.
Jika kita lihat makna "qanitat" dan "hafizhat" di atas, tampak sedemikian dalam maknanya, sehingga dapat disimpulkan bahwa ketaatan kepada suami tidak dibatasi oleh tempat dan waktu karena ketaatan ini bersifat mutlak.
Syaikh Ibnu Taimiyah dalam Majmu` Al-Fatawa mengatakan bahwa tidak ada kewajiban bagi seorang istri setelah menunaikan kewajiban terhadap Allah dan Rasul-Nya, kecuali terhadap suaminya.
Dalam konteks kehidupan berumah tangga, ketaatan dan penghormatan istri terhadap suaminya dapat diwujudkan dalam sikap-sikap sebagai berikut:
1. Tidak Melanggar Hak Batin Suami
Hak ini merupakan hak khusus suami, sebagaimana firman Allah SWT, "Istri-istrimu adalah ladang bagimu, maka datangilah ladangmu itu kapan saja dan dengan cara yang kamu sukai...." (QS. Al-Baqarah [2]: 223). Jika istri mempunyai rasa enggan (tanpa ada udzur) dalam menunaikan hak ini, termasuk salah satu dosa besar yang dilakukan istri terhadap suaminya. Rasulullah SAW telah menegaskan hal itu dalam sabdanya, "Jika seorang laki-laki mengajak istrinya ke tempat tidur, tetapi ia tidak memenuhi ajakan suaminya, lalu si suami bermalam dalam keadaan marah kepadanya, niscaya malaikat melaknatnya sampai pagi hari." Dalam riwayat lain disebutkan, "Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah seorang laki-laki mengajak istrinya ke tempat tidur, tetapi ia menolak melainkan penghuni langit akan murka hingga suami meridhainya."
2. Tidak Mengizinkan Orang Lain Masuk ke Rumah tanpa Izin Suami
Islam memerintahkan kepada suami dan istri untuk menjaga kehormatan dan kemuliaan rumah. Salah satunya adalah istri harus menunjukkan kesucian dirinya dengan tidak mengizinkan orang lain masuk ke rumah tanpa kehadiran dan izin suaminya. Alasannya adalah kehadiran orang lain (khususnya laki-laki) dapat menimbulkan fitnah dan memudarkan kehormatan rumah sehingga dikhawatirkan orang yang masuk ke dalam rumah adalah orang yang tidak disukai oleh suami. Hal tersebut sebagaimana sabda Rasulullah SAW, "Tidak diperkenankan bagi seorang istri untuk mengizinkan seseorang masuk ke dalam rumahnya, kecuali atas izin suaminya." (HR. Bukhari-Muslim).
3. Mengikuti Suami dalam hal Tempat Tinggal
Termasuk ke dalam ketaatan dan penghormatan kepada suami adalah istri mengikuti keinginan suami dalam masalah tempat tinggal, dengan catatan memenuhi syarat agama dan suami telah memenuhi hak-haknya secara baik. Dengan kata lain, jika suami sudah merasa mampu untuk menyediakan tempat tinggal, kemudian mengajak istrinya pindah dari rumah orang tuanya, maka istri wajib mengikuti ajakan suaminya tersebut. Sebab ciri perempuan shalehah adalah memenuhi hak suami sebagai pemimpin rumah tangga secara sempurna. Disebutkan dalam sebuah hadits dari Abdullah bin Abi Aufa r.a., Rasulullah SAW bersabda, "Jikalau aku (diperbolehkan) memerintahkan seseorang untuk bersujud kepada selain Allah, niscaya aku perintahkan perempuan bersujud kepada suaminya. Dan demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, tidaklah seorang istri memenuhi hak Tuhannya hingga ia menunaikan semua hak suaminya, sehingga jikalau suami meminta dirinya, sedangkan ia berada di tungku (di dapur), janganlah ia menolaknya." (HR. Ahmad, Ibnu Majah, dan Ibnu Hiban).
4. Tidak Keluar Rumah tanpa Izin Suami
Diceritakan, ada seorang istri yang mendapatkan ama-nah atau perintah dari suaminya agar ia tidak meninggalkan rumah untuk kepentingan apa pun hingga suaminya pulang dari jihad di jalan Allah. Beberapa hari setelah suaminya pergi jihad, datanglah seorang utusan yang mengatakan bahwa ia diminta ibunya untuk datang karena ibunya se-dang sakit. Namun perempuan itu menolak dengan alasan suaminya melarang ke luar rumah sampai ia pulang. Hari berikutnya utusan itu datang lagi dan menyampaikan pesan bahwa sakit ibunya bertambah parah dan ia diminta untuk menengok ibunya itu. Namun perempuan tersebut tetap menolak dengan alasan yang sama, yakni karena suaminya tidak mengizinkannya ke mana-mana. Hari berikutnya utusan itu muncul lagi dan menyampaikan kabar bahwa ibunya telah meninggal dunia dan ia diminta untuk datang melihat jasadnya sebelum dimakamkan. Tetapi perempuan tersebut tetap menolak bahwa ia tidak bisa pergi ke luar rumah sampai suaminya pulang dari jihad.
Kejadian di atas kemudian dilaporkan kepada Nabi SAW, "Ya Rasulullah, apakah perempuan itu termasuk anak yang durhaka kepada orang tuanya?" Beliau menjawab, "Tidak, la melakukan hal tersebut karena ingin menaati perintah suaminya. Sedangkan ibunya sekarang diampuni oleh Allah dan dimasukkan ke dalam surga karena ketaatan anaknya itu kepada suaminya."
Islam memberikan ketentuan kepada para istri agar tidak meninggalkan rumah, kecuali atas izin suaminya. Hal ini dimaksudkan supaya suami senantiasa mengetahui keberadaan istrinya, sehingga tidak murka ketika membutuhkannya. Rasulullah SAW bersabda, "Istri mana pun yang keluar dari rumah tanpa izin suaminya, ia berada dalam murka Allah Ta`ala sampai ia kembali ke rumahnya atau suaminya meridhainya" (HR. Tirmidzi).
Sumber Gambar Detail
Sumber Gambar Slide