Dalam Jerat kesedihan

Admin | Rabu, 23 Juli 2014 09:43 WIB | 4.837 kali
Dalam Jerat kesedihan Sebenarnya berbagai kesedihan yang menimpa, dapat menghilangkan sesuatu yang sangat besar. Namun kepergian seseorang yang tak pernah dapat kita cegah, serasa tertimpa gunung yang begitu tinggi. Atau ketika kita melihat kehidupan yang tidak kita harapkan, kesedihan seolah terus berputar mengelilingi kita. Di satu waktu, kesedihan terkadang datang kepada kita kemudian pergi tanpa meninggalkan jejak. Demikian pula dengan berbagai kenangan pahit yang membuat kita merasa takut. Dia terkadang datang seperti pepohonan yang dipenuhi cabang, bagai sesuatu yang tidak mungkin terlepas, karena di benakkita sudah dikelilingi kesedihan. Kesedihan itu berada dalam diri sehingga kita akan merasakan banyak kehilangan!

Seiring dengan berjalannya waktu, kita seperti seorang tawanan bagi kesedihan. Seperti tahanan yang tinggal di sel kesedihan yang sempit, kehilangan rasa nikmat dan kehilangan nikmatnya kehidupan itu sendiri. Kita tidak dapat melihat dan merasakan kecuali kesedihan yang terus tumbuh seiring perjalanan waktu. Kita seperti janin yang tidak diinginkan. Setiap kali waktu berlalu, maka pada saat yang sama kita merasa sulit untuk lepas dari kesedihan. Kita pun seolah menjadi bagian dari puzzle kesedihan. Orang-orang pun enggan mendekat karena tidak ingin tertimpa kesedihan kita.

Sama halnya dengan permusuhan, kesedihan merupakan perasaan yang terus berubah. Permusuhan akan terasa dengan mengetahui jumlah orang di sekitar kita. Setiap kebimbangan tidak akan menyisakan tempat bagi kebimbangan yang lain. Bahkan hari ini, kebahagiaan itu mahal sekali. Tak heran bila kebanyakan orang berlomba-lomba untuk meraih semerbak harum kebahagiaan. Orang-orang yang bersedih pun berusaha menjauhi mereka karena tidak ingin merusak kebahagiaan mereka!!

Kadangkala kita merasa kebaikan tidak pernah menyapa. Kesedihan seakan telah meninggalkan kita tanpa kembali. Namun kita sering terlalu cepat merasa jatuh tatkala tertimpa musibah, sehingga menepis usia kebahagiaan dalam kehidupan kita. Saat kita tahu bahwa kesedihan sedang menyapa, terkadang ia bersembunyi, namun kemudian muncul kembali dengan kadar yang lebih besar dan lebih kuat. Sehingga merampas segenap kebahagiaan yang ada dan kita tercengang ketika mengetahui dan menghitung kebahagiaan yang telah terenggut.

Tak jarang, kita sendiri yang memberikan peluang kesedihan dan kita sendiri yang memberikan mereka tempat untuk diam selamanya di dalam diri. Kita juga yang mewarnai pikiran dengan kesedihan, dan menjadikan kesedihan membentengi sekeliling dengan benteng yang tinggi sehingga memisahkan kita dengan bagian kehidupan yang indah.

Akan tetapi sampai kapan kita akan tinggal diam dihinggapi kesedihan? Sampai kapan kita dapat menghilangkan kesedihan, bertahan menjadi tawanan dalam lingkaran kegelapan, tinggal di belakang benteng yang memisahkan kita dari kebahagiaan, berlapiskan pakaian kesedihan dan kegalauan? Sampai kapan kita akan terjerat dalam ikatan kesedihan? Memaksa, menyeret, dan membawa kita pada keadaan yang jauh dari kehidupan?

Jika Andamerupakankorbandarikesedihanyanglama, tanyakanlah pada diri, mengapa kesedihan betah bersama Anda? Tanyakan pula pada kesedihan, “Wahai kesedihan kenapa engkau begitu betah bersamaku?” Kemudian perhatikan keadaan sekeliling, agar Anda dapat membaca kondisi sebagai jawaban dari pertanyaan tersebut.

Mengapa kesedihan menjadi bagian dari rotasi kehidupan manusia? Seolah-olah kita tidak akan ada tanpa kesedihan. Dan kita tidak mengenal kehidupan kecuali dengan adanya kesedihan yang melalu dekat. Kesedihan ibarat sebuah kaidah utama yang harus ada di muka bumi ini. Apakah manusia memang diciptakan dari tiga karakter yaitu air, tanah, dan sedih?

Dan mengapa kebahagiaan seperti cahaya yang bersembunyi dalam kehidupan kita? Manusia tidak dapat melihatnya kecuali samar, dan sepertinya tidak mau mendekati kita. Seolah kita tidak menjalani hidup kecuali antara dua kesempatan yaitu kesedihan dan kesedihan. Atau seperti peristirahatan sebentar diantara dua peperangan. Dia seperti fatamorgana di padang sahara kesedihan.

Apa yang harus saya katakan?

Kesedihan seperti kegelapan yang menutupi hati, dan rasa sakit ini kian bertambah. Luka itu semakin terbuka, duri-duri serasa menghalangi jalan, suasana mencekam, jiwapun menjadi bingung, dan leher seperti tercekik. Kesedihan itu seperti gunung yang menghimpit di atas dada, sesuatu yang tidak dapat digambarkan. Wahai Rabbi, selamatkan aku dari kegelapan ini. Yang menghapus impian dari rasa takut, yang menghantui dari jeratan kesedihan, dari rasa sakit, dari pertanyaan yang tiada henti.

Pada suatu hari, harapan, kenangan, kebahagiaan dan putus asa berkumpul untuk membicarakan masalah ini.

Harapan berkata, “Ketika itu aku seperti cahaya kehidupan yang membawa pada musim semi disetiap tempat. Menjadi bahan pembicaraan orang-orang sebagai keadaan yang paling indah. Dan hari itu aku seperti sebuah kalimat yang berpindah-pindah dari satu bibir ke bibir yang lain tanpa makna.”

Kenangan menimpali, “Aku telah berlalu dan tidak akan pernah kembali pada kehidupan manusia. Aku terikat dalam goresan pena seolah menamparku rasa rindu dan rasa sakit. Dimanakah aku sekarang? Lalu ia menutup kedua matanya dan berlinanglah air mata membasahi kedua pipinya.”

Putus asa pun berkata dengan sombongnya, “Dalam kehidupan banyak rahasia dan rahasia yang paling agung adalah aku. Begitu banyak orang dibelakangku yang berlinang air mata, dan berbagai kerinduan yang aku putuskan agar ia semakin merasa tidak berguna.

Mereka tidak mengira bahwa aku bukanlah dosa. Akan tetapi begitulah tabiat manusia, ia mengadu tapi tidak mau berpikir. Ia menangis tapi tidak mau mengambil pelajaran. Padahal dia tahu bahwa dengan tangannya ia dapat menikmati kehidupan dunia, dan terbebas dariku.

Ketika putus asa diam, maka semua merasakan kebahagiaan yang dahulunya jauh dari mereka. Ia adalah impian. Mereka pun memandanginya dengan dingin sampai-sampai ia berkata, “Aku adalah impian yang mendekap kelopak mata dan khayalan yang hidup di dalam otak. Aku adalah kunci dunia. Tidak ada seorangpun yang dapat melewatiku kecuali orang yang memiliki hati yang suci. Aku dekat dari putus asa dan aku akan menjauhkan dari pemiliknya. Aku berada dalam kenangan yang mendalam agar makin berkilau hari-hari yang telah lewat. Aku adalah pondasi harapan, maka kalian tidak berhak untuk mengadu atau menangis, karena pada dasarnya kalian mengetahui hakekatnya.

Kehidupan merupakan madrasah dan ujiannya adalah syahadah. Tidak akan ada yang dapat meraihnya dari universitas tertinggi sekalipun. Apakah kalian mengetahui dimanakah aku berada dan bagaimana kalian dapat sampai kepadaku? Dengan begitu aku akan menguraikan tirai pembacaraan mereka. Dan pada akhirnya kebahagiaanlah yang kita cari. Tetapi kita tidak mengetahui jalan agar dapat sampai padanya.

Karena harapan itu hilang, kenangan itu memenjarakan sifat, dan putus asa menguasai manusia. Jangan pernah membuang impian pada seseorang, dan jangan menjadikan perjalanan sisa usia Anda dihabiskan hanya untuk menghadapi seorang yang dicintai bagaimanapun sifatnya.

***

Sumber: Laa Tahzan for Woman (Jangan Bersedih, nikmatilah Hidupmu)


Yuk Bagikan :

Baca Juga

Anak Marah, Atasi dengan Cara Ini
Selasa, 01 November 2016 16:27 WIB
Mengenalkan Allah pada Anak dengan Cara Sederhana
Selasa, 11 Oktober 2016 10:50 WIB
Ukhti Mau Mahar Apa?
Senin, 10 Oktober 2016 11:18 WIB