Subhan tidak bisa menolak apa yang yang telah direncanakan orangtuanya, yaitu perjodohan dengan perempuan yang sama sekali tidak dikenalnya.
"Azizah adalah perempuan yang sangat baik. Dia pandai menata rumah. Selain itu, dia adalah perempuan yatim piatu yang salihah," kata ibunya.
"Bagiku, perempuan salihah yang akan mendampingimu jauh lebih berharga dibandingkan semua perempuan cantik di dunia ini," lanjut ayahnya mantap.
Hati Subhan berontak. Namun, dia tidak ingin menjadi anak yang durhaka karena menentang orangtua. Akhirnya, dia pasrah dan menuruti kemauan orangtuanya.
"Jika kau setuju, Anakku. Kami akan menjemput Azi-zah di kampungnya," ujar ayahnya.
Bagaimana mungkin aku tidak setuju ? kata Subhan dalam hati.
Subhan hanya mengangguk setuju. Ia tak ingin mengecewakan keinginan orangtuanya. Jika perjodohan ini membuat orangtuanya bahagia, Subhan akan menyetujuinya. Bagi Subhan, tidak ada yang lebih berharga selain membahagiakan orangtuanya.
Paras Subhan yang tampan memudahkan dirinya memilih perempun cantik mana pun yang akan dijadikanm istrinya. Sebenarnya, Subhan memiliki kriteria sendiri untuk calon pendampingnya. Dia ingin mendapatkan seorang perempuan yang elok. Semua harapannya tinggal impian. Azizah, gadis yang dijodohkan dengannya, sama sekali tidak dia ketahui rupanya.
Ketika khitbah, sekilas ia menatap wajah calon istrinya. Menurut ayah dan ibunya, Azizah baik. Subhan bisa melihat dari wajahnya yang teduh dan damai, tetapi tidak ada guratan kecantikan di sana. Aaah...
Azizah adalah perempuan dengan rupa yang sederhana, jatih dari kriterianya. Batin Subhan menjerit, tetapi dia tidak bisa berbuat apa-apa. Di lubuk hatinya, dia tetap menilai kecantikan perempuan bukan sekadar baik. Namun, perempuan itu haruslah memiliki tubuh tinggi langsing, mata bulat lengkap dengan bulunya yang lentik, hidung mancung, bibir ranum, dan kulit yang indah. Azizah, tidaklah demikian.
Peijodohan harus terlaksana. Subhan tidak bisa menolak keinginan orangtuanya. Dengan sekuat tenaga, Subhan mengusir kriteria perempuan dan berusaha menerima Azizah apa adanya. Berusaha mencintainya, walau rasanya itu akan sia-sia saja.
Akhirnya, pernikahan teijadi. Subhan melihat Azizah begitu bahagia. Sinar matanya mengatakan hal itu. Subhan berusaha untuk bahagia. Demi orangtuanya, Subhan berusaha membuat semuanya terlihat bahagia, walau setiap malam hatinya menjerit. Begitu sulit mele¬paskan diri dari kriteria perempuan impiannya.
Hari demi hari, dia semakin tidak mampu berpura-pura bahagia. Subhan merasa hidupnya sia-sia. Dia mulai marah dengan keadaan itu. Ya, dia mengakui bahwa Azizah melayaninya dengan baik. Azizah seorang istri
yang baik, tetapi itu tidak cukup membuat Subhan mencintainya.
Subhan mulai mengacuhkan Azizah. Azizah semakin menyadari bahwa suaminya tidak mencintainya. Subhan semakin ketus hingga akhirnya Azizah bertanya kepadanya, tetapi Subhan tak menjawab.
"Apa pun yang kaulakukan padaku, aku akan tetap mengabdi padamu sebab kau adalah suamiku," ujar Azi¬zah mantap.
Subhan hanya diam tak menyahut. Ternyata memang benar, walau Subhan bertindak seenaknya, Azizah tetap melayani Subhan dengan baik. Azizah memang istri yang baik dan benar kata orangtuanya, Azizah juga perempuan yang salihah. Saat tengah malam, dia tak pernah absen shalat tahajud dan melantunkan ayat Al-Quran. Namun, hal itu sama sekali tidak membuat had Subhan tergugah. Kadang, Subhan memaki dirinya sendiri. Mengapa dia begitu terobsesi pada perempuan cantik? Bukankah dalam agama Islam diajarkan bahwa keimanan adalah faktor terpendng dalam memilih pasangan?
"Aku hamil," kata Azizah suatu pagi.
Subhan hanya menatapnya dengan dingin.
Pada suatu hari, di tengah peijalanan menuju rumah, Subhan bertemu dengan sahabat lamanya. Wajah sahabatnya itu sungguh berduka.
"Mengapa kau terlihat bersedih?" tanya Subhan.
Sahabat Subhan lalu mengajak Subhan berteduh di sebuah masjid.
"Aku ingin bercerita," katanya.
Subhan berjalan mengikuti sahabatnya menuju masjid. Dalam hatinya ia bertanya tentang hal yang ingin diceritakan sahabatnya itu. Seharusnya dia bahagia karena telah menikahi seorang perempuan yang sangat cantik.
"Ini mengenai pernikahanku. Maafkan aku, ya Allah...," desisnya pelan. "Aku tidak bermaksud untuk menjelek-jelekkan istriku, tapi..." lanjutnya.
"Apa yang teijadi?" tanya Subhan.
"Kau tahu betapa aku sangat mencintai istriku. Kuakui aku jatuh cinta padanya karena dia sangat cantik dan sempurna."
Ya...," terbayang di benak Subhan wajah istri sahabatnya yang memang sangat cantik.
"Pada awalnya, orangtuaku tidak merestui hubungan kami. Hingga Ayah menanyakan, mengapa kau tidak menikahi perempuan yang salihah? Ya, memang benar istriku tidak sempurna dalam akhlaknya. Dia adalah perempuan yang jarang mengaji dan shalat. Hatiku telah dibutakan oleh kecantikannya."
"Lalu?" tanya Subhan penasaran.
"Ternyata, pernikahanku memang tidak bahagia. Istriku terlalu banyak menuntut. Awalnya, aku memaklumi karena dia memang masih awam dalam hal agama. Aku sebagai suaminya, akan berusaha menuntunnya. Namun, aku justru semakin tersiksa dengan sikapnya. Jika tuntutannya tidak kukabulkan, dia tidak memperlakukanku seperti seorang suami. Istriku sangat boros, bahkan kini aku memiliki begitu banyak utang karenanya. Ketika aku menegurnya, dia beralasan karena aku tidak bisa mencukupi kebutuhannya, padahal..."
Ya...?" mata Subhan membulat.
Tahukah kau? Orangtuaku kini jatuh miskin karena semua yang mereka miliki diberikan kepadaku demi membahagiakan istriku."
Subhan tertegun.
"Kini, aku tidak memiliki apa-apa lagi. Istriku malah semakin tidak menghormatiku," kata sahabat Subhan sambil menitikkan air mata.
"Istriku meminta cerai. Alasannya, dia bisa lebih bahagia dengan lelaki kaya yang sanggup memberikan segalanya."
Cerita sahabatnya itu membuat hati Subhan teriris. Apa yang sudah dia lakukan pada Azizah sungguh tidak adil. Allah memberinya jodoh terbaik. Azizah memang tidak cantik, tetapi dia adalah seorang perempuan yang salihah. Dia adalah seorang istri yang sangat menghormati suaminya. Dia adalah istri yang tak pernah menuntutnya, bahkan dia memberikan cinta tanpa pamrih yang begitu indah.
Selepas mendengarkan kisah pilu sahabatnya, diam-diam hati Subhan bertekad bahwa tidak ada lagi kriteria perempuan impian dalam hatinya. Bidadari itu sudah dikirimkan Allah untuknya.
"Azizah, aku akan berusaha mencintaimu," kata Subhan dalam hatinya.
Sebelum pulang, Subhan menyempatkan diri ke sebuah toko untuk membeli sebuah jilbab yang cantik. Dia ingin membuat Azizah bahagia dan memberinya senyum yang manis. Setiba di rumah, ketukan pintu Subhan tidak dihiraukan.
"Ke mana istriku?" tanyanya dalam hati.
Kreeeek... ternyata pintu rumah tidak terkunci.
"Assalamu alaikum. "
"Waalaikumsalam. Dari arah kamar, terdengar suara lirih Azizah.
Dengan langkah cepat, Subhan menuju kamar. Dilihatnya Azizah tergeletak di kasur dalam keadaan lemas.
Ya Allah, apa yang teijadi padamu?" Subhan memeluk Azizah.
"Aku terjatuh di kamar mandi," jawab Azizah lirih.
"Kenapa kau tidak pergi ke rumah sakit? Tidak ada¬kah yang menolongmu?" Subhan gusar.
"Aku belum meminta izinmu, Suamiku,"
Subhan menangis, dadanya terasa sesak. Dalam tangisannya, terbayang sikapnya yang tidak adil kepada Azizah. Pengorbanan dan pengabdian Azizah sungguh luar biasa. Subhan memeluk erat tubuh Azizah hingga Subhan merasakan detak jantung Azizah berhenti. Azizah meninggal dalam pelukannya dengan wajah yang sangat teduh. Dia terlihat cantik. Dalam penyesalan yang menyeruak, Subhan merasakan angin sejuk menghampiri dirinya. Cahaya cinta yang memancar dari wajah Azizah semakin kuat untuknya. Subhan menyesal karena tidak memberikan hatinya untuk perempuan itu.
Di samping tubuh Azizah, terdapat sepucuk surat. Subhan lalu membacanya dengan pandangan yang terhalang air mata.
Suamiku, maafkan aku karena tidak membuatmu bahagia. Berikan ridha dan ikhlasmu untukku dan anak kita.
Aku mencintaimu.
ISTRIMU
Subhan menangis tersedu-sedu. Kenapa cinta datang terlambat? Allah menghukumnya dengan penyesalan yang luar biasa.
"Sesungguhnya, dunia seluruhnya adalah benda (perhiasan) dan sebaik-baik benda (perhiasan) adalah wanita (istri) yang salihah."
-HR Muslim