Al-Ashmui, salah seorang menteri masa Khalifah Al-Manshur, terkenal dengan kegemarannya berburu. Suatu ketika, ia dan rombongannya melakukan perburuan. Al-Ashmui yang sangat menikmati perburuan itu tanpa sadar tertinggal dari rombongannya. Ia terpisah dan akhirnya tersesat di gurun seorang diri.
Matahari yang terik membuat kerongkongannya seperti terbakar. Ya, ia mulai kehausan. Dengan dahaga yang tak tertahankan, ia pun memacu kudanya mencari-cari sumber air untuk melepas rasa hausnya. Namun, tanpa ia duga sebelumnya, sebuah pondok sederhana sayup-sayup mulai tampak di depannya. Ia pun segera menderapkan kudanya ke arah pondok tersebut.
"Assalamualaikum," ucapnya.
"Waalaikumussalam warahmatullah," balas suara dari dalam.
Tak lama kemudian, keluarlah seorang wanita yang cantik jelita dari dalam pondok tersebut dan membuat sang menteri terperanjat. Ia tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Ada seorang wanita cantik rela hidup di tengah gurun yang sepi.
"Maaf, adakah air barang beberapa teguk sebagai pelepas dahagaku?"
"Wah, sayang sekali, Tuan, saya hanya memiliki segelas air yang saya persiapkan untuk suami saya. Ada, setengah gelas, itu pun bekas minum saya. Kalau Tuan berkenan, silakan!" jawab si wanita cantik.
Al-Ashmui semakin penasaran. Ia ingin mengetahui siapa gerangan lelaki beruntung tersebut, suami dari wanita cantik yang berdiri di hadapannya itu.
Tiba-tiba, mata wanita tersebut terbelalak. Ia pun bergegas masuk ke dalam pondok dan mempersiapkan minuman dan sehelai kain pembersih (handuk). Sang menteri heran dengan perubahan mimik muka wanita cantik itu. Maka menolehlah ia ke belakang. Dilihatnya di kejauhan debu gurun yang mengepul. Semakin lama semakin tebal dan mendekat. Sesosok penunggang kuda pun mulai jelas terlihat. Ternyata, dia adalah suami wanita cantik itu. Rupanya, dia baru pulang dari berburu.
Apa yang membuat Al-Ashmui tak habis pikir adalah lelaki tersebut sungguh jauh dari yang dia bayangkan sebelumnya: muda, tampan, lembut, dan ramah. Al-Ashmui benar-benar dibuat terperangah. Ternyata, suami wanita cantik itu adalah seorang yang telah lanjut usia, buruk rupa, serta kasar dalam tindak dan tutur bicaranya. Baru saja mengikatkan tali kudanya, ia tak berhenti menghardik dan berkata-kata kasar kepada istrinya.
Yang lebih membuat sang menteri itu geleng-geleng kepala adalah sikap yang ditunjukkan wanita cantik itu kepada suaminya. Meski dihardik, ia dengan sabar dan lembut menyeka keringat di wajah, tangan, dan tubuh suaminya. Lalu, menghidangkan minuman dan makanan dengan sopan. Selayaknya seorang pelayan menghadapi rajanya.
"Subhanallah... subhanallah!" pekik Al-Ashmui berkali-kali dalam hati.
Sudah tiba waktunya Al-Ashmui untuk undur diri. Namun, untuk mengobati rasa penasarannya akan apa yang dilihatnya. Dia bertanya kepada wanita itu, "Engkau masih muda dan cantik. Tentu di sana masih banyak pemuda tampan dan kaya yang akan tergila-gila mendapatkanmu. Engkau juga baik hati dan setia. Mengapa engkau relakan dirimu hidup bersama lelaki yang kasar seperti itu? Tua dan buruk rupa lagi?"
Akan tetapi, jawaban yang diberikan wanita cantik itu sungguh semakin membuat Al-Ashmui terperanjat dan memuji Allah berkali-kali.
"Tuan, bukankah Rasulullah saw bersabda, ‘Agama itu terdiri dari dua bagian, yaitu syukur dan sabar."
"Nah, aku telah bersyukur," lanjut wanita cantik itu. "Karena Allah telah menganugerahkan kepadaku usia muda, kecantikan, dan perlindungan. Ia membimbingku berakhlak baik. Aku telah melaksanakan setengah agamaku. Karena itu, aku ingin melengkapi setengah agamaku lagi, yaitu bersabar. Ya, aku bersabar memiliki suami seperti yang Tuan lihat sekarang."
SubhanAllah ...