Pengakuan Nakata Khaula (Bag 2)

abatasa | Kamis, 07 November 2013 06:22 WIB | 5.387 kali
Pengakuan Nakata Khaula (Bag 2)
Dua pekan sesudah saya kembali ke pangkuan Islam, saya pulang ke Jepang untuk menghadiri pernikahan keluarga. Setelah itu, saya memutuskan untuk tidak meneruskan pendidikan di Sastra Perancis yang telah kehilangan daya tariknya. Sebagai gantinya, saya memilih kajian Arab dan Islam.

Sebagai seorang Muslimah yang baru dengan pemahaman Islam yang belum banyak, tinggal di kota kecil di Jepang dan jauh dari lingkungan Islam membuat saya merasa terisolasi. Namun, keterisolasian itu semakin menguatkan keislaman saya tahu saya tidak sendiri karena Allah SWT senantiasa menemani. Saya harus membuang semua pakaian saya dan, berkat bantuan beberapa teman, saya membuat patokan sendiri yang mirip pakaian orang Pakistan. Saya tidka merasa terganggu dengan pandangan orang yang tertuju kepada saya!

Sesudah enam bulan berada di Jepang, hasrat untuk mempelajari segala hal tentang Arab tumbuh begitu besar hingga saya memutuskan untuk pergi ke Kairo, Mesir, karena di sana saya punya seorang kenalan. Saya tinggal di rumah keluarga teman saya. Namun, tidak seorang pun keluarga teman saya itu dapat berbahasa Inggris (apalagi Jepang!). Seorang wanita menjabat tangan saya dan mengajak saya masuk ke dalam rumahnya. Ia memakai jubah hitam yang menutupi dirinya dari kepala hingga ujung jari. Bahkan, wajahnya pun tertutup. Meski di Riyadh saya telah terbiasa dengan hal itu, saya ingat saat itu saya terkejut.

Apalagi, saya teringat dengan kasus jilbab di Prancis. Saat itu, saya memandang perempuan dalam jubah sebagai," perempuan yang diperbudak budaya Arab karena tidak tahu Islam" (kini saya tahu menutup wajah bukan kewajiban dalam ajaran Islam, melainkan sebagai tradisi etnis semata).

Saya ingin mengatakan kepada wanita Kairo itu bahwa ia telah berlebihan dalam berpakaian sehingga tampak tidak alami dan tidak lazim. Namun, saya justru diingatkan wanita itu bahwa jilbab buatan saya sendiri tidak cocok digunakan di luar rumah-sesuatu yang tidak saya setujui sebelumnya karena saya merasa sudah memenuhi tuntutan jilbab bagi Muslimah.

Saya pun membeli beberapa bahan baju dan membuat pakaian wanita dalam ukuran yang lebih panjang, disebut juga khimar, yang menutup sempurna bagian pinggul ke bawah dan tangan. Saya bahkan siap menutup wajah saya, sesuatu yang dipakai sebagian besar saudara Islam saya. Meski demikian, mereka tetaplah minoritas di Kairo.

Secara umum, pemuda Mesir yang sedkit atau banyak terpengaruh budaya Barat masih menjaga jarak dengan perempuan yang memakai khimar dan memanggil mereka dengan sebutan ukhti. Laki-laki Mesir memperlakukan kami dengan penuh hormat dan sopan. Oleh karena itu, perempuan yang memakai khimar saling menjalin persaudaraan sehingga mereka turut menghidupkan sunnah Nabi Muhammad SAW-seorang Muslim hendaknya memberi salaam kepada Muslim lain yang ditemui di jalan, dikenal atau tidak dikenalnya.

Persaudaraan mereka yang lebih tepat untuk ditekankan itu didasari keimanan kepada Alloh SWT dibandingkan perempuan yang hanya memakai kerudung sebagai bagian dari bagian dari budaya dan bukan bagian dari keimanan. Sebelum berpaling ke pangkuan Islam, saya sangat senang memakai pakaian dengan model celana yang memungkinkan saya bergerak aktif meskipun bukan rok feminine. Namun, long dress yang biasa saya pakai di Kairo cukup nyaman bagi saya. Saya merasa anggun dan lebih santai.

Dalam budaya Barat, warna hitam adalah warna favorit untuk acara malam karena menguatkan kecantikan pemakainya. Saudara-saudara baru saya yang di Kairo pun tampak sangat cantik dengan khimar hitam mereka dan sangat menunjang cahaya ketakwaan yang terpancar dari wajah-wajah mereka (meski begitu, mereka sangat berbeda dengan suster Katholik Roma yang dulu menjadi eprhatian utama ketika saya berkesempatan mengunjungi Paris tidak berapa lama sesudah saya tinggal di Riyadh, Arab Saudi).

Saat itu, saya berada dalam satu metro (trem dalam kota) dengan suster-suster itu dan saya tersenyum karena keserupaan pakaian kami. Pakaian yang dipakai suster itu merupakan tanda ketakwaan mereka kepada tuhan seperti halnya Muslimah. Saya etrkadang merasa aneh dengan orang-orang yang tidak banyak mengkritik jubah yang dipakai suster Katholik Roma, tetapi mereka mengkritik dengan tajam jilbab yang dipakai Muslimah, terlepas dari pandangan bahwa keduanya dianggap melambangkan terorisme dan tekanan. Namun, saya tidak bermaksud mengabaikan jilbab dengan warna yang lebih cerah selain hitam karena pada kenyataannya sejak dulu saya bekeinginan memakai pakaian dengan gaya yang relijius seperti suster Katholik Roma jauh sebelum saya berpaling ke pangkuan Islam!

Meski demikian, saya menolak orang yang menganjurkan saya tetap memakai khimar sekembalinya saya ke Jepang. Saya akan marah kepada setiap Muslimah yang tidak begitu menyadari pentingnya ajaran Islam : sepanjang kita sudah menutup diri kita sesuai tuntunan syariat, kita boleh memakainya sesuai model yang kita inginkan. Apalagi, setiap budaya memiliki cirinya sendiri-sendiri sehingga pemakaian khimar hitam di Jepang hanya akan membuat orang berpikir saya orang gila dan mereka akan emnolak Islam jauh sebelum saya mengenalkan Islam dengan baik kepada mereka. Perdebatan kami biasanya seputar masalah itu.

Sesudah tinggal selama enam bulan di Kairo, saya sudah terbiasa dengan pakaian long dress sehingga saya mulia berpikir untuk tetap memakainya meskipun di Jepang. Komprominya, saya akan membuat khimar dengan aneka warna yang cerah atau putih dengan harapan orang Jepang tidak akan terlalu kaget dengan hal itu daripada saya hanya memakai khimar warna hitam. Ternyata saya betul. Reaksi orang Jepang lebih baik dengan khimar putih dan mereka lebih cenderung menduga saya sebagai yang relijius. Saya mendengar seorang gadis Jepang yang berkata kepada temannya bahwa saya seorang suster Buddha : betapa miripnya antara Muslimah, suster Buddha, dan suster Katholik Roma!

Sekali waktu di dalam sebuah kereta, orang tua yang berada dis ebelah saya menanyakan alasan saya memakai baju yang tidak biasa dipakai banyak orang. Ketika saya jelaskan bahwa saya seorang Muslimah dan Islam mengajarkan kepada perempuan agar menutup tubuh mereka supaya terlindung secara fisik maupun psikis, orang tua itu tampaknya sangat tertarik. Saat ia turun dari kereta, ia berterima kasih dan mengatakan bahwa ia ingin sekali berbicara banyak tentang Islam dengan saya.

Dalam waktu sekejap, ternyata jilbab menjadi factor yang dominant dalam memancing keingintahuan orang tentang Islam. Apalagi, orang Jepang bukanlah orang yang lazim berbicara banyak tentang agama. Sama seperti di Kairo, jilbab berperan sebagai tanda diantara sesama Muslimah, di Jepang pun hal yang sama saya lakukan.

Pernah suatu kali ketika dalam suatu perjalanan, saya berkeliling dan bertanya-tanya benarkah rute yang saya ambil ini. Pada saat itu, saya melihat sekelompok perempuan memakai jilbab. Saya pun mendekati mereka dan kami bersalaman satu sama lain.

Namun, ayah saya cemas ketika saya pertama kembali ke Jepang dengan menggunakan pakaian lengan panjang dan kepala tertutup rapat, padahal cuaca sedang panas meskipun saya sendiri merasa bahwa jilbab justru melindungi saya dari sinar matahari. Saya sendiri justru merasa tidak nyaman melihat adik eprempuan saya hanya memakai celana pendek sehingga tampak paha dan kakinya. Saya sering malu-bahkan sebelum saya kembali ke pangkuan Islam-terhadap perempuan yang memperlihatkan pantat dan pinggul mereka dengan pakaian yang ketat dan tipis.

Saya merasa seperti melihat sesuatu yang seharusnya tersembunyi. Jika pemandangan seperti itu saja membuat saya malu sebagai perempuan, saya tidak dapat membayangkan dampaknya jika dilihat laki-laki. Oleh karena itu, Islam memerintahkan manusia berpakaian sopan dan tidak telanjang di ruang public meskipun di ruangan khusus perempuan atau laki-laki.

Jelaslah, penerimaan sesuatu yang telanjang dalam suatu masyarakat berbeda-beda menurut pemahaman masyarakat atau individunya. Misalnya, di Jepang limapuluh tahun yang lalu, berenang dengan memakai baju renang yang setengah tertutup sudah dianggap vulgar, tetapi sekarang bikin sudah dianggap biasa. Namun, jika ada perempuan berenang dengan baju renang topless, ia dianggap tidak punya malu.

Lain halnya jika topless di pantai selatan Prancis yang sudah dianggap biasa. Begitu pun di beberapa pantai di Amerika Serikat. Kaum nudis sudah berani bertelanjang ria seolah-olah mereka baru dilahirkan. Jika kaum nudis ditanya tentang perempuan liberal yang menolak jilbab-mengapa mereka masih menutupi pantat dan pinggul mereka padahal keduanya sama alamiahnya dengan wajah dan tangan-apakah perempuan liberal mau memberikan jawaban yang jujur? Definisi tentang bagia tubuh perempuan yang harus tetap pribadi ternyata sangat bergantung pada fantasi dan ksesenangan laki-laki di sekitar mereka yang mengaku-ngaku sebagai feminis. Namun di dalam Islam, kita tidak akan menemui masalah semacam itu karena Alloh SWT telah menetapkan definisi tentang bagian tubuh perempuan dan laki-laki yang boleh dan tidak boleh diperlihatkan di ruang public. Kita pun patuh dan mengikutinya.

Jika saya melihat cara berpakaian manusia sekarang (telanjang atau hampir telanjang), buang air sembarangan, atau bercintaan di tempat umum, saya cenderung memandang mereka seperti makhluk yang tidak punya malu sehingga menjatuhkan martabat mereka hingga ke derajat binatang.

Di Jepang, perempuan hanya memakai make up saat keluar rumah dan sedikit sekali memperhatikan penampilan diri mereka di rumah sendiri. Padahal, Islam mengajarkan perempuan agar selalu tampil cantik bagi suaminya sehingga ia akan berusaha tampil menarik pula baginya. Tentu, dengan begitu muncul keanggunan dalam hubungan antara suami isitri di dalam Islam.

Muslim sering dituduh sebagai kelompok orang yang terlalu sensitive menyangkut tubuh manusia, tetapi tingkat kejahatan seksual yang terjadi akhir-akhir ini semakin menegaskan pentingnya pakaian sopan. Orang luar mungkin melihat Islam seperti melihat Muslim yang tampak kaku. Padahal jika dilihat dari dalam, ada kedamaian, kebebasan, dan kebahagiaan yang tidak akan pernah mereka rasakan sebelumnya. Menjalankan Islam-bagi Muslim yang terlahir di tengah keluarga Muslim atau orang yang kembali ke dalam pangkuan Islam-lebih disukai daripada jalan hidup bebas yang ditawarkan sekularisme.

***
[ditulis ulang oleh Kartika dari buku "Mereka Yang Kembali", Zenan Asharfillah, penerbit Pustaka Zaman, Jakarta, 2003/Hidayatullah.com]


Yuk Bagikan :

Baca Juga

Anak Marah, Atasi dengan Cara Ini
Selasa, 01 November 2016 16:27 WIB
Mengenalkan Allah pada Anak dengan Cara Sederhana
Selasa, 11 Oktober 2016 10:50 WIB
Ukhti Mau Mahar Apa?
Senin, 10 Oktober 2016 11:18 WIB