Catatan Seorang Istri

abatasa | Senin, 04 November 2013 08:26 WIB | 4.972 kali
Catatan Seorang Istri
Oleh Cahaya Khairani

Sebelum menikah, selain kriteria taqwa, saya tidak punya kriteria khusus untuk calon suami saya nanti. Karena saya menyadari bahwa saya bukanlah wanita yang ideal untuk dijadikan isteri, terutama untuk urusan pekerjaan rumah tangga. Maka saya amat sangat bersyukur pada Allah ketika Dia mengirimkan Lelaki Surga yang penyabar dan pengertian untuk saya.

Lelaki Surga itu tersenyum dan memandang saya penuh cinta ketika pada malam pertama kami, dengan jujur saya mengatakan bahwa saya tidak terbiasa melakukan pekerjaan rumah tangga. Memasak, mencuci, menyetrika, membersihkan rumah, semua pekerjaan rumah tangga dikerjakan oleh dua orang pembantu.

"Biar si bibi yang kerjakan"
Begitu kata Bunda bila kami anak-anaknya ingin mencuci piring bekas makan kami sendiri. Maka saya pun menjadi terbiasa "terima beres". Pakaian tinggal pakai, sudah bersih, rapi dan wangi. Mau makan, tinggal ambil di meja makan. Mau minum hangat atau dingin, pembantu yang membuatkan.

Setiap pagi pembantu akan bertanya minuman apa yang saya ingin dibuatkan. Sekali-sekali saya ke dapur membantu memasak, hitung-hitung sekalian belajar, tapi sedikit saja salah, Bunda akan mengusir saya dari dapur. Aneh memang, bukannya mengajarkan cara memasak yang benar, saya malah tidak dibolehkan di dapur.

Dengan bicara jujur pada suami, saya berharap ia mempersiapkan kesabaran dan pengertian yang lebih bila nanti, saya memasak makanan yang tidak sedap di lidahnya atau rumah kami menjadi kurang indah dalam penglihatannya.

"Nanti adek kan bisa belajar", ujar suami setelah mendengar penuturan saya. Tak ada raut kekhawatiran di wajahnya bila nanti saya tidak dapat mengurusnya dengan baik.

Belajar. Itulah yang harus saya lakukan. Manusia memang tidak boleh berhenti belajar. Belajar, tidak hanya di bangku kuliah, tapi juga di universitas kehidupan. Dan sekaranglah saatnya saya belajar di kehidupan rumah tangga, yaitu belajar menjadi isteri sholehah.

Proses belajar pun dimulai. Pekerjaan mencuci, membenahi rumah, menyetrika, ke pasar, memasak, menguras kamar mandi, semua saya lakukan sendiri tanpa bantuan pembantu rumah tangga, hanya suami yang sesekali membantu di sela-sela kesibukannya. Setiap hari selalu ada sayatan luka baru di jari jemari saya. Tubuh mulai mudah masuk angin. Rasa perih, ngilu, pegal-pegal, kaku, kerap menghinggapi telapak tangan saya.

Tapi jika mengingat betapa Allah sangat menghargai apa yang seorang isteri lakukan untuk suaminya, tidak ada alasan bagi saya untuk mengeluh, apalagi menyerahkan tugas-tugas itu kepada pembantu, rugi rasanya.

Setelah delapan bulan menikah. Hmm.lumayan juga hasilnya. Pakaian suami selalu rapi dan berbau wangi. Rumah kontrakan kami selalu bersih, lantainya selalu mengkilap. Pemilik rumah kontrakan tidak lagi harus turun tangan menggosok lantai kamar mandi karena saya sudah dapat melakukannya sendiri. Setelah beberapa kali dicontohkan secara tidak langsung oleh pemilik rumah, barulah saya tahu cara menggosok lantai kamar mandi yang baik dan benar.

Soal masak? Suami bilang saya sudah lebih pandai memasak. Tidak percuma ia rajin membelikan tabloid khusus resep masakan untuk saya pelajari. Tapi tentu saja saya tidak boleh merasa puas. Saya masih harus terus belajar dan belajar.. Mungkin ini lah salah satu rencana Allah menunda menganugerahkan kami seorang anak. Dia Maha Mengetahui kapan saat yang terbaik bagi kami untuk mendapat amanah seorang anak. Saat di mana saya telah menjadi isteri yang baik dan telah siap kembali belajar untuk menjadi Ibu yang baik.

Sumber : ervakurniawan


Yuk Bagikan :

Baca Juga

Anak Marah, Atasi dengan Cara Ini
Selasa, 01 November 2016 16:27 WIB
Mengenalkan Allah pada Anak dengan Cara Sederhana
Selasa, 11 Oktober 2016 10:50 WIB
Ukhti Mau Mahar Apa?
Senin, 10 Oktober 2016 11:18 WIB