Mengapa Anak Malas Belajar

abatasa | Rabu, 16 Oktober 2013 09:30 WIB | 4.581 kali
Mengapa Anak Malas Belajar
Mengapa anak-anak lebih suka bermain ketimbang belajar membaca? Mengapa sebagian anak senang tinggal di rumah, sebagian lagi tidak betah? Ada beberapa penyebabnya.

Pertama, kontruksi bangunan rumah. Hal ini memang jarang terperhatikan oleh banyak sekali keluarga. Mereka masih menganggap rumah sebagai “benda mati”. Padahal, rumah pada hakekatnya bukan hanya tempat tinggal belaka, melainkan juga tempat terbinanya kasih-sayang diantara keluarga, tempat dibinanya manusia-manusia sempurna (insanul kamil), tempat mekarnya taruna-taruna bangsa.

Oleh sebab itu, sesuai fungsinya, orang tua harus mampu menjamin seluruh penghuni agar betah di rumah, terutama anak-anak. Tanpa itu, terpadunya kasih-sayang dan kedamaian bisa jadi hanya tinggal impian.

Itulah sebabnya, konstruksi-desain-tata-ruang dalam suatu rumah perlu diperhatikan dengan seksama. Rancangan rumah secara tak langsung mempengaruhi jiwa penghuninya. Bahkan, kalau memungkinkan, sangat baik bila disediakan pula ruang belajar khusus, yang ditata sedemikian rupa hingga si anak bisa betah bertahan belajar di rumahnya sendiri.

Ruang belajar itu tak perlu mewah, dalam arti luas serta diisi perabot yang wah. Cukup sederhana saja. Secara psikologis ini akan membuat anak terbiasa dengan kesederhanaan hidup. Letaknya tentu tidak boleh serampangan. Sedapat mungkin hindarilah kondisi fisik yang gelap, pengap, dan tidak menyegarkan, serta … jangan terlampau dekat dengan kamar atau pun tempat tidur.

Ruang belajar ini dapat bermacam-macam ragamnya, tergantung kondisi keluarga yang bersangkutan. Bagi yang mampu, barangkali baik jika disediakan kamar khusus tempat belajar. Di tempat ini anak diberi keleluasaan untuk berkreasi dan mengembangkan potensi diri. Berilah mereka hak otonomi penuh atas ruangan itu, tak seorang pun dapat turut campur mengaturnya. Orang tua hanya mengarahkan, membimbing, serta mengontrol saja. Hal ini akan mendewasakan diri sang anak, karena sejak kecil ia terbiasa bertanggung jawab serta memikul akibat-akibatnya.

Di samping itu bisa juga dibuat format ruangan besar, dengan masing-masing anak memiliki otonomi atas meja belajarnya sendiri. Barangkali seperti suasana kantorlah, cuma harus dijaga juga ketentraman belajarnya. Selain itu, bisa juga meja belajar dipakai bersama, termasuk kedua orang tua. Di sini peran ayah ataupun ibu sungguh sangat  mengena, langsung menembus hati anak-anaknya.

Kedua, tata perangkat lunaknya, yakni perangkat-perangkat pengisi yang memperlancar proses belajar. Umpamanya saja pengaturan cahaya lampu atau sinar Matahari. Sekalipun tampaknya memang kurang berarti, namun kenyataannya hal itu sangat berpengaruh. Hal ini dapat kita mengerti dari fakta yang dapat kita jumpai setiap hari. Buku-buku misalnya, kebanyakan warna dasar kertasnya putih, yang cenderung kuat memantulkan cahaya. Karena mata harus bekerja keras untuk mengimbangi energi kuat yang dipantulkan dari kertas putih tersebut. Tentu anak tak akan tahan belajar lama-lama.

Begitu pula sebaliknya. Cahaya lampu yang terlalu lemah akan menyebabkan mata lelah dan cepat berair, kepala lekas pusing dan tegang, lalu akhirnya timbul rasa malas belajar.

Cahaya lampu perlu diatur sedemikian rupa agar mata bisa bekerja normal, tak berkontraksi atau pun menegang. Bagaimana pun juga hal ini amat penting, paling tidak salah satu faktor telah dapat kita kendalikan.

Perangkat lunak lainnya misalnya kedisiplinan, ketertiban, dan suasana kasih sayang. Yang dimaksud disiplin di sini bukan berarti otoriter dan bersikap kaku-keras terhadap anak-anak. Karena sikap seperti itu hanya akan menyebabkan si anak selalu merasa rendah diri, senantiasa salah dalam melakukan apa saja, dan sebagainya. Padahal, potensi kreatif anak hanya bisa tumbuh dalam suasana kebebasan yang terarah, bukan otoriter yang dipaksakan.

Begitu pula ketertiban, yang termasuk di dalamnya kebersihan dan keindahan. Pendek kata keharmonisan. Lingkungan rumah yang nyaman, senantiasa bersih, dan rapi pasti akan menimbulkan hasrat “menyenangkan”. Si anak akan betah berlama-lama di rumah. Siapa yang tidak senang berada dalam lingkungan yang selalu bersih dan menyenangkan?

Kendati demikian, semua itu tidak berarti sama sekali jika suasana di dalamnya serba menakutkan, serba hitam. Rumah, bagaimanapun jeleknya, tetap bukan pabrik tempat “memproduksi” manusia-manusia dan setelah itu dibiarkan begitu saja. Rumah juga bukan sekadar tempat pengistirahatan.

Bila penghuni rumah begitu sibuk mengurus diri sendiri dan kosong dari sinar kasih serta kedamaian, tidak heran bila banyak anak dan remaja tak pernah merasa betah di rumah. Kasih sayang yang amat didambakan tak kunjung tiba. Perhatian dan kedamaian secuil pun tidak mereka peroleh. Terkadang rumah mereka rasakan bagai Neraka. Akibatnya “lari”-lah mereka keluar, mencari dan mencari setitik kasih dan perhatian, mencari pohon tempat berteduh, tempat meluapkan gerah yang menghimpit batinnya.

Bukankah tindakan itu merupakan jalan pikiran yang sehat dan logis? Ia tidak menemukan  rasa “aman” di rumah, karena itu ia mencari “keamanan” di luar rumah. Kalau di rumah ia kurang memperoleh pengakuan dan penghargaan diri sebagai manusia, maka ia menuntut pengakuan dan penghargaan itu di luar rumah, dari teman sebayanya mungkin. Pendeknya, lingkunganlah yang kini menjadi tempat berlabuhnya. Jikalau lingkungannya baik, masih ada kemungkinan ia akan kembali menemukan dirinya lagi. Tapi kalau sebaliknya?

Pada dasarnya, anak-anak tidak mau belajar bukan karena dia malas. Kemalasan hanyalah akibat dari beberapa sebab yang mendahuluinya, yang pada intinya adalah karena ia tidak betah belajar. Ketidakbetahan belajar itupun sesungguhnya merupakan akibat dari sekian banyak sebab yang salah satu diantaranya –yang paling menonjol- adalah anak tidak merasa nyaman berada di rumah.

Hal terakhir ini pun merupakan akibat dari sejumlah sebab tertentu, antara lain kontruksi ruangan, tata letak dan desainnya, kerapihan, keindahan, keharmonisan, dan yang paling penting hubungan kasih sayang orang tua dengan anak-anaknya. Bisa dikatakan, faktor perhatian dan kasih sayang inilah –dalam arti sebenarnya- yang paling berpengaruh terhadap diri anak, sekalipun ia tinggal dalam gubuk miskin, reot, dan tak berbunga…!

*** Penulis: Nilna Iqbal

Sumber: pustakanilna{dot}com


Yuk Bagikan :

Baca Juga

Anak Marah, Atasi dengan Cara Ini
Selasa, 01 November 2016 16:27 WIB
Mengenalkan Allah pada Anak dengan Cara Sederhana
Selasa, 11 Oktober 2016 10:50 WIB
Ukhti Mau Mahar Apa?
Senin, 10 Oktober 2016 11:18 WIB