Mengapa anak-anak lebih suka bermain
ketimbang belajar membaca? Mengapa sebagian anak senang tinggal di
rumah, sebagian lagi tidak betah? Ada beberapa penyebabnya.
Pertama, kontruksi bangunan rumah. Hal ini memang jarang terperhatikan
oleh banyak sekali keluarga. Mereka masih menganggap rumah sebagai
“benda mati”. Padahal, rumah pada hakekatnya bukan hanya tempat tinggal
belaka, melainkan juga tempat terbinanya kasih-sayang diantara keluarga,
tempat dibinanya manusia-manusia sempurna (insanul kamil), tempat
mekarnya taruna-taruna bangsa.
Oleh sebab itu, sesuai
fungsinya, orang tua harus mampu menjamin seluruh penghuni agar betah di
rumah, terutama anak-anak. Tanpa itu, terpadunya kasih-sayang dan
kedamaian bisa jadi hanya tinggal impian.
Itulah sebabnya,
konstruksi-desain-tata-ruang dalam suatu rumah perlu diperhatikan dengan
seksama. Rancangan rumah secara tak langsung mempengaruhi jiwa
penghuninya. Bahkan, kalau memungkinkan, sangat baik bila disediakan
pula ruang belajar khusus, yang ditata sedemikian rupa hingga si anak
bisa betah bertahan belajar di rumahnya sendiri.
Ruang belajar
itu tak perlu mewah, dalam arti luas serta diisi perabot yang wah. Cukup
sederhana saja. Secara psikologis ini akan membuat anak terbiasa dengan
kesederhanaan hidup. Letaknya tentu tidak boleh serampangan. Sedapat
mungkin hindarilah kondisi fisik yang gelap, pengap, dan tidak
menyegarkan, serta … jangan terlampau dekat dengan kamar atau pun tempat
tidur.
Ruang belajar ini dapat bermacam-macam ragamnya,
tergantung kondisi keluarga yang bersangkutan. Bagi yang mampu,
barangkali baik jika disediakan kamar khusus tempat belajar. Di tempat
ini anak diberi keleluasaan untuk berkreasi dan mengembangkan potensi
diri. Berilah mereka hak otonomi penuh atas ruangan itu, tak seorang pun
dapat turut campur mengaturnya. Orang tua hanya mengarahkan,
membimbing, serta mengontrol saja. Hal ini akan mendewasakan diri sang
anak, karena sejak kecil ia terbiasa bertanggung jawab serta memikul
akibat-akibatnya.
Di samping itu bisa juga dibuat format
ruangan besar, dengan masing-masing anak memiliki otonomi atas meja
belajarnya sendiri. Barangkali seperti suasana kantorlah, cuma harus
dijaga juga ketentraman belajarnya. Selain itu, bisa juga meja belajar
dipakai bersama, termasuk kedua orang tua. Di sini peran ayah ataupun
ibu sungguh sangat mengena, langsung menembus hati anak-anaknya.
Kedua, tata perangkat lunaknya, yakni perangkat-perangkat pengisi yang
memperlancar proses belajar. Umpamanya saja pengaturan cahaya lampu atau
sinar Matahari. Sekalipun tampaknya memang kurang berarti, namun
kenyataannya hal itu sangat berpengaruh. Hal ini dapat kita mengerti
dari fakta yang dapat kita jumpai setiap hari. Buku-buku misalnya,
kebanyakan warna dasar kertasnya putih, yang cenderung kuat memantulkan
cahaya. Karena mata harus bekerja keras untuk mengimbangi energi kuat
yang dipantulkan dari kertas putih tersebut. Tentu anak tak akan tahan
belajar lama-lama.
Begitu pula sebaliknya. Cahaya lampu yang
terlalu lemah akan menyebabkan mata lelah dan cepat berair, kepala lekas
pusing dan tegang, lalu akhirnya timbul rasa malas belajar.
Cahaya lampu perlu diatur sedemikian rupa agar mata bisa bekerja normal,
tak berkontraksi atau pun menegang. Bagaimana pun juga hal ini amat
penting, paling tidak salah satu faktor telah dapat kita kendalikan.
Perangkat lunak lainnya misalnya kedisiplinan, ketertiban, dan suasana
kasih sayang. Yang dimaksud disiplin di sini bukan berarti otoriter dan
bersikap kaku-keras terhadap anak-anak. Karena sikap seperti itu hanya
akan menyebabkan si anak selalu merasa rendah diri, senantiasa salah
dalam melakukan apa saja, dan sebagainya. Padahal, potensi kreatif anak
hanya bisa tumbuh dalam suasana kebebasan yang terarah, bukan otoriter
yang dipaksakan.
Begitu pula ketertiban, yang termasuk di
dalamnya kebersihan dan keindahan. Pendek kata keharmonisan. Lingkungan
rumah yang nyaman, senantiasa bersih, dan rapi pasti akan menimbulkan
hasrat “menyenangkan”. Si anak akan betah berlama-lama di rumah. Siapa
yang tidak senang berada dalam lingkungan yang selalu bersih dan
menyenangkan?
Kendati demikian, semua itu tidak berarti sama
sekali jika suasana di dalamnya serba menakutkan, serba hitam. Rumah,
bagaimanapun jeleknya, tetap bukan pabrik tempat “memproduksi”
manusia-manusia dan setelah itu dibiarkan begitu saja. Rumah juga bukan
sekadar tempat pengistirahatan.
Bila penghuni rumah begitu
sibuk mengurus diri sendiri dan kosong dari sinar kasih serta kedamaian,
tidak heran bila banyak anak dan remaja tak pernah merasa betah di
rumah. Kasih sayang yang amat didambakan tak kunjung tiba. Perhatian dan
kedamaian secuil pun tidak mereka peroleh. Terkadang rumah mereka
rasakan bagai Neraka. Akibatnya “lari”-lah mereka keluar, mencari dan
mencari setitik kasih dan perhatian, mencari pohon tempat berteduh,
tempat meluapkan gerah yang menghimpit batinnya.
Bukankah
tindakan itu merupakan jalan pikiran yang sehat dan logis? Ia tidak
menemukan rasa “aman” di rumah, karena itu ia mencari “keamanan” di
luar rumah. Kalau di rumah ia kurang memperoleh pengakuan dan
penghargaan diri sebagai manusia, maka ia menuntut pengakuan dan
penghargaan itu di luar rumah, dari teman sebayanya mungkin. Pendeknya,
lingkunganlah yang kini menjadi tempat berlabuhnya. Jikalau
lingkungannya baik, masih ada kemungkinan ia akan kembali menemukan
dirinya lagi. Tapi kalau sebaliknya?
Pada dasarnya, anak-anak
tidak mau belajar bukan karena dia malas. Kemalasan hanyalah akibat dari
beberapa sebab yang mendahuluinya, yang pada intinya adalah karena ia
tidak betah belajar. Ketidakbetahan belajar itupun sesungguhnya
merupakan akibat dari sekian banyak sebab yang salah satu diantaranya
–yang paling menonjol- adalah anak tidak merasa nyaman berada di rumah.
Hal terakhir ini pun merupakan akibat dari sejumlah sebab tertentu,
antara lain kontruksi ruangan, tata letak dan desainnya, kerapihan,
keindahan, keharmonisan, dan yang paling penting hubungan kasih sayang
orang tua dengan anak-anaknya. Bisa dikatakan, faktor perhatian dan
kasih sayang inilah –dalam arti sebenarnya- yang paling berpengaruh
terhadap diri anak, sekalipun ia tinggal dalam gubuk miskin, reot, dan
tak berbunga…!
*** Penulis: Nilna Iqbal
Sumber: pustakanilna{dot}com