Pakaian adalah kebutuhan primer manusia yang harus terpenuhi
keberadaannya, selain air, udara, JL makanan, tempat tinggal, dan
informasi. Tanpa pakaian, ada sebagian aspek kehidupan manusia yang
hilang atau tidak sempurna. Bahkan, dalam kondisi tertentu, tanpa
pakaian boleh jadi manusia tidak lagi dianggap sebagai manusia normal,
la akan dianggap sebagai (maaf) manusia kurang beradab` atau terganggu
kondisi mentalnya. Kita sering takut ketika berpapasan dengan orang gila
di pinggir jalan yang tidak berpakaian atau berpakaian tidak layak
pakai. Kita pun sering mendesis marah melihat kaum wanita yang mengumbar
aurat. Pada dasarnya, mereka seperti orang kebanyakan. Bedanya hanya
satu, yaitu mereka me¬nanggalkan pakaiannya.
Kita dapat mengibaratkan kegunaan pakaian bagi manusia, sebagaimana
kegunaan bulu atau rambut bagi binatang. Apa fungsi bulu bagi binatang?
Sangat banyak. Dengan bulu, seekor binatang dapat membedakan dirinya
dengan binatang lain walaupun mereka masih satu jenis. Dengan bulu,
seekor binatang dapat terjaga keberlangsungan hidupnya. Bukankah bulu
melindungi hewan dari sengatan panas dan dingin, dari serangan makhluk
lain, atau dari metabolisme tubuh yang tidak sempurna? Dengan bulu,
seekor binatang pun bisa mengomunikasikan siapa dirinya dan apa yang
diinginkannya. Seekor merak jantan, misalnya, ia akan memamerkan bulu-
bulu indahnya tatkala ia jatuh cinta pada sang betina.
Dengan demikian, dari bulu saja, ada banyak hal yang dapat dilakukan
oleh binatang, mulai dari fungsi pembeda (diferensiasi), fungsi
perlindungan, dan fungsi komunikasi atau self presentation (pengungkapan
diri).
Jika fungsi bulu bagi hewan saja sedemikian kompleks, apalagi fungsi
pakaian pada manusia yang memiliki kesempurnaan fisik dan akal budi.
Fungsi pakaian bagi manusia jauh lebih banyak daripada fungsi bulu pada
binatang. Pakaian bukan sekadar unsur pembeda antara seorang manusia dan
manusia lainnya, bukan pula sekadar melindungi diri dari cuaca, atau
sarana untuk mengomunikasikan dan mempresentasikan diri. Pakaian bagi
manusia memiliki fungsi-fungsi lain yang tidak ditemukan pada binatang,
khususnya fungsi yang mengatasi hal-hal yang bersifat fisik, misalnya
fungsi estetika dan agama. Dalam fungsi-fungsi tersebut tersirat
warna-warni emosi, kecerdasan, kreativitas, dan ilmu pengetahuan. Dengan
kata lain, pakaian bagi manusia tidak hanya menyangkut aspek jasmaniah,
melainkan juga aspek psikis dan rohaniah.
Di dalam Al-Quran, Allah SWT menginformasikan hal tersebut dengan sangat gamblang, "Wahai anak cucu adam!
Sesungguhnya Kami telah menyediakan pakaian untuk menutupi auratmu dan
untuk perhiasan bagimu. Tetapi pakaian takwa, itulah yang lebih baik.
Demikianlah sebagian tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka
ingat." (QS al-Araf [17]: 26)
Ayat tersebut menyiratkan adanya dua macam pakaian yang melekat pada
diri manusia, yaitu pakaian fisik dan nonfisik. Keduanya sama-sama
penting. Pakaian fisik adalah segala macam aksesoris atau perhiasan yang
melekat pada tubuh, mulai dari baju, celana, kerudung, dan segala
pelengkapnya. Di dalam Islam, hukum asal pakaian dan perhiasan yang
bersifat fisik adalah boleh (mubah), kecuali apabila ada dalil yang
mengharamkannya. Hal ini sesuai dengan kaidah fiqih yang menyatakan
bahwa al-ashl fil adah al-ibahah ¡Ha ma dai la ad-dalil ala al-man.
Artinya, hukum asal dari adat istiadat adalah boleh, kecuali ada dalil
yang melarangnya. Meskipun demikian, hukum asal ini bisa berubah karena
suatu kondisi tertentu. Pakaian bisa menjadi wajib apabila tujuan dari
memakainya adalah untuk menutup aurat dan melindungi tubuh dari panas
dan dingin Pakaian bisa menjadi sunnah apabila dipakai untuk tujuan
menampakkan nikmat dari Aliah SWT. Pakaian bisa menjadi makruh apabila
ditakutkan akan mendatangkan riya ketika memakainya. Pakaian pun bisa
menjadi haram apabila dipakai untuk kesombongan atau melakukan
kemaksiatan.
Adapun pakaian nonfisik merujuk pada akhlak atau perbuatan manusia.
Dalam ayat tersebut, Allah SWT menekankan bahwa sebaik-baik pakaian
adalah pakaian ketakwaan. Inilah pakaian yang akan memengaruhi dan
menjiwai segenap penampilan manusia, baik yang fisik maupun rohani; yang
tampak maupun yang tidak tampak.
Apabila baik akhlaknya, akan baik pula segenap penampilan, ucapan,
busana, dan semua tindak tanduknya. Bukankah akhlak-yang terambil dari
akar kata "khuluq" yang berarti tabiat, muruah, kebiasaan, fitrah, atau
naluri-adalah sesuatu yang menggambarkan perilaku seseorang yang
terdapat dalam jiwa yang baik, yang darinya keluar perbuatan secara
mudah dan otomatis tanpa terpikir sebelumnya? Seorang mukmin yang
berakhlak mulia akan tampak kemuliaannya dari pakaian yang dikenakannya,
baik lahir maupun batin.
Takwa pun bisa dimaknai sebagai "kewaspadaan" atau "kehati-hatian".
Artinya, orang yang bertakwa senantiasa waspada atau hati-hati dari
melakukan perbuatan dosa sekecil apa pun. Dalam berpakaian, seorang
hamba yang bertakwa akan menjadikan kehati-hatian sebagai sikap
pertamanya, la tidak ingin busana yang dikenakannya mendatangkan fitnah
atau keburukan, baik bagi dirinya sendiri maupun orang-orang di
sekitarnya, terlebih mendatangkan kemurkaan Allah Azza wa lalla.
Keburukan tersebut bisa datang dari hal-hal kecil, misalnya pakaian yang
bau dan kumal hingga hal besar, seperti tabarruj atau menampakkan aurat
di hadapan orang yang bukan mahramnya; atau berpakaian dengan tujuan
pamer dan berbangga diri agar dipuji dan dikagumi orang lain.
Dengan demikian, pakaian ketakwaan menjadi instrumen khas yang
membedakan manusia dan hewan, seorang manusia dan manusia lainnya,
bahkan membedakan manusia dan malaikat serta para penghuni langit
sekalipun.
Kesempurnaan di hadapan Allah SWT dan di hadapan manusia meliputi aspek
jasmani dan rohani, luar dan dalam, yang tampak dan tidak tampak. Itulah
mengapa, agar dapat berpakaian secara benar, Allah dan Rasul-Nya
menuntun segenap manusia untuk berpakaian secara islami. Artinya, ia
akan mengenakan pakaian yang dapat memenuhi fungsi- fungsi utama sebuah
pakaian sebagaimana digariskan oleh Allah yang memberi pakaian tersebut.
Pakaian yang islami tersebut tentu saja tidak lantas meninggalkan aspek
estetika atau keindahan, kenyamanan, kesehatan, dan muatan luhur budaya
lokal.
Dengan demikian, ketika seorang muslimah berusaha kaftah dalam
menjalankan tuntunan agamanya, niscaya ia akan mendapatkan aneka
kebaikan dari busananya tersebut. Tidak hanya terpenuhinya fungsi-fungsi
berpakaian, tetapi juga bisa tampil lebih cantik, sehat, dan tentunya
syari.
Pada bagian selanjutnya dari buku ini, kita akan membahas hal tersebut
secara global, ditambah beberapa model busana muslimah yang digagas oleh
penulis. Insya Allah akan menginspirasi pembaca.
Dikutip dari : The Power of Hijabers
Penerbit : Tinta Mediana
Penulis : Tauhid Nur Azhar