Akibat Tak Berjilbab

abatasa | Jum'at, 04 Oktober 2013 07:04 WIB | 6.781 kali
Akibat Tak Berjilbab
Kakak sepupuku yang sedang berlibur di kampung bersama suami dan anaknya. Dia menyuruh adiknya, sebut saja namanya Lula untuk menempati rumahnya di Parungkuda, Sukabumi. Adiknya minta aku untuk menemani. Terang saja, aku tak menolaknya karena ibuku dinikahi oleh pemuda satu kampung dan akhirnya aku sebagai anaknya merasa menjadi korban. Selama aku lahir ke dunia, selama aku hidup, selama Idul Fitri belum pernah merasakan yang namanya pulang kampung.

Besoknya kami berangkat. Aku hanya membawa pakaian ganti untuk tidur saja. Karena aku pikir di sana juga tidak akan pergi ke mana-mana. Jadi, aku tidak membawa ganti baju panjang. Singkat cerita sampailah kami di rumah, Parungkuda. Tidak banyak yang kami lakukan selain nonton televisi, masak, nyuci lalu dengar musik. Mendengarkan musik merupakan kegiatan yang menyenangkan, sangat menghibur diri karena di rumah tidak ada alat elektronik seperti yang ada di sini.

Suatu malam, saat kami mau masak dan menggeledah dapur. Ternyata tidak ada apa-apa, hanya ada beras dan bumbu. Aku dan Lula pergi ke warung untuk membeli teman nasi, meskipun hanya mie rebus. Di warung itu kebetulan ada dua orang pemuda yang seusia dengan kami. Karena melihat kami, mereka mengajak kami berkenalan. Dengan mudahnya Lula menerima perkenalan mereka. Aku dengan terpaksa tidak bisa menghindari perkenalan ini dan dengan niat hanya sebatas kenal saja. Betapa murahnya Lula, ternyata kamu belum menghilangkan kebiasaan ini. Lula mengajak mereka untuk singgah sebentar ke rumah. Merekapun singgah. Tapi, kami tidak mengizinkan mereka masuk. Kami mempersilahkan mereka duduk di kursi yang ada di teras. Persinggahan hanya membicarakan seputar rumahnya di mana? Nomor hapenya berapa? Masih sekolah atau udah kerja?

Mereka sudah kerja di salah satu perusahaan industri di Sukabumi. Sementara Lula, dia memperkenalkan dirinya. Dia bilang, kalau dia sudah bekerja pada pabrik garmen di Parungkuda, Sukabumi dan kenyataannya seperti itu. Tambahnya lagi, dia bilang kalau dia ngekos dekat pabrik tempat dia bekerja. Sedangkan aku? Aku bilang kalau aku masih sekolah kelas dua aliyah dan di sini hanya berlibur. Sekitar dua puluh menit kami bercakap-cakap, merekapun pamit pulang.
***
Waktu menunjukkan jam 09.00 WIB. Selesai merapikan rumah, mencuci piring, pakaian dan memasak. Lula memintaku untuk mengantarnya ke Pasar Cicurug. Sebetulnya bukannya aku tidak mau mengantar dia, tapi baju panjang yang aku bawa basah. Tidak mungkin aku pergi tanpa menggunakan kerudung. Aku mencoba menolaknya dengan cara meminjam baju dia yang berlengan panjang. Namun sayang, dia tidak punya baju yang aku inginkan, semua pakaiannya berlengan pendek.

"Waduh gimana ya, aku gak bisa mengantarmu, pergi sendiri aja deh," tolak Aku "Masa aku pergi sendiri? Ga mungkin! Ayolah antar aku sebentar saja. Pake baju aku saja! Sekali-kali ga usahpake kerudung ga apa-apa kan? Lagi pula rambut kamu kan bagus sayang kalau ditutupin terus. Kali ini ajaga usah pake kerudung!" rayu Lula Aku tidak merespon apa-apa dari perkataannya. Aku hanya terpaku, diam seribu bahasa. Berfikir bagaimana jadinya nanti? Jika aku keluar tanpa kerudung dan berlengan pendek pula!

"Tidak bisa!" hatiku menolak.
Aku termenung lama sekali. Sampai-sampai aku tak menyadari kalau dia sudah menyiapkan baju untukku.
"Ayolah! Sekali ini aja ga pake kerudung! Lagi pula ga ada yang liat ini kan! Orangtua di rumah trus di sini juga ga ada yang kamu kenal." Lula membuyarkan renunganku.

Aku yang baru berusia 17 tahun, emosi yang belum terkendali, sikap yang masih kekanak-kanakkan dan dalam pemahaman agama serta keimanan yang belum mantap menuruti apa yang diperintahkan oleh sepupuku itu,
"Baiklah, tapi untuk kali ini saja", benar juga kata dia orangtua tidak ada, lagipula tidak ada yang aku kenal disini. pikirku tanpa mengingat keberadaan Allah.
***
Perjalanan menuju pasar menggunakan angkutan umum. Saat kami mau menyeberangi jalan raya yang begitu lebar dan kendaraan melaju cepat, sehingga membuat kami kesulitan untuk menyebrangi jalan. Di tengah kesulitan penyeberangan, tiba-tiba ada seorang pria yang menghampiri dan hendak menolong kami. Tapi, dengan wajah tanpa dosa, pria itu memegang pergelangan tanganku.

"Ya Allah... ampuni aku, tanganku yang selama ini aku tutupi, kini di pegang oleh peria yang tak ku kenal." Dalam hati aku sangat sedih dan menyesal sekali, sesal yang menyakiti hati dan fitrahku.
Aku tak bisa berkutik karena saat tanganku di pegang, posisi kami berada di tengah jalam. Sesampainya di persimpangan jalan, langsung ku tepis tangan peria itu tapa memberikan ucapan terimakasih, tapi, lula yang memberi ucapan itu. Setelah itu, kami bergegas naik angkutan umum.

Di tengah perjalanan. Hatiku menangis, aku menyesal ........... menyesal sekali dan berfikir " apakah ini teguran dari Allah. Karena aku telah berani membuka hijab ini?" selama itu pula aku tak mengeluarkan suara, aku diam seribu bahasa.

Sesampainya di pasar. Teguran lain bermunculan. Banyak pria baik itu bedagang, tukang ojek, pemuda maupun bapak - bapak yang notabane sudah tua-tua menggoda kami. Kami di siul siul, seolah - olah kamu adalah perempuan nakal. Dari sini hatiku menjerit. Betapa rendahnya aku telah tergoda oleh rayuan setan yang terkutuk. Aku ingin segera pulang. Aku sudah tidak tahan berada di luar rumah tanpa hijab yang selama ini aku pakai, bagusnya, lula berbelanja tidak lama. Setelah ia menemukan apa yang ia butuhkan, kami langsung pulang, sebetunya ia mengajakku untuk makan bakso. Tapi aku menolaknya, aku bilang padanya aku ingin segera pulang. Aku tidak betah berada di sini. Alhamdulillah ia menurutiku.

Setibanya aku di rumah kakak sepupuku. Tanpa pikir panjang aku langsung mandi dan sholat, aku mohon ampun pada allah subhanahuwataala. Dalam doa aku menangis dosa yang paling bodoh yang telah aku perbuat. Aku tidak akan bergaul dan bergabung lagi dengan orang -orang yang telah membuatkau seperti ini. Akrena hati dan jiwaku terluka.

Ya allah semoga engkau mengampuni hamba yang hina dan rendah ini. Ternyata engkau telah memberikan tempat terbaik untuk hamba, betapa bodohnya hamba yang tidak pernah mensyukuri semua ini. Orang tua yang menikan saru kampung dan mereka yang ridak pernah mengijinkan aku untuk pacaran, pergi keluar selain sekolah. Tapi aku selalu berontak dengan semua ini. Ampuni hamba ya Allah atas perbuatan ini. Ternyata mereka telah membikan sesuatu yang sangat berharga bagi hidup hamba sebagai putrinua dan sebagai hamba-Mu.



Yuk Bagikan :

Baca Juga

Anak Marah, Atasi dengan Cara Ini
Selasa, 01 November 2016 16:27 WIB
Mengenalkan Allah pada Anak dengan Cara Sederhana
Selasa, 11 Oktober 2016 10:50 WIB
Ukhti Mau Mahar Apa?
Senin, 10 Oktober 2016 11:18 WIB