Bukan Sempurna Tapi Terbaik

abatasa | Selasa, 17 September 2013 08:53 WIB | 6.160 kali
Bukan Sempurna Tapi Terbaik
Sayang..dimana ikat pinggangku?" teriak suamiku.
Kalau saja aku tidak mengingat akhlak Nabi SAW dalam berbicara, rasanya aku tidak ingin menjawab pertanyaan itu.
Sudah 8 tahun, dan masih saja pertanyaan itu mewanrai aktivitas kami di pagi hari.
"cari dulu dong, mas! Coba di kamar", ujarku seraya membolak - balik roti di atas panggangan.
" sudah kucari tapi engga akda"

Aku tahu, suamiku tidak mencari dengan saksama. Pandangannya tidak menyapu detail. Yah itulah lakiu-laki. Oandangannnya hanya searah fokus, tapio tidak detail menyeluruh. Alhasil, mereka acap kesulitan mencari sebuah benda.

Kumatikan kompor dan berali menghampirimnya. Aku membalik pintu dan mengambil ikat pinggang yang tergantung manis di pojok kamar. "ini seruku seraya menyodorkan ikat pingang.

"serius sayang, tadi sudah kubolak balik pintu ini, tapi aku tidak memukan ikat pinggangku, " katanya menutupi keteledoran.
Aku hanya tersenyum kecut dan kembali ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Sebenarnya , aku jengkel dengan kebiasaan yang satu itu. Sudah berualng kali aku ingat untuk tidak sembarang meletakkan ikat pinggang, tetapi masih juga diulang.

Itu belum seberapa, masih banyak karakter lain yang bikin aku sewot. Ia orang yang tidak suka berencana, mengalir apa adanya, jauh dari ambisi. Ini terefleksi dalam kadar kegigihan mencari nafkah, keterlibatan mengasuh anak dan upaya melakukan perbaikan dalam kehidupan. Sebaliknya aku memiliki karakter yang bertolak belakan dengannya. Aku orang yang sangat terencana, mnyaris perfeksionis, dan berupaya melakukan perubahan meski sedikit demi sedikit. Tak jarang pertengkaran acap tersulut, untuk kondusi yang bertolak belakang ini.

Sampai suatu sore, sepulang kerja. Ane sobatku mengundangku minim teh di sebuah kafe. Ane merupakan salah satu sobat yang berkelimpahan secara meteri. Suaminya merupakan pengusaha sukses yang cukup populer. Jujur, kadangkala aku iri pada ane yang memiliki suami supergigih dalam mencari nafkah.

Kami menikmati sepotong croissant dan secangkir teh dilmah hangat. Karena sudah lama tidak bertemu, kami pun mengobrol, ngalor-ngidul.

Hingga kemudian Ane berkisah tentang kelakuan suaminya yang membuatku terkejut.
"Sebenarnya, ia suami yang luar biasa bertanggung jawab terhadap anak-anak.Tapi aku tidak tahan karakter amarah dan sikap kasarnya, la mudah sekali emosi saat berbicara kepadaku. Kata-katanya kasar, sangat menyinggung,"tutur Ane.

"Kepada anak-anakmu juga?"
"Syukurnya tidak, la begitu mencintai anak-anak, la sangat lembut pada anak-anak."
"Kamu menegurnya?"

"Sudah. Dia berkata tidak bermaksud demikian. Dia hanya bilang,Ini sudah karakterku. Kamukan tahu bagaimana aku?!" ujar Ane menirukan ungkapan suaminya.

"Alasan dia tidak bisa kuterima Sya. Aku senantiasa mengingat kata-kata Noveldi, konselor pernikahan. Seringkali kita tidak mampu membedakan antara prinsip dan ego. Ketika seseorang tidak mau mengubah karakternya yang buruk, maka itu namanya ego, bukan prinsip. Padahal kita semua bertumbuh dan berkembang menjadi lebih baik," lanjut Ane.

Aku menggangguk sepakat. "Hem, barangkali ada peristiwa di masa lalu yang memengaruhi sikapnya terhadapmu. Mungkinkah ayahnya juga bersikap demikian terhadap ibunya sehingga ia menganggap hal itu sebagai sesuatu yang sah dilakukan?"
"Enggak tahu.Tapi yang jelas aku tersiksa dengan emosinya."
"Dia memukulmu?"

"Tidak. Tapi aku tidak tahan dengan kata-katanya yang menyinggung. Beberapa kali aku dibilang bodoh"tutur Ane sambil menyeka air mata yang muncul di ujung matanya.

Aku mengusap punggungnya, merasakan bagaimana harga dirinya terkoyakdengan kata-kata itu. Dalam hati aku tak henti-hentinya bersyukur. Suamiku tidak pernah berkata kasar.Terlebih membodoh-bodohiku.

"Ne, setiap kita pasti diuji. Mungkin sudah paket-mu, mendapatkan suami yang yang pintar mencari nafkah hingga kamu berkelimpahan harta. Akan tetapi di saat yang sama kamu diuji lewat karakter suami yang keras. Sebaliknya aku, suamiku orang yang lembut dan humoris namun tidak segigih suamimu dalam mencari nafkah."

Ane mengangguk lemah.
"Aku jadi teringat kata-kata Ustadzah Ema. Tidak ada manusia yang sempurna. Pasti ada celah ujian yang akan dilalui. Semata mengingatkan dirinya bahwa kesempurnaan hanya milik Allah hingga ia akan sangat bergantung pada-Nya demi menggenapi ketidaksempurnaan itu," ungkapku. Sebetulnya kata-kata ini kutujukan untuk diriku yang belakangan menuntut kesempurnaan suami.

Ane memelukku erat. Tangisnya pecah.
"Suami kita memang tidak sempurna, Sya. Tapi mereka pastinya yang terbaik buat kita Sya. Lewat mereka, Allah memanggil kita untukberjihad meraih rida-Nya."Sekali lagi kata-kata ini kutujukan untuk mengobati hatiku yang sedang galau.

Sumber : Majalah Paras Edisi September
Penulis : Ummu Nuha


Yuk Bagikan :

Baca Juga

Anak Marah, Atasi dengan Cara Ini
Selasa, 01 November 2016 16:27 WIB
Mengenalkan Allah pada Anak dengan Cara Sederhana
Selasa, 11 Oktober 2016 10:50 WIB
Ukhti Mau Mahar Apa?
Senin, 10 Oktober 2016 11:18 WIB