Mendidik anak hingga menjadi pribadi yang baik tidak semudah membalikan telapak tangan. ada kalanya orang tua kesal melihat lanh sang anak, lalu bagaimana sebaiknya orang tuan breaksi atas kekesalan itu?
Vita begitu kaget ketika mendapati laptopnya hancur dirusak oleh rizi yang menginjak usia 2 tahun. Kaca LCD-nya pecah, padahal semua file kerja tersimpan di laptop itu. Mau marah juga percuma, anaknya belum paham.
Lain halnya dengan desi yang marah besar pada ananknya Akbar (5 Tahun ), Ketika anaknya merusak hp-nya "Akbar, kamu tuh keterlaluan ya, merusak hp mama. Kamu tidak tahu hp itu harganya mahal sekali. Gaji papamu sebulan tidak cukup untuk beli hp ini ", ungkapnya sabil berteriak pada akbar.
Kapan Bunda Boleh Marah
Dampak Kemarahan pada Anak
Marah merupakan sesuatu yang alamiah agi setiap manusia. Begitu juga dengan rangtua, ia bisa marah karena jengkel atau sebel dengan perbuatan anak. Namun sagat disayangkan, jika kemarahan orangtua lentik dengan pukulan fisik, kekerasan veral (umpatan, makian, dan cacian), dan meimbulkan luka psikis bagi anak.
Membentak anak sepertinya sudah menjadi kebiasaan sebagian orangtua. Saat melihat anak melakukan kesalahan, atau ketidakpatuhan, orangtua memang sering dibuat ngkel dan marah.
Secara refleks, karena emosi, orangtua serig bermaksud menasihati, tapi diucapkan engan nada tinggi. Kebiasaan ini juga lebih iring dilakukan oleh orangtua yang tempramental. Pertanyaannya, efektifkah menasihati anak dengan bentakan? Tentu tidak,
Para peneliti menemukan, remaja yang pernah mengalami kekerasan atau pelecehan memiliki lebih sedikit area grey matter-jaringan yang berisikan sel-sel otak di beberapa bagian otak dibandingkan dengan remaja yang tidak pernah mengalami kekerasan atau pelecehan.
sebab kalau anak terlalu sering dibentak, ia bisa tumbuh menjadi pribadi yang minder, tertutup, bahkan pemberontak, la pun bisa menjadi temperamental dan meniru kebiasaan angtuanya, suka membentak. Karena anak dalah cerminan orangtua.
Di sisi lain, bentakan, teriakan, cacian, atau lakian dapat dikategorikan sebagai tindak ^kerasan secara verbal dan emosional. Efeknya, bisa menjadi berat dan berbahaya jika j terjadi berkali-kali atau dalam waktu yang erkepanjangan.
Sebuah penelitian yang dipublikasikan alam Jurnal Current Biotogy memaparkan enggunaan scan khusus otak untuk mengeksplor dampak dari kekerasan fisik terhadap erkembangan emosional anak. Para peneliti tenemukan, remaja yang pernah mengalami kekerasan atau pelecehan memiliki lebih sedikit area grey matter jaringan yang berisikan sel-sel otak di beberapa bagian otak dibandingkan dengan remaja yang tidak pernah mengalami kekerasan atau pelecehan.
Jika ini terjadi, bisa menyebabkan remaja tersebut sulit untuk berpikir jernih dan tangkas. Hillary Blumberg, profesor psikiatri dari Yale School of Medicine, New Haven, menambahkan, hasil scan menunjukkan bahwa kekerasan pada anak perempuan menyebabkan terjadinya perbedaan di area otakyang berhubungan dengan pengolahan emosional. Hal ini membuatanak perempuan lebih rentan mengalami gangguan mood, seperti depresi.
Sementara pada anak laki-laki yang mengalami kekerasan, akan terjadi perubahan di area kendali impuls, yang bisa membuat mereka lebih rentan terhadap kecanduan narkoba dan alkohol.
Menurut Emmy Soekresno, S.Pd, orangtua boleh menunjukkan emosi marah pada anak. Bagaimanapun, anak perlu tahu jika mereka berbuat salah, namun dengan cara yang bijak. "Orangtua tidak boleh terlalu keras, misalnya membentak kasar, apalagi memukul," kata Emmy, yang ditemui dalam sebuah seminar di kawasan Kampung Melayu. Kalau anak berbuat salah, sebaiknya orangtua menarik napas panjang atau pergi ke ruangan lain untuk menetralkan emosi dan kemarahan. Setelah tenang, barulah kembali kepada anak.
"Tunjukkan sikap marah Anda dengan bijak. Karena anak balita akan menanam dalam bentuk apapun. Termasuk sikap kemarahan orangtua terhadapnya, yang bisa berpengaruh pada pertumbuhan jiwanya di masa mendatang,"ungkapnya.
Ada Konsekuensi, Ada pula Hadiah
"Untuk menjadi seorang ibu yang sabar dan bijak butuh proses. Jika anak berbuat salah, orangtua wajib menegur agar perbuatan salah tidak diulangi. "Dengan menegur anak, hal ini mengajarinya bagaimana menghadapi persoalan," ujar pakar pendidik Emmy Soekresno. "Hal ini akan membantunya menjadi pribadi yang tangguh dan mandiri. Jadi tidak harus dibentak atau dipukul,"tambahnya.
Orangtua perlu bijak mengelola rasa marah dan menunjukkan marah dengan cara yang tepat. Lalu bagaimana marah yang benar dan tepat? "Yang menonjolkan aspek tanggung jawab anak, melalui pemberian konsekuensi dari setiap perilakunya. Konsekuensi itu tidak selalu menyenangkan, bisa saja tidak menyenangkan, misalnya, kalau mengotori rumah, konsekuensinya membersihkan. Kalau
"Tunjukkan sikap marah Anda dengan bijak. Anak balita akan menanam dalam bentuk apapun. Termasuk sikap kemarahan orangtua terhadapnya, yang bisa berpengaruh pada pertumbuhan jiwanya di masa mendatang."
tidur malam, konsekuensinya terlambat bangun," ungkap pemilik sekolah Jerapah Kecil Smart Star ini.
Orangtua yang bisa mengelola emosinya dengan baik akan berdampak positif bagi perkembangan pribadi anak. Anak dapat mengembangkan rasa percaya diri melalui rasa aman yang tercipta. Anak juga mampu mengembangkan kematangan emosinya, tanggung jawab, kemandirian, dan anak pun sehat secara mental karena berada di lingkungan yang penuh rasa aman, tenteram, dan kehidupan yang diwarnai kegembiraan.
Sebaiknya, konsekuensi yang akan diterima anak sudah dibicarakan bersama anak. Anak jadi tahu apa yang akan diperoleh jika berperilaku tidak baik, anak pun akan merasa lebih dihormati dan dihargai keberadaannya. Konsekuensi tidak dibuat sepihak, sebab kalau hal ini dilakukan, anak akan merasa makin diperlakukan tidak adil.
Selain itu, menurut Emmy, konsekuensi disarankan tidak menyakiti anak, baik fisik maupun psikis. Agar lebih mengena, konsekuensi yang diberikan merupakan hal yang tidak disenangi anak. Jika anak tidur larut malam karena keasyikan main atau nonton teve, konsekuensinya (misalkan) besok tidak akan diajak liburan.
Selain konsekuensi, jangan lupa pula memberi hadiah (reward)jika anak berperilaku baik. Hadiah bisa berupa uang, bisa juga berupa pujian. Dengan begitu, anak akan merasa diperhatikan. Memberi hadiah atau upah saat melakukan sesuatu tidak perlu terlalu besar. Hal yang paling penting bukan uang atau hadiahnya, melainkan semangatnya. Artinya, jika anak ingin mendapatkan sesuatu, ia harus bekerja dan melakukan sesuatu yang produktif, tidak sekadar meminta. Jadikan anak sebagai sahabat hingga ia merasa nyaman berada di dekat orangtuanya.»
Teks: Windya Novita; Majalah Paras