Aku Bertahan Demi Anak

abatasa | Jum'at, 10 Mei 2013 07:02 WIB | 12.470 kali
Aku Bertahan Demi Anak
Kutatap cermin dengan hati teriris pilu. Masih ada sisa lebam di bawah mataku, akibat pukulan suamiku tiga hari lalu, la memukulku hanya karena hal sepele, masakanku kurang asin, la marah besar, lalu melempar piring dan memukulku. Ini bukan kali pertama ia berbuat kasar. Siksaan fisik dan psikis acapkali kuterima sejak awal pernikahan. Ya Allah, berikan aku kesabaran. Aku kuat bertahan bersamanya demi Shintia (bukan nama sebenarnya), anak kami.

Aku yakin perempuan mana pun tak ada yang ingin disiksa. Malu rasanya jika habis dipukul lalu keluar rumah. Banyak tetangga bertanya. "Mengapa, pasti habis dipukul lagi ya?" Aku hanya terdiam dan menunduk. "Aku heran sama kamu Riana (bukan nama sebenarnya), kok bisa hidup bersama orang gila," ucap Yuli tetanggaku. Banyak orang menyarankan agar aku bercerai. Entahlah, aku tak punya keberanian untuk melakukannya. Aku memilih tetap bertahan dengan berbagai pertimbangan. Dari dulu aku tidak mandiri secara finansial. Bagaimana aku membesarkan anakku tanpa ayahnya?

Jika menilik kembali, aku sendiri heran mengapa aku bisa berjodoh dengannya. Dulu di usiaku yang ke-29 tahun, aku belum mandiri secara finansial dan belum tuntas menemukan pendamping hidup. Gelar sarjana yang kuperoleh, hasil dari 5 tahun duduk di bangku kuliah, tak menjamin diriku mendapatkan pekerjaan. Sejak lulus kuliah, puluhan lamaran aku kirimkan, namun semua ditolak. Sekalipun ada perusahaan yang menerimaku, pekerjaannya tak cocok dengan bidang pendidikanku. Jadi aku menolaknya.Terkadang ada rasa iri melihatteman satu angkatan sudah menikah dan sukses berkarier sedangkan aku, belum ada yang bisa kubanggakan.

Orangtua Prihatin

Bapakku tak bisa tinggal diam melihat anaknya menganggurselama bertahun-tahun. Beliau memberiku modal untuk membuka warung sembako. Sedikit demi sedikit usaha warung sembako semakin maju. Orangtuaku senang melihat keseriusanku mengelola warung. Rupanya persoalan tak selesai sampai di sini. Ibuku cemas tatkala anak gadisnya belum juga menemukan jodoh. Lalu ibuku mengajakku menunaikan ibadah haji dengan harapan aku berdoa di sana agar mendapat jodoh. Aku anak pertama yang sudah dilangkah menikah oleh tiga adikku.

Sekembali dari ibadah haji, Ibu mulai sibuk mencarikanku jodoh. "Desi, mau tidak, kamu ibu jodohkan dengan Yudi," ucap ibu serius. "Yudi yang saudara sepupunya Bu Sari, teman ibu?" tanyaku. "Ya, dia pemuda yang beriman, jujur, dan cocok rasanya jika jadi menantu ibu, ucap ibu penuh harap. Aku tak punya pilihan selain menurut saja. Hingga usiaku 29 tahun, aku juga tak bisa mencari jodoh sendiri.

Akhirnya aku dipertemukan dengan Yudi dan pihak keluarganya. Dalam pertemuan itu sudah ada pembicaraan mengenai rencana pernikahan. Dari pertemuan itu, aku hanya punya sedikit waktu untuk mengenal sosok Yudi. la sangat tampan tapi sedikit pendiam.

Ibu yang mengatur semuanya hingga 3 bulan setelah pertemuan itu, aku dan Yudi sudah bersanding di pelaminan. Hemm zaman sudah modern seperti ini, tapi perjodohan ala Siti Nurbaya masih berlaku. Sebenarnya tak masalah bagiku jika itu merupakan upaya orangtuaku agar anak gadisnya bisa menikah.

Suamiku Menguasai Seluruh Hartaku
Pada awal pernikahan, aku melihat ada yang aneh dengan Yudi. la tidak seperti pria pada umumnya yang setiap pagi pergi bekerja dan pulang pada sore hari. "Mas, boleh saya tanya, Mas Yudi kerja apa ya?" tanyaku hati- hati. "Loh, kamu tidak tahu ya, kalau dari awal aku memang tidak bekerja karena aku mau mengelola warung bersamamu," ucap Yudi santai. Sejak saat itu Yudi mulai aktif mengelola warung. Sejak warung dikelola suamiku, aku tak lagi punya kebebasan finansial. Aku hanya diberi uang harian untuk belanja sayur mayur.

Tak lama berselang, aku hamil anak pertama. Aku butuh banyak biaya untuk kontrol kehamilanku di rumah sakit. Suamiku mulai menunjukkan perangainya yang keras. Ketika aku minta uang untuk biaya kontrol ke dokter, ia marah dan mencaci maki. Orangtuaku tak tahu perihal perangai Yudi karena aku telah pisah rumah dengan mereka sejak awal menikah. Bapakku membelikan aku rumah mungil yang takjauh dari rumah beliau.

Aku mencari uang pinjaman dari saudara untuk biaya periksa kehamilan dan melahirkan. Aku berusaha menutupi perangai Yudi di hadapan orangtuaku. Aku tak ingin mereka banyak pikiran karena pengorbanan mereka sudah begitu banyak untukku. Lebih parah lagi menjelang persalinan, aku dinyatakan tidak bisa melahirkan secara normal karena posisi janinku melintang. "Dasar kamu wanita tak tahu diuntung, banyak perempuan bisa melahirkan normal tapi kenapa kamu harus caesar. Uang darimana untuk caesar? Emang kamu pikir cari uang itu gampang," ucapnya kasar. Aku hanya bisa menangis.

Setelah melahirkan, kelakuan suamiku semakin menjadi-jadi, iatakhanya berkata kasar, malah sering memukul dan menamparku.
"Hai Riana, dengar wanita bodoh, jika bukan aku yang menikahimu, mungkin hingga kini kamu menjadi perawan tua. Ibumu saja sampai mengemis-ngemis memohon padaku agar menikahi anaknya yang bodoh ini," ucap Yudi sambil tertawa-tawa.

"Mas, bisakah kamu hargai aku sedikit, biar bagaimanapun aku adalah istrimu," ucapku sambil menangis. "Ah kamu, sudah bodoh, tak cantik dan tidak bisa mengurus rumah pula, masih minta dihargai," ucapnya terus mengejek.

"Ingat ya Mas, sejak menikah, kamu tidak pernah bekerja, warung dan rumah ini milikku, pemberian orangtuaku, jadi tolong hargai aku," ucapku dengan segenap keberanian karena hinaannya sudah keterlaluan. "Oh, jadi kamu ungkit itu, ingat wanita bodoh, semua hartamu sudah balik nama atas namaku, jadi sekarang kalau aku mau mengusirmu dari rumah ini, bisa saja," ucapnya sambil menjambak rambutku. Astagfirullah, manusia macam apa suamiku ini, Ya Allah, ubahlah hati suamiku, hanya Engkaulah tempatku memohon.

Sampai akhirnya orangtuaku tahu perihal perangai Yudi. Mereka merasa bersalah dan terpukul karena mereka tak tega melihat penderitaanku. Ibuku menyuruhku bercerai.Tetapi bagaimana dengan rumah dan warung yang sudah diballk nama oleh Yudi?

Aku tak bisa berbuat apa-apa, aku tak punya kebebasan finansial, dan tak punya kekuatan untuk berontak dari tekanannya. Sedikit saja aku salah bertindak, tamparan kuterima. Akibat sering disiksa fisik dan psikis, aku sering melamun sehingga jika ada orang yang bicara denganku, komunikasiku sering tidak nyambung. Banyak orang bilang, aku jadi tulalit, telat mikir.

Takut Dicerai

Aku hanya bisa menangis di setiap sujud dalam salatku, hanya pada Allah aku curahkan semua isi hatiku. Aku berusaha menyibukkan diri dengan mengaji dan mengurus buah hati kami, Tia, yang kini berusia 8 tahun. Aku besarkan Tia dengan segenap kemampuan dan cintaku, hingga ia tumbuh menjadi anak pintar dan kreatif. Hanya saja aku pusing sendiri saat sekolah Tia mengharuskan murid melakukan pembayaran untuk rekreasi, uang kegiatan. Demi Tia, aku harus meminjam uang kembali pada saudara atau orangtuaku. Mereka prihatin dengan keadaanku, dan berharap aku bercerai dari Yudi. Siang itu aku ditampar kembali hanya karena saat hujan, aku lupa mengangkat jemuran. Saat sedih dan galau, aku lebih baik meninggalkan Yudi untuk menghadiri majelis taklim.

Saat menghadiri pengajian, ada seorang ustadzah yang membahas kekerasan rumahtangga, akhirnya aku minta waktu untuk membincangkan masalahku.

"Pilihannya ada pada ibu, berpisah atau bertahan," ucapnya tegas. "Saya tidak mau bercerai, tapi saya tidak kuat lagi bertahan," ucapku sambil menangis.

"Oke, sekarang ambil buku, tulis kekerasan yang dilakukannya setiap hari. Misalnya, tulis seperti ini, 12 Januari ditampar karena masakan kurang asin, aku sabar. Terus tulis, hingga buku itu penuh, karena buku itu akan menjadi tiket ibu menuju surga jika pilihan ibu untuk bersabar dan tetap memilih hidup bersamanya,"ucapnya memberi solusi.

Sejak saat itu, aku selalu menulis kekerasan yang dilakukan suamiku hingga bukuku penuh dan aku ganti dengan buku yang baru. Semoga buku ini bisa mengantarkanku menuju surga- Nya kelak, amin.

Seperti penuturan Rlana di Jakarta pada Windya Novita.
dikutup dari majalah Paras


Yuk Bagikan :

Baca Juga

Anak Marah, Atasi dengan Cara Ini
Selasa, 01 November 2016 16:27 WIB
Mengenalkan Allah pada Anak dengan Cara Sederhana
Selasa, 11 Oktober 2016 10:50 WIB
Ukhti Mau Mahar Apa?
Senin, 10 Oktober 2016 11:18 WIB