As-Suddy (dalam An-Nadhawy, 1988) menyebutkan, "Rada zaman jahiliah apabila seorang lelaki mati dan meninggalkan istrinya maka ayahnya, saudara lelaki, atau anak lelaki yang menjadi ahli warisnya, mana yang lebih dulu melemparkan bajunya kepada janda tersebut, ia berhak mengawininya tanpa mas kawin baru. Jika tidak mau mengawininya, ia dapat mengawinkan janda tersebut dengan lelaki lain dan mengambil mas kawin yang menjadi hak janda tersebut."
Di anak benua India lebih parah lagi. Seorang wanita (istri) biasa dipertaruhkan oleh suaminya dalam sebuah permainan, diperjualbelikan, atau dikorbankan untuk para dewa di Sungai Gangga, la pun bebas dicerai tanpa ada pembagian waris. Yang paling kejam adalah ritual "sati". Yaitu, apabila seorang suami meninggal, si istri harus pula ikut meninggal dengan cara dibakar hidup-hidup. Ritual ini tetap bertahan hingga pemerintah kolonial Inggris menghapuskannya di akhir abad ke-19.
Perlakukan yang hampir sama berlaku pula di Eropa. etika Islam sudah menyebar di Gurun Arabia, Afrika, Persia, dan Spanyol-dengan membawa nilai-nilai penghargaan bagi kaum hawa-para ilmuwan, agamawan, dan para pemuka masyarakat di sana masih sibuk memperdebatkan apakah wanita itu layak disebut manusia atau bukan. Ada satu ungkapan "menarik" tentang kaum wanita yang masih tersisa dari zaman tersebut bahwa "wanita adalah salah satu kesalahan alam yang paling menyenangkan".
Jauh ke masa sebelumnya, orang-orang Yunani pun membuat diskriminasi yang tegas antara laki-laki dan pe- rempuan: dalam hak waris, hak mengutarakan pendapat, dan sebagainya. Andaipun diakui keberadaannya, perem- puan tidak lebih dari pemuas nafsu seks dan tempat untuk melahirkan anak-anak. Seorang orator bangsa Yunani yang terkenal berkata, "Kami mengambil istri hanya untuk me¬lahirkan anak-anak hukum kita."
Bagaimana nasib kaum wanita di Romawi? Wanita Romawi dianggap sebagai barang murahan. Mereka memperlakukan kaum wanita sebagaimana yang mereka inginkan. Bahkan, ada sebuah pertemuan para cendikiawan di majelis Roma yang khusus membicarakan masalah perempuan. Pertemuan tersebut memutuskan bahwa wanita hanyalah sebuah eksistensi tanpa jiwa dan dia tidak mewarisi kehidupan akhirat. Dia hanya kotoran dan dia tidak boleh makan daging, bahkan tidak boleh tertawa atau bicara. Semua itu menjadi hal yang wajib dilaksanakannya. Satu- satunya "hak" perempuan adalah "menghabiskan waktu" untuk melayani dan tunduk patuh terhadap setiap keinginan laki-laki.
Dalam bidang hukum, para anggota Majelis Romawi mengeluarkan sebuah kebijakan yang melarang wanita memiliki lebih dari setengah ons emas. Dia harus mengena¬kan pakaian warna yang berbeda, tidak boleh naik pedati lebih dari satu mil di luar Roma, kecuali dalam kasus beberapa umum festival.
Murthada Muthahari dalam sebuah tulisannya meng¬ungkapkan bahwa sejarah Eropa mencatat tentang ke¬biasaan para lelaki Yunani dan Romawi yang kaya untuk mengumpulkan ratusan wanita di rumahnya.
Hal yang sama terjadi pula di Persia, sekarang Iran. Praktik-praktik jahiliah yang merendahkan kaum wanita tumbuh subur di sana. Dalam buku Iran During the Sassanian Perind disebutkan sebuah fakta menarik bahwa Khosru Parviz (Penguasa Dinasti Sassanid) memiliki sekitar 3.000 wanita di haremnya dan tidak pernah puas secara seksual. Setiap kali ingin mengisi haremnya, dia akan menulis surat kepada para gubernurnya untuk mencari wanita-wanita cantik yang diinginkannya, biasanya dilengkapi dengan gambaran detail dari wanita tersebut. Biasanya, tidak lama kemudian, dia akan dikirimi wanita yang cocok dengan gambarannya tersebut.
Praktik-praktik kenistaan bagi perempuan pun masih terus terjadi di Eropa pada Abad Pertengahan. Perempuan tidak hanya mewakili "gambaran iblis atau setan" yang menjadi sumber segala kejahatan, melainkan juga dihujat sebagai asai dari tragedi manusia. Dia adalah penyebab penderitaan bagi penduduk bumi. Sikap kaum Kristen terhadap perempuan secara eksplisit dijelaskan oleh salah seorang Paus, "Wanita adalah pintu masuk yang digunakan setan untuk memasuki jiwa manusia. Dia yang mengarahkan Adam (kaum laki-laki) untuk mendekati pohon larangan (diTaman Eden), melanggar hukum Allah, dan menodai citra Allah. Itulah wanita."
Filsuf Inggris, Herbert Spencer, menggambarkan bagai¬mana kondisi wanita Eropa Abad Pertengahan, "Bahkan, di Inggris selama abad ke-11, istri dapat dijual atau digadaikan. Gereja mengesahkan undang-undang yang membolehkan suami untuk meminjamkan atau menggadaikan istrinya kepada laki-laki lain untuk waktu yang terbatas."
|
Kekerasan Terhadap Wanita
|
|
111 |
Islam adalah agama yang sangat memuliakan
wanita Rasulullah saw. Pun menegaskan bahwa sebaik-baiknya suami adalah yang
paling baik terhadap istrinya. Seorang laki-laki pun tidak dikatakan beriman
sebelum ia menghormati dan
memuliakan wanita, terutama ibunya. Namun, pada praktiknya tidak semua orang
laki-laki atau lebih jauh lagi sistem sosial yang dibangun oleh kaum lelaki,
menempatkan wanita pada derajat yang semestinya. Sejak masa jahiliah kuno
hingga zaman modern saat ini, hampir di semua tempat dan kebudayaan, termasuk
di dalam masyarakat Islam sendiri, perlakuan keji terhadap kaum wanita terus
terjadi. Wanita yang berposisi lemah kerap menjadi objek kekerasan dan kezaliman
kaum lelaki.
|
111
|
|
|
|
Sumber