Wanita di Bis

abatasa | Jum'at, 11 Oktober 2013 08:27 WIB | 4.204 kali
Wanita di Bis
Sabtu pagi...

Berarti awal aktifitas belajar mengajar kembali dimulai. Dan Sabtu pagi ini aku sudah berdiri di halaman Daruz Zahro di antara ibu-ibu yang juga berdiri sepertiku menanti bis mengantar kami ke darul Faqih. Mulai hari ini aku dipercaya untuk ikut serta mengajar Dauroh linnisa1), yang rutin diadakan setahun sekali oleh pengurus ma`had kami.

Darul Faqih letaknya sekitar lima kilometer dari Daruz Zahro. Panitia menyiapakan bis antar jemput bagi peserta yang rumahnya jauh. Dan ibu-ibu ini sudah berkumpul di halaman dari sebelum jam 06.30 pagi. Aku kagum dengan semangat belajar mereka sekaligus bangga berada diantara mereka.

Tiba-tiba kulihat angin besar bertiup menerbangkan debu-debu dijalanan. Aku jadi ingat jemuran bajuku di atas Suth2) sana, jika tidak segera kuselamatkan bukan tak mungkin bias berterbangan dan mendarat di atas atap rumah tetangga atau tersangkut dipelepah pohon-pohon kurma. Aku segera berlari masuk ke asrama menaiki tangga demi tangga dengan tergesa, mengangkat baju-bajuku yang sebagaian sudah tidak lagi berada di tempatnya, kemudian memasukkan begitu saja dalam sebuah bak cucian yang ada.

Setelah selesai, akupun bergegas turun, namun kemudian kecewa, karena tak lagi kudapati seorangpun di halaman yang tersisa. Semua sudah berangkat, berarti bisnya tadi sudah tiba dan lalu pergi tanpa aku terbawa diantara mereka.

Lemas seketika aku rasanya, satu-satunya yang bisa aku lakukan hanya menghubungi panitia, meminta dikirim mobil atau apa saja yang bisa mengantarku kesana. Lalu aku menunggu lagi di halaman ini sampai transportasinya tiba.

Bis besar itu kosong saat kumasuki, isinya hanya sopir, kondektur dan aku yang duduk di tengah cukup jauh dari mereka. Aku betul-betul sendirian tanpa ada teman yang bisa kuajak bicara, maka ketika seorang wanita tua memberhentikan bis kami di jalan untuk ikut entah sampai dimana, akupun mensyukurinya.

"Assalamu alaik ya Hubbah..." kataku menyapanya.

Dia sejenak menjawab salamku, kemudian memilih tempat duduk di sebrang pintu tanpa merasa perlu mengajakku berbicara lebih panjang lagi. Maka, akupun memilih menikmati pemandangan kota Tarim dari jendela.

Menatap Zambal dan Furait dari balik kaca bis selalu jadi hiburan yang tak pernah aku lewatkan, letaknya di tengah kota. Bukan taman, bukan pula kantor-kantor pemerintahan. Dua tempat tersebut adalah pemakaman. Ribuan Waliyullah diyakini dimakamkan disini.

Diantara mereka AlFaqihil Muqoddam3), Imam Al Haddad4) penyusun Ratib Haddad yang terkenal itu, Syekh Umar Mukhdor5), Abdullah Al Aydrus Al Akbar6) dan para wali lainnya, yang bahkan sekedar nama-nama merekapun sulit bagiku menghapalnya.

Pemakaman para wali bisa jadi sering aku jumpai, namun lokasinya yang terletak di pusat kota, berdekatan dengan pusat keramaian dan pasar adalah hal yang menarik. Melihatnya seperti melihat sebuah papan pengumuman bertuliskan:

"Hiduplah di duniamu namun ingatlah tempat kembalimu adalah kuburan."

Kemudian bis kami melewati pasar, aku lihat sayur-sayur segar dijajakan, roti-roti besar khas arab, para pedagang buah yang menawarkan dagangannya dan juga kerajinan tangan dari pengerajin berupa tembikar dari tanah liat yang di bakar.

Pasar tradisional dimana-mana kulihat mirip-mirip saja tak ada perbedaan mencolok disbanding pasar yang selama ini kulihat kecuali bahwa aku tak menemukan seorangpun perempuan disana. Kota ini memiliki tradisi perempuan memasak di rumah, dan suami atau saudara laki-laki berbelanja. Bagus juga kurasa, menjadikan laki-laki lebih bertanggung jawab atas ekonomi keluarga. Dan pasar disini cendrung lebih tenang di banding pasar manapun. Mungkin karena tidak ada perempuan yang memang seringkali lebih rewel daripada laki-laki.

Aku masih merenung ketika bis kemudian tanpa kuduga mengerem mendadak karena ada seorang anak yang tiba-tiba menyebrang jalan.

Bis itu mengerem begitu mendadak hingga tubuku condong ke depan dan membuat kepalaku terantuk sandaran kursi dihadapanku. Hanya itu yang terjadi padaku yang masih muda dan berat badanku ringan saja. Aku bisa menjaga keseimbangan. Namun wanita tua yang duduk tepat dua baris dihadapanku keadaannya benar-benar memprihatikan. Aku terkejut melihatnya, dia terpelanting dan jatuh di tangga pintu masuk, untung saja pintunya tertutup rapat. Rupanya dia berusaha memenggang besi pintu bis yang licin hingga membuatnya terjerembab dan tangannya tergores besi di bagian bawah pintu sampai darahnya bercucuran.

Aku terkejut dan terperangah...

Benar-benar tidak menyangka keadaanya sebegitu parah.

Belum selesai keterkejutanku, aku dibuat lebih terkejut lagi mendengar ucapan pertama yang mengalir dari lisannya saat menyadari darah bercucuran dari tangannya. Dengan terlihat tanpa menahan perih, dia berkta lirih:

"Alhamdulillah...

Terima kasih Ya Allah atas karunia dan pemberian-Mu yang tak ada habis-habisnya"

Subhanallah... aku terkesima beberapa saat lamanya. Hingga akhirnya ketika dia mulai bisa bangun, aku segera berusaha memapahnya dan menanyakan keadaanya.

Dia menjawab...

"Alhamdulillah, tidak apa-apa kok nak...  Allah, Tuhan kita begitu baik, dan selalu memberi kita yang terbaik."

Aku semakin terkesima mendengar jawabannya. Betapa mulia hati wanita tua ini, yang bahkan kala ditimpa kemalangan dia tidak hanya bersabar tapi mampu menerima dan mensyukurinya.

Sejak kejadian pagi itu sampai malam hari aku terus memikirkan kata-katanya sampai membuatku tidak bisa memejamkan mata. Aku begitu malu, sungguh malu kepada Allah yang telah menganugerahkan padaku kehidupan, sementara aku jarang sekali berterima kasih dan mensyukuri atas segenap nikmat yang tak pernah putus-putusnya. Dan ironisnya, disaat tertimpa hal yang tidak menyenangkan, aku seringkali segera berkeluh kesah. Padahal di atas muka bumi ini ada hamba-hamba-Nya yang bahkan kala mereka ditimpa musibah, mereka berterima kasih dan mampu mensyukuri segalanya, sembari meyakini bahwa yang terjadi adalah yang terbaik untuk mereka. Dan wanita ini adalah salah satunya.

Entah kapan aku menjadi golongan mereka? Akankah seumur hidup hanya menjadi hamba kebanyakan yang sulit dan tidak mengerti cara berterima kasih kepada tuhannya?

Entahlah....

Dikutip dari buku Bidadari Bumi `9 Kisah Wanita Salehah` Penulis Halimah Alaydrus, Penerbit Wafa Production

1) Semacam pesantren kilat tanpa menginap untuk kaum ibu.
2) Loteng
3) Muhammad bin Ali Ba`Alawy
4) Abdullah bin Alwi Al Haddad
5) Umar Al Muhdhor bin Abdurrahman AsSeqaf
6) Abdullah Al Aydrus bin Abu Bakar AsSakran


Yuk Bagikan :

Baca Juga

Anak Marah, Atasi dengan Cara Ini
Selasa, 01 November 2016 16:27 WIB
Mengenalkan Allah pada Anak dengan Cara Sederhana
Selasa, 11 Oktober 2016 10:50 WIB
Ukhti Mau Mahar Apa?
Senin, 10 Oktober 2016 11:18 WIB