Ma, itu..."
tunjuk Rissa (2,5 tahun) ke arah bola mainan-nya yang ngumpet
di bawah kolong sofa ruang
tamu. Ia minta ibunya untuk mengambilkannya. Ny. Lussy (25 tahun)
melongok ke kolong sofa sambil tetap
melanjutkan pembicaraan teleponnya. "Sebentar ya, Sayang. Mama ada telepon
penting nih...."
"Ma,
itu..." kata Rissa lagi.
"Iya,
sebentar...."
"Itu,
Maaa...." Rissa mulai merengek. Kakinya beberapa kali dipukulkan
ke lantai. Matanya mulai berkaca-kaca.
"Maaa..."
kini Rissa mulai menangis. Ny. Lussy pun buru- buru menghentikan sejenak
pembicaraannya. Ia segera membungkukkan tubuh, lalu tangannya meraih-raih bola
yang memang agak sukar dijangkau.
"Aduh,
begitu saja kok menangis sih? Sabar sedikit dong, Sayang..." bujuk Ny Lussy
sambil memberikan bola itu. Isakan Rissa pun mulai berhenti.
• •
Jangan
lekas bludrek
kalau di masa-masa si kecil berusia 2-3 tahun, kita lebih banyak jadi pelayan
atau pesuruhnya. Pada masa ini, seringkah anak memang mengalami sindrom "suka
memerintah". Jika ia menginginkan sesuatu, ia ingin memperolehnya saat itu
juga. Ia tidak mau tahu, orang tuanya mungkin sibuk atau ia telah banyak
memerintah di hari itu. Dalam pikirannya, ia harus diutamakan, karena
menurutnya dialah orang yang paling penting
di dunia. Pikiran dan perasaan orang lain tidak
berarti baginya. Yang ada hanyalah saya, saya, dan saya!
Pada orang dewasa, sikap ini tentu
akan dipandang sebagai egoistis. Namun ini tidak berlaku bagi anak usia 2-3
tahun.
Karena senyatanya, anak pada usia ini belum mengerti pikiran dari
sudut pandang orang lain. Jadi, ini
bukan tanda bahwa ia kelak juga akan suka memerintah. Melainkan salah satu
bentuk egosentrisme-nya saja. Sebagai orang yang paling penting di
dunia, wajar dong, ia menginginkan semua berjalan sesuai dengan keinginannya.
Apalagi selama ini, bisa saja ia merasa selalu "dikendalikan" atau diatur-atur
orang lain.
Dengan kata lain, memerintah adalah salah satu cara agar ia memperoleh kendali atas
sikap egosentrisnya itu.
Apa pun yang mendasari perilaku
itu, kita tidak dapat mengubahnya secara cepat atau keras. Jika ini merupakan
sifat khas batita dan bukan temperamen bawaan, perilaku ini akan menghilang
seiring peningkatan umurnya. Namun dengan cara-cara berikut ini, setidaknya
kita dapat membuat si kecil berhenti menuntut:
1.
Perintahlah Sewajarnya
Jika kita ingin ia memperlakukan
kita secara wajar, perlakukan ia secara wajar pula. Jika kita tak ingin
diperintah, kita juga jangan suka memerintahnya. Saat menetapkan peraturan dan
harapan, cobalah timbang lagi, apakah cukup adil baginya? Apakah cocok dengan
usianya, dan tidak berlebihan?
2.
Berikan Cukup Perhatian
Tuntutan si kecil bisa jadi
merupakan ungkapan kebutuhannya akan kita. Jadi, kita mesti memastikan bawa ia
mendapat cukup waktu dari kita tanpa perlu memintanya. Sejauh kita bisa, turuti
permintaan si kecil sesegera mungkin daripada selalu menundanya jika ia bilang,
"Benerin ini!" Atau,
"Tambah minumnya!" Tindakan ini mungkin akan mengurangi sifat menuntutnya.
3.
Serahkan Sebagian Kendali padanya
Berikan
dia pilihan dalam pcristiwa sehari-hari. Misalnya, "Kalau mau minum susu, nanti
ambil sendiri ya. Tuh, Mama sudah taruh di atas meja." Atau, "Mama yang ambil
bajunya, nanti Rissa sendiri yang pakai. Oke?"
Ini
membuat si kecil merasa lebih dapat mengendalikan lingkungannya. Dengan
demikian, ia tidak terlalu terdorong untuk mengambil kendali secara total.
4.
Berikan Tanggung Jawab
Mulailah
memberikan beberapa pekerjaan sederhana yang dapat ia tangani. Kita bisa
menolak ketika ia menuntut kita melakukan sesuatu yang kita tahu dapat ia lakukan
sendiri. Misalnya, memungut krayon yang baru dijatuhkannya, atau mengambil buku
gambar dari kamar tidurnya.
Jelaskan
bahwa kita melakukan banyak hal baginya, dan ada yang dapat ia lakukan sendiri.
Tetapi jangan sama sekali menolak atau melawan sikap memerintahnya, atau
tiba-tiba menolak segala perintahnya. Ini akan membuatnya frustrasi dan sikap
memerintah itu justru berasal dari frustrasi tersebut.
5.
Bertahanlah dengan Alasan yang Jelas
Jika
kita tak dapat memenuhi tuntutannya dengan segera, jelaskan sebabnva dan
berikan waktu yang cukup adil, kapan kiranya kita dapat membantunya. Misalnya
kita tidak ingin bermain game lagi
karena kita sangat cape. Kemudian
cobalah bertahan pada sikap kita itu.
Mungkin
penolakan ini terasa cukup keras bagi si kecil. Bisa jadi ia akan merengek dan ngambek,
atau malah menangis dan berguling-guling di lantai. Namun cobalah bertahan. Ini
sebagai salah satu cara supaya ia belajar berpikir tentang orang lain. Nanti
ia akan mulai tahu bahwa ia tidak mesti selalu memperoleh apa yang ia inginkan.
6.
Jangan Biarkan Perintah Sewenang-wenang
Sebaiknya,
kita jangan memberi respons jika si kecil bersikap kasar. Misal ia berkata,
"Ambil!" dengan suara keras. Kita bisa memintanya ia untuk berkata, "Tolong..."
dan bersuara ramah saat mengajukan permintaan -meski ini jarang terjadi jika
anak sangat rewel. Jika tuntutan anak tak berlebihan, jawablah dan jangan
merasa terpaksa untuk memenuhinya.
7.
Berikan Kesempatan Bergaul
Dengan
bergaul dan bermain dengan teman-teman sebayanya, ia akan kurang berpikir
tentang dirinya sendiri, dan lebih banyak berpikir tentang orang lain. Bergaul
juga mengajarkan kepada anak untuk mulai saling berbagi. Mereka boleh meminjam
mainan si kecil dan begitu pula sebaliknya, tanpa takut tidak dikembalikan.
Tentu, kita mesti menerangkannya lebih dulu kepada si kecil.
Ia
akan secara bertahap mengetahui bahwa teman bermainnya juga punya perasaan.
Mereka juga bisa kecewa atau marah jika ia selalu bersikap egosentris. Sehingga
di waktu selanjutnya, si kecil akan lebih kooperatif dengan orang lain.
8.
Berikan Pujian
Jika
ia bisa melakukan sendiri apa yang diinginkannya dan tidak menuntut kita, kita
mesti memberi pujian kepadanya, meski menurut kita perilakunya tidak terlalu
signifikan. Katakan padanya bahwa kita sangat senang ia bisa melakukan
pekerjaannya sendiri, sambil memberi pelukan. Tanggapan yang positif akan
mendorongnya mengulangi perilaku baik itu di masa nanti.
9.
Kenali Keinginannya untuk Mengatur
Keinginan
mengatur itu bisa jadi juga bagian dari temperamen anak. Kita tidak akan bisa
-dan bahkan tidak akan ingin- menghilangkan sifat itu, meski mungkin ada sisi
negatifnya. Tapi kita dapat membantunya mengembangkan sikap ini menjadi lebih
positif. Misalnya: mengajari keterampilan memimpin, menanamkan perasaan empati,
keadilan, dan sopan santun kepada orang lain. •
Disadur dari buku Mengendalikan Si Kecil -
editor Deni Karsana - Wyeth Nutritionals