Kadang-kadang, kita begitu terperangkap oleh rasa bersalah atas apa yang kita anggap sebagai cacat orangtua sehingga
kita tidak mampu mengambil tindakan yang paling sederhana sekalipun-lebih mudah
kita biarkan semuanya seperti semula. Kita kehabis tenaga dan membaca satu lagi
gagasan atau kiat tentang cara menciptakan lebih banyak makna dalam keluarga
atau meningkatkan penghargaan-diri anak dapat membuat kita ngeri. Kita pun menutup
diri. Kita menjadi sinis. "Aduuh, memangnya anak-anak lebih suka
menyalakan lilin dan mendengarkan dongeng daripada menonton televisi atau main
Gameboy?"
Kita lebih suka merasa bersalah daripada melakukan perubahan.
Rasa bersalah, saya yakin, dirasakan oleh kita semua dengan kadar
sendiri-sendiri Seorang ibu empat anak mengatakan kepada saya, "Saya merasa
bersalah setiap hari karena sesuatu. Namun, saya seorang wanita dan juga ibu.
Jadi, ya ... memang harus begitu." Kita dapat mengubah itu. Kita mulai dengan
memperhatikan diri kita sendiri sebagaimana kita memperhatikan anggota keluarga
kita, dengan kesadaran bahwa, pada akhirnya. seluruh keluargalah yang akan
memetik manfaatnya.
Sebagian di antara kita menyiksa diri sendiri saat menyimpang dari
definisi kaku mengenai "orangtua yang baik". Kita menyuruh anak usia empat
tahun pergi ke sekolah mengenakan pakaian mandi dan bukannya pakaian dalam sebab
tidak ada pakaian dalam yang bersih. Lalu, kita merasa bahwa kita pantas dihukum
atas kecerobohan itu. Kita bersikap kejam pada diri sendiri, padahal kita mungkin
hanya perlu membeli pakaian dalam lebih banyak.
Sebenarnya, kita menjalani tugas sebagai orangtua ini nyaris tanpa
persiapan. Perbedaan antara harapan kita dan kenyataan sangat besar. Suami saya
berangan-angan, ketika anak pertama kami lahir, bahwa dia dapat membaca Wall Street
Journal sambil dengan tenang mengayun-ayun bayi kami. Pada hari
pertama bayi itu pulang dari rumah sakit, suami saya membaringkan sang bayi di
atas dadanya dan dengan kikuk membuka koran. Hal Itu sama sekali tidak cocok
dengan gambaran kebapakan yang romantis di benaknya. Dia pun menyesuaikan diri.
Pandanglah peranan orangtua sebagai jalan untuk mendapatkan
kesadaran spiritual yang lebih besar (yang paling
penting di antara berbagai tugas bagi pikiran/tubuh
kita). Kesalahan justru merupakan kesempatan untuk berkembang lebih baik. Rasa bersalah membawa kita jauh dari saat sekarang tempat anak-anak
kita hidup dan kita perlu melihat dan bertindak dengan jelas, dan menyeret kita
ke wilayah lain yang dipenuhi gambaran masa lalu dan celaan batin yang tidak pada
tempatnya.
Mulailah melepaskan pengondisian dari budaya masa kini yang
tampaknya mengungkung kita, yang menyarankan bahwa kita harus mendengarkan dan
mencurahkan diri sepenuhnya bagi anak-anak, tanpa memikirkan kebutuhan diri
kita sendiri. Memerhatikan perasaan terdalam dan keinginan anak-anak kita itu
penting, tentu saja, tetapi melakukan hal itu tanpa memedulikan keinginan dan
kebutuhan kita sendiri hanya menyulut rasa
bersalah, kebosanan, dan kebencian. Hubungan akan
berkembang dan keluarga tumbuh subur jika orangtua maupun anak sama-sama
mendapatkan "pupuk".
Gagasan-gagasan
berikut ini akan membantu Anda mengikis rasa
bersalah setiap kali
perasaan itu muncul.
Disadur dari buku SQ
untuk Ibu, Penulis: Mimi Doe, Penerbit KAIFA