Berawal dari postingnya mbak Lea di milis SekolahRumah tentang fenomena sekolah, aku ingin menulis sedikit pandangan pribadiku mengenai teori tabula rasa; yang mempengaruhi model homeschooling yang kami jalani.
Tabula rasa berasal dari bahasa Latin, artinya kertas kosong. Tabula rasa merujuk pada teori yang menyatakan bahwa anak-anak terlahir tanpa isi, dengan kata lain kosong. Teori ini dipengaruhi oleh pemikiran John Locke, dari abad 17.
Dari potongan singkat posting mbak Lea, yang adalah seorang guru, aku jadi tahu bahwa teori tabula rasa ini menjadi salah satu asumsi dasar dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah kita pada saat ini. Dengan asumsi bahwa anak adalah sebuah kertas kosong, maka tugas guru dan proses pendidikan adalah mengisi kertas kosong itu dengan informasi-informasi (pelajaran) yang penting bagi anak-anak.
**
Dalam pandangan pribadiku, teori yang memandang anak-anak sebagai sebuah kertas kosong adalah sangat reduktif. Hal ini mengakibatkan sentral proses belajar (pendidikan) terletak pada orang dewasa dan anak-anak dikondisikan pasif (karena mereka hanya sebuah kertas kosong yang harus diisi).
Pengetahuan tentang teori tabula rasa ini bagiku menjelaskan fenomena anak-anak sekolah yang pasif dan kegiatan utama guru yang fokusnya mengajar (mengisi kertas kosong). Keterlibatan anak tak dianggap terlalu penting, apalagi pendapat dan inisiatif anak. Kalaupun ada, semua itu hanya bersifat suplemen untuk kegiatan utama tadi, yaitu mengisi pada anak-anak.
Lebih repot lagi, pandangan tentang “kertas kosong” itu terbawa terus dalam pendidikan, walaupun siswa sudah setingkat SMA. Proses belajar tingkat SMA sama saja dengan tingkat SD, seperti menulisi kertas kosong dan anak-anak memperlakukan dirinya seperti kertas kosong (alias pasif). Itulah model belajar yang diketahui dan diyakini kebenarannya, baik oleh guru maupun siswa.
Terus, proses belajar dengan cara “menulisi kertas kosong” itu berlanjut hingga tingkat perguruan tinggi. Dosen mencari cara gampang yaitu hanya mengajar (knowledge transfer). Dosen malas untuk berdiskusi, mahasiswa juga tak mau repot melakukan riset dan belajar sebelum masuk kelas.
Lalu, sampai kapan “kertas kosong” itu berisi?
**
Bagiku, anak-anak adalah individu dengan segala sifatnya. Memang ada bagian individu pada anak-anak yang belum berkembang seperti orang dewasa. Tetapi, individu itu bukan kertas kosong yang pasif menerima apapun pengaruh dari lingkungannya.
Ketika kita memandang anak sebagai individu, itu akan membuat proses pendidikan yang kita lakukan berbeda dibandingkan jika kita memandang anak sebagai kertas kosong. Dengan memandang anak sebagai individu, kita lebih melibatkan anak dalam proses pendidikan untuk dirinya sendiri; kita mendengarkan dan memperhatikan pendapat mereka serta menjadikannya sebuah hal yang penting dalam proses pendidikan anak.
Karena sudut pandang itu, aku merasa lebih setuju dengan pandangan Robert T. Kiyosaki (yang kelihatannya berakar dari pemikiran Plato) yang menyatakan bahwa esensi pendidikan itu adalah mengeluarkan (potensi), bukan mengisi anak dengan potongan-potongan informasi.
Menurutku, pandangan itu lebih tepat. Dan pandangan seperti itulah yang menjadi salah satu spirit di dalam homeschooling kami.
Sumber: rumahinspirasi.com