Pada usia empat bulan, Tania (1,1 tahun) mulai mengalami gangguan. Saat itu, air susu Dita, sang ibu, berkurang sehingga diputuskan memberikan susu sapi. Namun, sepekan setelah pemberian susu tersebut, mendadak bermunculan semacam ruam di kulit, terutama di muka bayi.
Semakin hari, ruam bertambah banyak. Di kaki dan tangannya juga muncul bintik-bintik. Bayi rupanya merasa terganggu dan kerap rewel.
”Setelah diperiksa, menurut dokter, bayi saya alergi susu sapi dan disarankan mengganti susu dengan jenis hipoalergenik,” ujarnya. Sedangkan gangguan kulit di tangan dan kaki ternyata akibat alergi panas. ”Bayi biasanya dijemur untuk mendapatkan sinar matahari untuk pertumbuhan. Tania justru alergi dan sejak itu tak pernah dijemur lagi,” ujar Dita, warga Jakarta. Putri pertama Dita, Amel (7), menderita alergi debu. Dita sendiri mempunyai alergi debu, bahkan belakangan menjadi asma. ”Sepertinya turunan dari saya. Nenek mereka atau ibu saya juga alergi debu,” ujarnya. Keluarga itu memiliki dokter keluarga yang memahami rekam jejak kesehatan keluarga itu. ”Saya yakin alergi bisa ditangani,” ujarnya.
Memasuki usia setahun, dokter menyarankan susu yang dikonsumsi Tania dicampur susu sapi biasa. Setelah ruam benar-benar tidak muncul lagi, susu hipoalergenik ditinggalkan total. Untuk alergi debu dan panas, Dita menjauhkan pemicu tersebut dari anak-anaknya.
Kasus makin banyak
Alergi merupakan reaksi kekebalan tubuh yang menyimpang dari kondisi normal terhadap rangsangan atau zat dari luar tubuh dan bisa menimbulkan gejala yang merugikan tubuh. Gejala yang sering, antara lain, muntah, diare berlanjut yang kadang disertai darah, dermatitis atopik, seperti bintik-bintik merah dan gatal, gangguan pernapasan berupa batuk berulang dan asma. Jika dibiarkan, alergi akan mengganggu tumbuh kembang anak dan bisa lebih berat, seperti kena serangan asma.
Pada masa mendatang, jumlah anak-anak alergis, seperti Tania dan Amel, diprediksi semakin besar. Dokter anak dari Dr von Haunersches Kinderspital Ludwig-Maximilians University Munich, Sibylle Koletzko, mengatakan, ada peningkatan angka kejadian karena faktor genetik, lingkungan, dan imunologi (gangguan respons imun).
Semakin berkembang sebuah negara dan penyakit infeksi berkurang justru membuat kasus alergi meningkat. Faktor genetik tidak banyak berubah sehingga diperkirakan ada faktor-faktor penyebab lain. Alergi masih menyimpan banyak misteri. Salah satu dugaan ialah sistem kekebalan tubuh tak siap menghadapi hal dari luar yang dianggap sebagai ancaman. Bahkan, ancaman paling lemah, seperti serbuk sari. Kebersihan yang makin baik membuat tubuh semakin sensitif.
Tren itu sudah lebih dahulu dialami negara-negara Eropa. Alergi pada anak di Eropa Tengah cenderung meningkat. Pada 1973, asma bronkial 4 persen dan menjadi 21 persen pada 1996. Pola alergi bisa berbeda-beda antarnegara.
Di Indonesia, kasus alergi mulai tinggi. Zakiudin Munasir dari Divisi Alergi dan Imunologi Klinik Departemen Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia mencontohkan, di Jakarta, dermatitis atopik prevelansinya mencapai 24,6 persen.
Penyakit alergi hanya mengenai anak yang punya bakat alergi (atopik). Bakat alergi diturunkan salah seorang atau kedua orangtuanya. Sibylle mengatakan, risiko tertinggi, jika kedua orangtua dan satu saudara kandung menderita alergi—risikonya mencapai 85 persen. Faktor risiko lainnya ialah merokok, tidak mendapat ASI, polusi, dan diet.
Pada usia 0-6 bulan dan 0-1 tahun biasanya alergi makanan dan eksim (kelainan kulit kronis) dominan. Asma tinggi angka kejadiannya setelah usia tiga tahun dan puncaknya pada usia 7-15 tahun. Alergi rhinitis (hidung gatal dan ingusan) prevalensi tertinggi pada usia 15 tahun.
Zakiudin mengatakan, alergen ada berbagai jenis, mulai dari makanan, tungau, balsem, binatang, obat, sampai lebah. Salah satu yang kerap ditemui ialah alergi susu sapi. Dari data Divisi Alergi-Imunologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSCM, alergi susu sapi pada anak 4 persen kasus alergi. Bahkan, dermatitis atopik (radang kulit) pada anak 30-45 persen disebabkan alergi susu sapi.
Sementara makanan yang sering menimbulkan alergi, antara lain, kacang, telur, ikan, dan udang. Uji kulit pada 69 anak asma alergi di Poli Alergi-Imunologi FKUI-RSCM menunjukkan, sekitar 45,31 persen alergi pada kepiting, 37 persen udang kecil, dan 26,56 persen pada cokelat. Bahan aditif, seperti bumbu, dan bahan sintetis, seperti pengawet (benzoat), penyedap, dan pewarna (tartrazine), juga rawan menimbulkan alergi.
Menurut Sibylle, ”Terutama untuk alergi terhadap makanan. Diagnosis yang terlalu longgar atau berlebihan tidak baik. Jika terlalu longgar, anak akan terus-terusan menderita berbagai gangguan. Sebaliknya, diagnosis yang berlebihan akan membatasi konsumsi makanan anak sehingga mengganggu tumbuh kembangnya.”
Satu-satunya cara mengatasi alergi pada anak ialah menghindari makanan atau pencetus alergi dengan tepat dan tidak mencoba-coba. Terkadang ada orangtua yang sengaja memberikan makanan pencetus alergi kepada anaknya dengan harapan agar tubuh anak semakin toleran dan tidak alergi lagi. Cara demikian dapat menjadi bumerang bagi anak karena alergi yang terpicu bisa berbahaya. (INDIRA PERMANASARI/kompas.com)