Orang tua menerima anak apa adanya. Bukan menghargai anak ketika anak melakukan sesuatu yang diharapkan orang tuanya. Anak selalu berharga dengan segala keterbatasannya.
Ketika orang tua menerima anak dengan tulus, misalnya pada anak yang menderita autis, Insya Allah terapi padanya pun akan lebih cepat berhasil. Anak akan merasa PD bahwa ia pun memiliki kelebihan.
Dengan bersikap lugas, anak akan terlatih untuk mandiri. Hingga mucullah percaya diri padanya.
Tak ada yang positif pada labeling. Labeling hanya akan membuat anak terpuruk.
Daripada memaki, lebih baik memberi nasehat. Termasuk menunjukkan kepada anak bagaimana yang semestinya.
Tak ada orang yang senang dibandingkan begitupun anak. Tiap pribadi itu unik, dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
Dengan bersosialisasi, anak dapat mengembangkan potensinya. Ketika sadar akan kemampuan diri, rasa percaya diri pun akan melesat cepat.
Memberi punish dan reward sesuai porsi dapat menghindari rasa dianaktirikan. Hendaknya segala konsekuensi yang dipikul didasari oleh nilai-nilai agama.
Berjamaah bukan sekedar menyatukan dan ritual saja. Lewat berjamaah, hubungan hati antara masing-masing anggota keluarga akan semakin tercipta. Tunjukkan kepedulian dan cinta kasih saat menatap atau mendengar keluh kesah anak.
Tanggungjawab akan menghasilkan penilaian obyektif. Penilain obyektif dinilai atas prestasi anak, bukan penilaian subyektif. Hindari kalimat semisal, “Wah pintar, kamu memang hebat.” Lebih baik pilih kalimat obyektif, “Alahamdulillah, ternyata kamu bisa ya.” Setelah beberapa kali anak menunjukkan prestasi, kalimat pertama bisa digunakan.
Lewat, humor, ketegangan yang terjadi antara anak dan orang tua dapat diminimalisir.
Orang tua ditakdirkan untuk mengarahkan anak, bukan sebagai penentu. Mendorong anak terlibat ekskul atau kursus bukan karena agar waktu luang anak terisi. Kegiatan-kegitan tersebut baik agar anak dapat mengeluarkan kemampuannya.