Abatasa - Belajar Bersama

Bermain, Apa dan Mengapa?

Oleh Fitri Ariyanti Abidin* pada Rabu, 22 Agustus 2007 17:23 WIB

Bermain lekat dengan kehidupan dan keseharian anak. bahkan banyak yang mengatakan, dunia anak adalah dunia bermain. Orang dewasa pun bahkan merindukan kembali menjadi anak-anak saat membayangkan asiknya bermain. Sebenarnya, apakah bermain itu!

Bermain adalah kegiatan yang dilakukan berulang-ulang demi kesenangan, baik dengan tujuan maupun tanpa ada tujuan. Dari definisi tersebut, satu syarat mutlak ketika anak melakukan kegiatan yang disebut bermain adalah bahwa aktifitas yang dilakukannya itu menimbukan efek menyenangkan pada diri anak.

Namun ternyata, perasaan menyenangkan hanyalah salah satu bagian kecil dari manfaat yang didapatkan anak dari aktifitas bermain. Karena melalui bermain, anak dapat mengembangkan seluruh aspek perkembangannya. Untuk anak, bermain adalah belajar. Bila orang dewasa membangun pengetahuannya lewat membaca, maka anak membangun pengetahuannya lewat bermain. melalui berbagai macam aktifitas bermain, anak melatih kemampuan fisik dan motoriknya, mematangkan emosi dan mengasah keterampilan sosialnya, memperlancar komunikasinya, juga mengembangkan kognisinya.

Bermain adalah kebutuhan anak dan bisa dilakukan kapan saja, dimana saja, dengan siapa saja, menggunaka apa saja. Anak bahkan bisa menikmati kesenangan bermain hanya dengan menggunakan imajinasinya. Kebahagiaan dan manfaat bermain untuk anak hanya didapat apabila anak senang melakukannya, dan agar anak senang melakukannya, inisiatif untuk melakukan aktifitas bermain itu harus datang dari anak. Suatu aktifitas hanya dapat dikatakan aktifitas bermain apabila anaklah yang memutuskan apa yang akan dia mainkan dan bagaimana memainkannya.

Misalnya permainan boneka barbie yang mahal dengan peralatan yang lengkap dan indah tidak akan memberi manfaat apa-apa jika anak melakukannya dengan paksaan orang tua. Akan tetapi seorang anak yang mengamati iring-iringan semut akan mendapatkan berbagai manfaat bermain apabila kegiatan yang ia lakukan tersebut memunculkan berbagai emosi positif; senang takjub atau kagum. Aspek kognitif pun akan berkembang apabila anak terangsang untuk mendapatkan pengetahuan mengenai semut yang bsa meluas pada pengetahuan mengenai hal-hal lainnya.

Itulah sebabnya aktifitas bermani dikatakan sebagai aktifitas inklusif dan inheren, karena muncul dari motivasi di dalam diri dan tidak perlu diajarkan. Setelah bayi berusia 3 bulan, saat aktifitas yang ia lakukan bukan lagi aktifitas yang menggambarkanrefleksnya, maka anak sudah siap untuk mengenal dunia dan mengembangkan diri melalui bermain.

kalau begitu, apa fungsi orang dewasa, khususnya orang tua? Dalam aktifitas bermain, orang tua berfungsi untuk mendampingi dan mendukung kegiatan bermain yang dilakukan anak, juga merangsang anak untuk mengoptimalkan fungsi permainan terhadap aspek-aspek perkembangannya. Karena memang permainan memberi efek besar bagi arah perkembangan anak, maka permainan yang mengarah pada perkembangan yang negatif; misalnya sikap agresif, dapat di kontrol.

Orang tua bahkan sebaiknya ikut terlibat bermain bersama anak. Yang perlu diingat adalah, bahwa anaklah pemilik permainan itu, Jangan “gatal” untuk mendominasi permainan, sehingga anak kehilangan kunci bermain; yaitu kesenangannya. Misalnya saja, saat anak bermain puzzle dan sering salah meletakan potongan yang sesuai, orang tua langsung mengambil alih puzzle, meletakkan potongan yang sessuai. Atau yang sering terjadi adalah, orang tua memberi komentar bahkan kritik pada aktifitas anak, misalnya dengan ungkapan; “Eh, jangan gitu dong” atau “Masa begitu, jelek ah!',dll.

Orang tua harus ingat, bahwa respons yang diberikan orang tua akan menentukan bagaimana penghayatan anak terhadap diri dan lingkungannya. Jika orang tua terlibat aktif dalam aktifitas bermain tanpa mendominasi, bahkan memberikan dorongan saat anak merasa tidak bisa, memberi pujian pada setiap hasil karya anak, hal tersebut akan menumbuhkan rasa kompetensi pada diri anak.

Aktifitas bermain pada anak yang merupakan ekspresi diri yang alamiah dan memeiliki efek healing (penyembuhan) dengan adanya sifat katarsis dan kompensasi, menjadikan aktifitas bermain kini berkembang menjadi metoda terapi. Terapi bermain telah digunakan secara luas di Eropa dan Amerika, dan 10 tahun terakhir ini mulai dikembangkan di Indonesia. Terapi bermain dapat digunakan dalam mengatasi permasalahan emosianala dengan berbagai gejala, khususnya pada anak usia 3-12 tahun. Piaget, seorang ahli perkembangan anak meyakini bahwa melalui penggunaan simbol dalam bermain, anak dapat mencairkan situasi yang tidak dapat diterima dengan cara penghidupannya kembali dalam khayalan. Jadi, biarkan saja anak menikamati kesenangannya dalam bermain.


*) staf pengajar Fakultas Psikologi UNPAD, psikolog pada Biro Psikologi Salman (BIPSIS) ITB, konsultan psikolog Sekolah Alam Bandung (SAB) serta penulis buku “Diary Tumbuh Kembang Anak'.