Di tengah-tengah zaman yang dililit krisis, ditambah dengan
produktifnya masyarakat memproduksi ketakutan di sana- sini, bisa dimaklumi
kalau ada banyak orang yang sangat haus akan hiburan. Di kota-kota besar
seperti Jakarta, salah satu tempat berlabuh dalam hal ini adalah mal. Mata
memang sangat dimanjakan oleh tempat-tempat seperti ini. Dari pakaian,
perhiasan, sampai pemandangan hidup dalam bentuk banyaknya pria ganteng dan
wanita cantik.
Dalam sebuah kesempatan menyegarkan pikiran, saya pernah
dikejutkan oleh mahalnya harga berlian. Tidak sepantasnya saya sebutkan
angkanya pada kesempatan seperti ini.
Sebagai akibat pengalaman tadi, bila bertemu sejumlah orang
kaya, saya coba perhatikan perhiasannya. Kalau-kalau ada yang mengenakan
berlian yang membuat saya heran. Memang benar, sebagian orang kaya rela
membelinya dan bangga mengenakannya. Saya pun ikut senang serta bersyukur
karena punya sahabat dengan kemampuan ekonomi yang demikian tingginya.
Di balik rasa kagum dan bangga, saya sebenarnya mau
bertutur, bahwa kita semua memiliki berlian dengan harga yang tidak terhingga.
Dan yang paling penting, bisa membahagiakan kita dengan tingkat kebahagiaan yang tidak bisa
ditandingi. Kalaupun sejuta berlian mahal ditandingkan dengan berlian yang ada
di dalam diri kita, berlian ini tetap tidak tertandingi. Andaikan ada seratus
matahari dijejerkan bersamaan di pantai Kuta yang indah di sebuah sore, tetap
tidak bisa mengalahkan keindahan permata di dalam hati. Seandainya ada insinyur
yang bisa membuat seribu air terjun seperti Niagara, tetap bukan bandingan
yang sebanding dengan berlian yang kita bawa sejak dalam kandungan sang ibu.
Persoalannya, ada banyak sekali orang yang tidak tahu
eksistensi permata di dalam hati. Boro-boro bisa
menikmati- nya, tahu saja tidak. Buktinya, ya itu tadi, orang mencari-cari
permata dan hiburan di luar diri. Lebih dari itu, ada tidak sedikit orang yang
mengisi seluruh hidupnya dengan kegiatan mencari permata dan hiburan di luar
diri.
Bila hidup diibaratkan dengan bepergian, orang-orang jenis
terakhir mirip dengan orang yang datang ke counter tiket
kereta api. Mau membeli tiket, kelas eksekutif dan ketika ditanya tujuannya,
hanya menggeleng sebagai tanda tidak tahu.
Kalau boleh jujur, saya pun pernah mengisi hidup seperti
pembeli tiket kereta api di atas. Setelah dibuat lelah tidak tergantikan, ada
saja jalan yang membuat saya telah lama banting stir. Yang perlu disadari sejak
awal, pencari beriian di luar diri, lebih mungkin bisa menjadi konglomerat material
Sedangkan, pencari-pencari di dalam diri, lebih mungkin menjadi konglomerat
spiritual.
Tanpa bermaksud merendahkan konglomerat material dan
meninggikan konglomerat sipritual, izinkan saya berbagi cerita tentang
perjalanan saya sejauh ini. Dengan sebuah harapan kecil, mudah-mudahan bisa
menjadi pembanding berguna bagi banyak orang.
Modal pertama dan paling utama dalam melakukan penggalian permata di dalam diri adalah hati yang penuh dengan rasa syukur. Ini
penting dan teramat penting, di samping karena menghemat tenaga yang terbuang
percuma, juga karena dalam hati demikian bermunculan berlian di mana- mana. Apa
saja yang Anda miliki sekarang ini-sekali lagi sekarang ini, bukannya
nanti-coba belajar mensyukurinya dengan penuh terima kasih.
Tidak hanya wajah dan penampilan yang berabah total oleh
rasa syukur, melainkan juga kesehatan dan kualitas hubungan bersama orang lain
dan Tuhan. Sebuah penelitian pernah mewawancarai sekitar lima ratus orang yang
terkena serangan jantung. Lebih dari delapan puluh persen dari responden,
memiliki rasa syukur yang teramat minim terha- dap hidupnya. Sebagian bahkan
berhobi berat menyalahkan orang lain dan lingkungannya.
Modal kedua adalah kesediaan untuk senantiasa dan selalu
menggali, menggali dan menggali. Mirip dengan berlian yang sebenarnya, berlian
di dalam hati juga mesti digali terus. Sepanjang hidup, tugas kita hanya
menggali. Dan itu tidak bisa didelegasikan kepada orang lain. Kita mesti
mecarinya sendiri. Sarananya ada banyak sekali. Kebetulan, saya menggunakan
kendaraan meditasi. Hebatnya, kita semua dilimpahi lahan yang demikian luas
(baca: waktu) sebagai tempat menggali.
Kekeliruan yang dilakukan banyak orang-termasuk pernah
terjadi dalam diri saya sendiri-bukannya menggali langsung sendiri, melainkan
duduk di hotel bertingkat, kemudian menonton orang menggali dari jauh. Dalam
keadaan demikian, sebagian besar merasa sudah menggali. Ini yang terjadi pada
orang-orang yang hanya membaca, menulis, berbicara, dan mengklaim sudah melakukan penggalian. Tentu saja ini perlu
diluruskan. Kegiatan menggali hanya bisa dilakukan oleh mereka yang berani
tangan, kaki dan badannya kotor oleh lumpur kehidupan.
Modal
ketiga, ladang setiap orang sangatlah unik. Tidak ada lahan yang persis serupa.
Untuk itu, berlian-berlian kehidupan lebih mungkin ditemukan oleh mereka yang
mengenali ladang dan lahan masing-masing. Ini bisa ditemukan, kalau kita rajin
bertanya tiada henti: dari bahan apakah badan dan jiwa ini terbuat? Ini bisa
ditanyakan kepada diri sendiri ketika merenung, ditanyakan ke orang tua dan
kelu- arga, atau sumber terpercaya lainnya. Pesan saya sederhana, hindari
bertanya terlalu banyak kepada orang lain.
Selebihnya,
silakan temukan sendiri cara dan pendekatan yang lebih cocok dengan diri Anda sendiri.
*Penulis:
Gede Prama, Penerbit: PT Elex Media Komputindo