Dalam banyak kesempatan, saya kerap disebut orang liar. Baik dari segi
disiplin ilmu, maupun cara menjalani kehidupan,
banyak rekan menyebut saya seenaknya saja berjalan ke mana saja saya
suka
tanpa mengenal batas. Demikian juga dengan hobi, ada yang menyebut saya
liar. Salah satu sebabnya, karena saya memiliki hobi aneh:
melayat. Sebab, inilah kelas pelatihan kehidupan yang tidak bisa
ditandingi
oleh kelas pelatihan lainnya. Kalau kelas pelatihan pada umumnya, hanya
mengundang refleksi sebagian orang, di depan orang meninggal hampir
semua
orang berefleksi.
Dalam rangkaian
kehidupan yang penuh renungan seperti ini, saya bersyukur sekali kepada Tuhan
karena pada suatu malam, seorang sahabat mengirimi saya e-mail yang berisi sebuah cerita sangat reflektif. Konon,
di suatu waktu ada seorang kaya raya yang memiliki empat isteri. Di depan
gerbang kematian, ia diberi kesempatan untuk mengajak hanya salah satu dari
empat isterinya.
Pertama-tama ia
panggil isterinya yang keempat. Maklum, ini yang paling muda,
paling cantik, paling menawan, paling disayang, sekaligus menguras paling banyak
uang. Dengan nada suara yang mengundang rasa kasihan,
orang kaya yang sudah renta ini bertanya: `Maukah engkau menemani aku sampai ke alam
kematian?` Seperti disambar petir rasanya, ketika orang tua ini
mendengar jawaban ketus isterinya yang keempat: `Ndak!`.
Kecewa dengan
isterinya yang keempat, ia pun memanggil isteri yang ketiga. Bisa dimaklumi,
karena ini adalah isteri ranking ke dua dalam banyak hal. Belajar dari kegagalan sebelumnya,
ia pun bertanya sambil memeluk mesra isteri ketiga: `Sudikah kamu menjadi pendampingku memasuki gerbang
kematian?`. Yang ini jawabannya lebih sopan: `Maafkan kanda, saya hanya bisa mengantarmu sampai di sini`.
Menangis mengakhiri
pengalaman kedua ini, ia pun tidak putus asa. Dipanggillah isteri yang kedua,
tentu saja dengan pertanyaan dan permintaan yang sama. Isteri kedua ini menjawab
lembut: `Saya akan antar kanda,
tapi hanya sampai di liang lahat`. Untuk
ketiga kalinya, orang kaya yang menghabiskan seluruh hidup dan keringatnya
untuk mengumpulkan kekayaan demi anak dan isteri ini, kecewa berat lagi.
Sehingga, yang
tersisa hanya isteri pertama yang terkulai kurus, layu, lemah tanpa tenaga, dan
kecantikannya sudah lama sekali memudar. Dengan pasrah orang kaya tadi bertanya
dan meminta hal yang sama. Dan yang mengejutkan, kendati isteri pertama ini
jarang diperhatikan, sering disakiti, dan paling sedikit
mendapat uang, ia menganggukkan kepalanya tanda bersedia menemani sang suami
sampai di dunia mana pun.
Saya tidak tahu,
apakah cerita ini riil atau hanya karangan manusia semata. Yang jelas, ia
menghadirkan refleksi yang sangat dalam. Isteri-isteri ini perilakunya sama
serupa dengan empat isteri kehidupan. Isteri keempat adalah atribut- atribut
yang kita perjuangkan, pertahankan dan kita man- jakan dengan banyak sekali
tenaga. Ia bisa berupa jabatan, kekayaan materi, dan segala bentuk pembungkus
badan kasar. Dan ketika kita mati, semuanya menjawab tidak ikut secara ketus
kepada kita.
Isteri ketiga adalah
badan kasar kita. Sebentuk badan yang juga dimanjakan banyak orang. Diberi
makan yang enak. Diajak ke tempat-tempat indah. Hampir semua lubangnya kita
puaskan semampunya. Dan ia hanya bisa mengantar kita sampai di tempat kita
dijemput sang maut.
Isteri kedua adalah
teman dan keluarga kita. Sebaik- baiknya mereka, hanya bisa menangis mengantar
kita sampai di liang lahat. Isteri pertama yang sangat kurang dari perhatian
kita, dan mendapat alokasi dana dan tenaga paling sedikit,
ia bernama sang jiwa. Dialah satu-satunya `isteri` yang menemani kita
selamanya.
Titipan pertanyaan
saya buat Anda: seberapa banyakkah dana dan tenaga yang telah kita alokasikan
khusus buat sang jiwa?
Pengalaman dan
pengamatan saya bahkan menunjukkan, dalam ketidaksadaran kolektif, kita sering
malah menyiksa dan membuat sang jiwa menderita. Semua itu dilakukan, untuk
memuaskan `isteri-isteri` yang lain. Sebut saja orang- orang
yang berebut kekuasaan dengan segala cara. Atau mereka yang memuaskan
pancaindranya tanpa rem yang memadai.
Hebatnya, kendati ia
disiksa dan dibuat menderita, sang jiwa akan senantiasa ikut bersama kita.
Dalam hidup maupun mati. Dalam suka dan duka. Di tengah pujian maupun makian,
ia senantiasa setia menemani kita. Entah karena lupa, entah karena khilaf,
secara kolektif kita sudah lama tidak peka akan getaran-getaran sang jiwa.
Ada orang yang menyebut bahwa bencana alam, kerusuhan,
krisis yang tidak berhenti, adalah cermin dari marah- nya sang jiwa. Saya tidak
berpendapat demikian, sang jiwa hanya bisa mengangguk terhadap kita. Ketika
kita bilang bencana, ia mengangguk. Tatkala kita katakan rusuh, ia mengangguk.
Mungkin sudah menjadi cirinya sejak dulu, kalau jiwa hanya bisa mengangguk.
Anda bebas memilih bagaimana Anda akan `tidur` bersama
isteri pertama. Di tengah-tengah keterbatasan saya sebagai manusia, di
tengah-tengah kritik orang tentang kekurangan saya, selalu saya usahakan untuk
berbicara dengan sang jiwa. Tulisan ini pun, sebenarnya hanya pembicaraan
saya bersama sang jiwa. Kebetulan Anda ada di sini, dan ikut mendengarkannya.
Sebagaimana pendengar di kesempatan lain, hanya
Andalah yang bisa memutuskan, dengan isteri mana Anda akan tidur.
*Penulis: Gede Prama,
Penerbit: PT Elex Media Komputindo