Dalam kejenuhan dan banyak waktu luang di rumah,
ada sebuah kegiatan yang membantu membangunkan spirit: melihat album foto.
Dalam keluarga saya, foto-foto memang belum tertata rapi. Namun, cukup untuk
membantu mengingat apa-apa yang pernah kami lalui bersama-sama. Ada foto ketika
puteri tertua saya masih menjadi bayi yang kurus, pucat, kurang makan dan ekspresi
yang mengundang kesedihan. Ada foto isteri saya ketika di Inggris yang kurus
kekurangan gizi. Ada juga foto Adi (putera kedua kami) yang sekolah di Inggris
tanpa teman karena tidak bisa berbicara Inggris sepatah pun. Ada juga foto saya
yang kurus kering ketika di Inggris karena belajar dari
pagi hingga malam, jalan kaki cukup jauh setiap hari,
sampai dengan makan secukupnya. Belum lagi ditambah dengan foto rumah kontrakan
yang lusuh, jelek dan tidak layak.
Bagi Anda, mungkin
foto-foto ini merupakan tumpukan cerita-cerita sedih. Hal yang serupa juga
muncul dalam perasaan saya dan keluarga. Hanya saja, di samping mengingatkan
kesedihan, foto-foto tadi juga menghadirkan perbandaingan antara kehidupan sekarang dengan kehidupan
terdahulu. Seperti berjalan di tangga, ketinggian baru terasa nikmatnya kalau kita melihat pada anak tangga yang
lebih bawah.
Ini yang menyebabkan,
kenapa kami sekeluarga suka memandangi foto-foto yang menurut kebanyakan orang
memalukan. Ia seperti kumpulan cerita-cerita indah. Tidak ada keterangan maupun
kata-kata memang. Tetapi berbicara sangat banyak, serta menghadirkan keindahan
yang mengalahkan keindahan hotel berbintang lima mana pun yang pernah kami
sekeluarga pernah tempati.
Di samping foto, ada
juga kaset kenangan yang saya simpan teramat rapi. Sebuah kaset yang berisi
suara nyanyian ayah saya tercinta yang sudah almarhum. Kaset ini memiliki
sejarah unik. Beberapa tahun silam ketika saya sekeluarga pulang ke kampung,
ayah yang sudah berumur tua minta suaranya direkam ke dalam kaset seadanya.
Niatnya seder- hana, kalau ada di Jakarta yang jauh anak dan cucunya masih
bisa mendengar suara ayah.
Ketika itu, hanya
didorong oleh niat untuk menghargai orang tua, dan takut mengecewakannya,
semuanya saya lakukan persis seperti yang beliau kehendaki. Maka, sayalah
satu-satunya puteranya yang diwarisi nyanyian khusus langsung dinyanyikan oleh
ayah tercinta.
Sekian tahun setelah
ayah almarhum, dan pelukan-peluk- an cintanya sering datang ke rumah, kaset
tersebut sering saya putar kembali. Suaranya khas, bait-baitnya kebanyakan saya
tidak mengerti karena dalam bahasa sansekerta yang teramat tinggi untuk bisa
dimengerti. Kendati tidak mengerti artinya, suara tadi lebih dari cukup untuk
menghadirkan gambar-gambar indah yang pernah hadir antara ayah dan saya.
Sebagai orangtua yang
tinggal di kampung, dan berpendidikan hanya kelas tiga zaman Belanda, ayah
pernah menggendong saya ketika menanam pohon kelapa. Ketika
saya tanya, kenapa
menggendong saya sambil menanam pohon kelapa, ia berargumen meyakinan: ’kelak
buah kelapa akan banyak sekali seperti saling menggendong’. Sering saya dibuat
tersenyum bahagia oleh kata-kata ayah yang diucapkan puluhan tahun lalu ini.
Di umur yang teramat
kecil, ada sebuah kebiasaan ayah yang masih melekat dalam ingatan. Setelah
makan di sore hari, biasa berjalan-jalan di halaman rumah, sambil
menggenggam tangan saya. Dalam perjalanan berputar-putar di halaman rumah yang
sama, ayah sering menyebutkan nama ’gede prama sarjana hukum’. Maklum, satu-satunya
gelar kesarjanaan yang beliau ketahui hanyalah sarjana hukum.
Sebagai orangtua yang
memiliki putera dan puteri berjumlah
belasan orang, memang memiliki banyak kelemahan. Sebagai manusia biasa, ia
juga pernah mengecewakan saya. Akan tetapi, dalam suaranya yang terdengar dan
terekam biasa-biasa di kaset, hanya ada keindahan, kasih sayang, cinta dan doa
yang menembus waktu.
Dengan seluruh cerita
di atas, Anda bebas menyimpulkannya sendiri. Hidup saya memang tidak halus
mulus. Bahkan, ditandai banyak tikungan dan tanjakan terjal yang
mengkhawatirkan. Beberapa kali hampir masuk ke jurang
yang paling berbahaya. Karena meyakini bahwa rasa syukurlah kendaraan kehidupan yang paling mutakhir, maka senantiasa saya mengajari diri untuk melihat
hidup sebagai kumpulan cerita-cerita indah.
Tidak hanya membuat
hidup jadi penuh dengan rasa
syukur, juga memproduksi badan dan
jiwa yang lebih sehat. Lebih dari itu, konsepsi hidup seperti itu juga yang
membuat saya tidak kehabisan tutur dan cerita buat orang lain. Seperti aliran air di sungai yang tidak pernah habis, dan
bersumber pada air pegunungan yang menyimpan air tanpa pernah kehabisan.
Demikian juga dengan tubuh dan jiwa yang di- penuhi oleh kumpulan cerita-cerita
indah. Ide, inspirasi, imajinasi kehidupan datang selancar air di sungai. Tidak
saja mengaliri, tetapi juga menyejukkan. Setidaknya mengaliri dan menyejukkan
hidup saya sendiri.
Serupa dengan parasut yang hanya berguna ketika terbuka,
demikian juga dengan cerita dan sejarah kehidupan setiap orang. Ia jadi terbuka
dan berguna kalau dibingkai, diatur dan ditata dalam kumpulan cerita-cerita
indah.
Saya sering dan teramat sering menerima surat dan
e-mail yang bertutur kehidupan tanpa cerita indah. Hidup Anda memang hak Anda,
tetapi saya membingkai kehidupan saya sebagai kumpulan cerita-cerita indah.
Silakan Anda bingkai kehidupan Anda sendiri dengan bingkai yang Anda suka.
*Penulis: Gede Prama, Penerbit: PT Elex Media Komputindo