Kumpulan Cerita-Ceriita Indah

Senin, 23 April 2012 10:20 WIB | 18.100 kali
Kumpulan Cerita-Ceriita Indah Dalam kejenuhan dan banyak waktu luang di rumah, ada sebuah kegiatan yang membantu membangunkan spirit: melihat album foto. Dalam keluarga saya, foto-foto memang belum tertata rapi. Namun, cukup untuk membantu mengingat apa-apa yang pernah kami lalui bersama-sama. Ada foto ketika puteri tertua saya masih menjadi bayi yang kurus, pucat, kurang makan dan ekspresi yang mengundang kesedihan. Ada foto isteri saya ketika di Inggris yang kurus kekurangan gizi. Ada juga foto Adi (putera kedua kami) yang sekolah di Inggris tanpa teman karena tidak bisa berbicara Inggris sepatah pun. Ada juga foto saya yang kurus kering ketika di Inggris karena belajar dari pagi hingga malam, jalan kaki cukup jauh setiap hari, sampai dengan makan secukupnya. Belum lagi ditambah dengan foto rumah kontrakan yang lusuh, jelek dan tidak layak.

Bagi Anda, mungkin foto-foto ini merupakan tumpukan cerita-cerita sedih. Hal yang serupa juga muncul dalam perasaan saya dan keluarga. Hanya saja, di samping mengingatkan kesedihan, foto-foto tadi juga menghadirkan perbandaingan antara kehidupan sekarang dengan kehidupan terdahulu. Seperti berjalan di tangga, ketinggian baru terasa nikmatnya kalau kita melihat pada anak tangga yang lebih bawah.

Ini yang menyebabkan, kenapa kami sekeluarga suka memandangi foto-foto yang menurut kebanyakan orang memalukan. Ia seperti kumpulan cerita-cerita indah. Tidak ada keterangan maupun kata-kata memang. Tetapi berbicara sangat banyak, serta menghadirkan keindahan yang me­ngalahkan keindahan hotel berbintang lima mana pun yang pernah kami sekeluarga pernah tempati.

Di samping foto, ada juga kaset kenangan yang saya sim­pan teramat rapi. Sebuah kaset yang berisi suara nyanyian ayah saya tercinta yang sudah almarhum. Kaset ini memiliki sejarah unik. Beberapa tahun silam ketika saya sekeluarga pulang ke kampung, ayah yang sudah berumur tua minta suaranya direkam ke dalam kaset seadanya. Niatnya seder- hana, kalau ada di Jakarta yang jauh anak dan cucunya ma­sih bisa mendengar suara ayah.

Ketika itu, hanya didorong oleh niat untuk menghargai orang tua, dan takut mengecewakannya, semuanya saya lakukan persis seperti yang beliau kehendaki. Maka, sayalah satu-satunya puteranya yang diwarisi nyanyian khusus lang­sung dinyanyikan oleh ayah tercinta.

Sekian tahun setelah ayah almarhum, dan pelukan-peluk- an cintanya sering datang ke rumah, kaset tersebut sering saya putar kembali. Suaranya khas, bait-baitnya kebanyakan saya tidak mengerti karena dalam bahasa sansekerta yang teramat tinggi untuk bisa dimengerti. Kendati tidak menger­ti artinya, suara tadi lebih dari cukup untuk menghadirkan gambar-gambar indah yang pernah hadir antara ayah dan saya.

Sebagai orangtua yang tinggal di kampung, dan berpen­didikan hanya kelas tiga zaman Belanda, ayah pernah menggendong saya ketika menanam pohon kelapa. Ketika

saya tanya, kenapa menggendong saya sambil menanam pohon kelapa, ia berargumen meyakinan: ’kelak buah kela­pa akan banyak sekali seperti saling menggendong’. Sering saya dibuat tersenyum bahagia oleh kata-kata ayah yang diucapkan puluhan tahun lalu ini.

Di umur yang teramat kecil, ada sebuah kebiasaan ayah yang masih melekat dalam ingatan. Setelah makan di sore hari, biasa berjalan-jalan di halaman rumah, sambil meng­genggam tangan saya. Dalam perjalanan berputar-putar di halaman rumah yang sama, ayah sering menyebutkan nama ’gede prama sarjana hukum’. Maklum, satu-satunya gelar kesarjanaan yang beliau ketahui hanyalah sarjana hukum.

Sebagai orangtua yang memiliki putera dan puteri berjumlah belasan orang, memang memiliki banyak kelemah­an. Sebagai manusia biasa, ia juga pernah mengecewakan saya. Akan tetapi, dalam suaranya yang terdengar dan tere­kam biasa-biasa di kaset, hanya ada keindahan, kasih sayang, cinta dan doa yang menembus waktu.

Dengan seluruh cerita di atas, Anda bebas menyimpul­kannya sendiri. Hidup saya memang tidak halus mulus. Bahkan, ditandai banyak tikungan dan tanjakan terjal yang mengkhawatirkan. Beberapa kali hampir masuk ke jurang yang paling berbahaya. Karena meyakini bahwa rasa syukurlah kendaraan kehidupan yang paling mutakhir, maka senantiasa saya mengajari diri untuk melihat hidup sebagai kumpulan cerita-cerita indah.

Tidak hanya membuat hidup jadi penuh dengan rasa syukur, juga memproduksi badan dan jiwa yang lebih sehat. Lebih dari itu, konsepsi hidup seperti itu juga yang membuat saya tidak kehabisan tutur dan cerita buat orang lain. Seperti aliran air di sungai yang tidak pernah habis, dan bersumber pada air pegunungan yang menyimpan air tanpa pernah kehabisan. Demikian juga dengan tubuh dan jiwa yang di- penuhi oleh kumpulan cerita-cerita indah. Ide, inspirasi, imajinasi kehidupan datang selancar air di sungai. Tidak saja mengaliri, tetapi juga menyejukkan. Setidaknya mengaliri dan menyejukkan hidup saya sendiri.

Serupa dengan parasut yang hanya berguna ketika ter­buka, demikian juga dengan cerita dan sejarah kehidupan setiap orang. Ia jadi terbuka dan berguna kalau dibingkai, diatur dan ditata dalam kumpulan cerita-cerita indah.

Saya sering dan teramat sering menerima surat dan e-mail yang bertutur kehidupan tanpa cerita indah. Hidup Anda memang hak Anda, tetapi saya membingkai kehidupan saya sebagai kumpulan cerita-cerita indah. Silakan Anda bingkai kehidupan Anda sendiri dengan bingkai yang Anda suka.

*Penulis: Gede Prama, Penerbit: PT Elex Media Komputindo



Yuk Bagikan :

Baca Juga

Doa yang Paling Sering Diucapkan Rasulullah
Kamis, 24 November 2016 10:25 WIB
Jika Anda Begini, Istri Anda Bakal Demen
Kamis, 13 Oktober 2016 10:52 WIB
Tinggi Ilmu Namun Rendah Hati
Rabu, 28 September 2016 10:29 WIB
Empat Amalan Surga Dalam Satu Hari
Selasa, 20 September 2016 14:21 WIB