Di antara demikian banyak pertanyaan reflektif yang
tersedia buat manusia, mungkin tidak ada yang lebih reflektif dari pertanyaan
’untuk apa sebenarnya hidup ini?’. Di samping
karena paling banyak ditanyakan, pertanyaan ini paling mungkin membawa manusia ke dasar dan hakikatnya. Sampai
sekarang pun belum ada jawaban absolut terhadap pertanyaan yang bisa memuaskan
semua orang. Mungkin bahkan tidak akan pernah ada jawaban seperti itu.
Entah bagaimana
pengalaman Anda, dalam hidup saya pertanyaan reflektif tadi paling sering muncul kalau di depan mata hadir kedukaan yang
sangat mendalam seperti kematian. Di setiap kejadian ditinggalkan orang-orang
yang sangat saya cintai, melayat ke orang yang hidupnya layak dihormati, atau
mendengar kematian orang-orang berpengaruh, pertanyaan ini hadir menghadang.
Di depan kematian,
mungkin tidak hanya saya yang ditemani ketakutan. Demikian juga film Meet
Joe Black yang dibintangi
bintang film seksi Brad Pitt. Di layar HBO, film atraktif ini memang sudah diputar lebih dari dua kali. Demikian atraktifnya-karena bertutur tentang hidup seorang
kaya raya yang telah dijemput kematian-sampai- sampai saya menontonnya dua kali.
Tidak hanya saya dan sutraclara film ini yang takut kema- tian, mungkin kebanyakan orang
menakutinya. Lihatlah oang-orang yang sakit di unit gawat darurat, perhatikan i
juga keluarga yang menungguinya, atau mereka yang baru saja ditinggalkan
orang-orang; tercinta. Hampir semuanya takut, tidak berdaya, serta disertai doa
agar sang kematian tidak segera datang menjemput.
Dalam bingkai berpikir seperti ini, hidup tidak
ubahnya lengan kegiatan yang hanya ’menunggu belas kasihan
sang kematian’. Ketika tidak datang, kita senang penuh rasa terima kasih. Tatkala datang, kita takut dan tidak berdaya
dibuatnya. Dalam kejernihan dan kesederhanaan saya ingin bertanya kepada Anda,
betapa sia-sianya hidup yang hanya menunggu belas kasihan kematian?
Entah Anda pernah mengalaminya atau tidak, saya
pernah menaiki pesawat yang hampir jatuh, pernah sakit di
tengah kemiskinan di negeri orang yang sangat jauh sekali, nyaris celaka oleh
kecelakaan kendaraan di jalan raya, yang jelas semua itu menghadirkan moment takut pada kematian. Dalam
ketakutan saya kerap bertanya, apa sebenarnya ’ang membuat kita takut? Mungkin
Anda bisa menam- lahinya, yang jelas ada beberapa sebab yang mungkin, .’ertama,
dunia setelah kematian adalah dunia gelap yang masih penuh misteri. Siapa pun
yang memasuki dunia seperti itu pasti ditemani ketakutan. Kedua, ketakutan akan
orang-orang yang kita tinggalkan. Ketiga, tabungan-tabungan cinta yang masih teramat kurang. Semakin
sedikit tabungan cinta yang kita miliki-entah karena
suka menyakiti hati orang, entah hidup yang teramat kotor, entah karena teramat
pelit-semakin mengkhawatirkan kita di depan gerbang kematian.
Mari kita mulai dengan sebab pertama: dunia misteri
setelah kematian. Banyak sudah yang ditulis tentang hal ini.
Banyak juga yang sudah dibicarakan dan diramalkan.
Mungkin saja saya keliru, namun dunia kematian merupakan ’kelanjutan’ dari
dunia sebelumnya. Dikatakan kelanjutan, karena bukanlah jalan yang terputus
sama sekali dengan jalan sebelumnya. Sejumlah penulis sufi bahkan mengemukakan,
bahwa kematian hanya kegiatan pindah ruangan saja.
Kalau benar merupakan
kelanjutan jalan sebelumnya, maka perjalanan ke sana sebenarnya sudah kita
rintis sejak awai. Terutama melalui apa yang kita pikirkan, katakan dan kita
lakukan dalam hidup. Serupa dengan perjalanan sebenarnya, jalan di depan
memang kita belum tahu. Tetapi, semakin kita menguasai jalan sebelumnya serta
kendaraan (baca: badan kasar dan badan halus) yang kita gunakan, semakin
sedikit kemungkinan kecelakaan di depan. Dan kalau kita tahu kendaraan yang
kita gunakan hanya bisa berbelok ke kanan, bukankah sekarang saatnya untuk memperbaiki
agar perjalanan di depan lebih mudah? Melalui ilus- trasi kecil ini terlihat,
tidaklah seluruhnya betul kalau dikatakan dunia kematian sepenuhnya gelap.
Faktor kedua berupa
ketakutan akan keluarga y ang kita tinggalkan, sebenarnya manusiawi. Terjadi
pada setiap orang. Lebih-lebih bagi pencinta-pencinta keluarga sepeni saya ini.
Atau mereka yang bersurgakan rumah. Mereka yang kerap memiliki heaven days di aimah. Kematian tentu saja
akan meninggalkan sungai besar kesedihan. Jiran air mata yang tidak kecil. Gaung tangisan yang
panjang.
Namun, sudah sering
saya tulis, kesedihan hidup serumah dengan kebahagiaan. Datang
bergantian-sekali lagi bergantian-mengunjungi kita. Tidak ada yang namanya
kesedihan atau pun kebahagiaan yang permanen. Dan yang perlu disyukuri dari
kesedihan, ia sedang membangun fon- dasi jiwa yang kokoh. Tidak ada jiwa kokoh
tanpa kesedihan yang mendalam.
Faktor terakhir tentang taburigan-tabungan cinta.
Sebuah labungan yang tidak hanya mengenal bunga, namun juga berfungsi sebagai
kendaraan sangat meyakinkan dalam mengarungi kematian. Sejauh bacaan dan
pergaulan saya, tidak ada agama yang melarang umatnya untuk menabung cinta
dalam hidup.
Saya tidak berpretensi mau menghasilkan kesimpulan
yang meyakinkan di akhir tulisan ini, namun saya mau bertanya: akankah Anda
biarkan hidup hanya sekadar menung- belas kasihan kematian?
*Penulis: Gede Prama, Penerbit: PT Elex Media
Komputindo