Menunggu Belas Kasihan Kematian

Rabu, 11 April 2012 10:33 WIB | 7.075 kali
Menunggu Belas Kasihan Kematian Di antara demikian banyak pertanyaan reflektif yang terse­dia buat manusia, mungkin tidak ada yang lebih reflektif dari pertanyaan ’untuk apa sebenarnya hidup ini?’. Di samping karena paling banyak ditanyakan, pertanyaan ini paling mungkin membawa manusia ke dasar dan hakikatnya. Sampai sekarang pun belum ada jawaban absolut terhadap pertanyaan yang bisa memuaskan semua orang. Mungkin bahkan tidak akan pernah ada jawaban seperti itu.

Entah bagaimana pengalaman Anda, dalam hidup saya pertanyaan reflektif tadi paling sering muncul kalau di depan mata hadir kedukaan yang sangat mendalam seperti kematian. Di setiap kejadian ditinggalkan orang-orang yang sangat saya cintai, melayat ke orang yang hidupnya layak dihormati, atau mendengar kematian orang-orang berpe­ngaruh, pertanyaan ini hadir menghadang.

Di depan kematian, mungkin tidak hanya saya yang dite­mani ketakutan. Demikian juga film Meet Joe Black yang di­bintangi bintang film seksi Brad Pitt. Di layar HBO, film atraktif ini memang sudah diputar lebih dari dua kali. Demikian atraktifnya-karena bertutur tentang hidup se­orang kaya raya yang telah dijemput kematian-sampai- sampai saya menontonnya dua kali.

Tidak hanya saya dan sutraclara film ini yang takut kema- tian, mungkin kebanyakan orang menakutinya. Lihatlah oang-orang yang sakit di unit gawat darurat, perhatikan i juga keluarga yang menungguinya, atau mereka yang baru saja ditinggalkan orang-orang; tercinta. Hampir semuanya takut, tidak berdaya, serta disertai doa agar sang kematian tidak segera datang menjemput.

Dalam bingkai berpikir seperti ini, hidup tidak ubahnya lengan kegiatan yang hanya ’menunggu belas kasihan sang kematian’. Ketika tidak datang, kita senang penuh rasa teri­ma kasih. Tatkala datang, kita takut dan tidak berdaya di­buatnya. Dalam kejernihan dan kesederhanaan saya ingin bertanya kepada Anda, betapa sia-sianya hidup yang hanya menunggu belas kasihan kematian?

Entah Anda pernah mengalaminya atau tidak, saya pernah menaiki pesawat yang hampir jatuh, pernah sakit di tengah kemiskinan di negeri orang yang sangat jauh sekali, nyaris celaka oleh kecelakaan kendaraan di jalan raya, yang jelas semua itu menghadirkan moment takut pada kematian. Dalam ketakutan saya kerap bertanya, apa sebenarnya ’ang membuat kita takut? Mungkin Anda bisa menam- lahinya, yang jelas ada beberapa sebab yang mungkin, .’ertama, dunia setelah kematian adalah dunia gelap yang masih penuh misteri. Siapa pun yang memasuki dunia seperti itu pasti ditemani ketakutan. Kedua, ketakutan akan orang-orang yang kita tinggalkan. Ketiga, tabungan-tabungan cinta yang masih teramat kurang. Semakin sedikit tabungan cinta yang kita miliki-entah karena suka menyakiti hati orang, entah hidup yang teramat kotor, entah karena teramat pelit-semakin mengkhawatirkan kita di depan gerbang kematian.

Mari kita mulai dengan sebab pertama: dunia misteri sete­lah kematian. Banyak sudah yang ditulis tentang hal ini.

Banyak juga yang sudah dibicarakan dan diramalkan. Mung­kin saja saya keliru, namun dunia kematian merupakan ’kelanjutan’ dari dunia sebelumnya. Dikatakan kelanjutan, karena bukanlah jalan yang terputus sama sekali dengan jalan sebelumnya. Sejumlah penulis sufi bahkan mengemukakan, bahwa kematian hanya kegiatan pindah ruangan saja.

Kalau benar merupakan kelanjutan jalan sebelumnya, maka perjalanan ke sana sebenarnya sudah kita rintis sejak awai. Terutama melalui apa yang kita pikirkan, katakan dan kita lakukan dalam hidup. Serupa dengan perjalanan sebe­narnya, jalan di depan memang kita belum tahu. Tetapi, semakin kita menguasai jalan sebelumnya serta kendaraan (baca: badan kasar dan badan halus) yang kita gunakan, semakin sedikit kemungkinan kecelakaan di depan. Dan kalau kita tahu kendaraan yang kita gunakan hanya bisa berbelok ke kanan, bukankah sekarang saatnya untuk mem­perbaiki agar perjalanan di depan lebih mudah? Melalui ilus- trasi kecil ini terlihat, tidaklah seluruhnya betul kalau dikata­kan dunia kematian sepenuhnya gelap.

Faktor kedua berupa ketakutan akan keluarga y ang kita tinggalkan, sebenarnya manusiawi. Terjadi pada setiap orang. Lebih-lebih bagi pencinta-pencinta keluarga sepeni saya ini. Atau mereka yang bersurgakan rumah. Mereka yang kerap memiliki heaven days di aimah. Kematian tentu saja akan meninggalkan sungai besar kesedihan. Jiran air mata yang tidak kecil. Gaung tangisan yang panjang.

Namun, sudah sering saya tulis, kesedihan hidup serumah dengan kebahagiaan. Datang bergantian-sekali lagi ber­gantian-mengunjungi kita. Tidak ada yang namanya kese­dihan atau pun kebahagiaan yang permanen. Dan yang perlu disyukuri dari kesedihan, ia sedang membangun fon- dasi jiwa yang kokoh. Tidak ada jiwa kokoh tanpa kesedih­an yang mendalam.

Faktor terakhir tentang taburigan-tabungan cinta. Sebuah labungan yang tidak hanya mengenal bunga, namun juga berfungsi sebagai kendaraan sangat meyakinkan dalam mengarungi kematian. Sejauh bacaan dan pergaulan saya, tidak ada agama yang melarang umatnya untuk menabung cinta dalam hidup.

Saya tidak berpretensi mau menghasilkan kesimpulan yang meyakinkan di akhir tulisan ini, namun saya mau ber­tanya: akankah Anda biarkan hidup hanya sekadar menung- belas kasihan kematian?

 
*Penulis: Gede Prama, Penerbit: PT Elex Media Komputindo



Yuk Bagikan :

Baca Juga

Doa yang Paling Sering Diucapkan Rasulullah
Kamis, 24 November 2016 10:25 WIB
Jika Anda Begini, Istri Anda Bakal Demen
Kamis, 13 Oktober 2016 10:52 WIB
Tinggi Ilmu Namun Rendah Hati
Rabu, 28 September 2016 10:29 WIB
Empat Amalan Surga Dalam Satu Hari
Selasa, 20 September 2016 14:21 WIB