Kereta Ditarik Lima Kuda
Dalam sebuah presentasi di salah satu hotel bintang
lima di Surabaya, sejumlah peserta sangat tertarik dengan konsep yang saya
sebut dengan loving meditation. Sebuah meditasi hanya untuk kepentingan meningkatkan energi
cinta. Banyak orang sudah yang tertarik untuk mencoba menerapkannya. Dan
banyak juga yang mengeluh tentang tidak sedikitnya hambatan dalam hal ini.
Sehingga memborbardir saya dengan demikian banyak pertanyaan dan keluhan.
Dalam bentuknya yang cukup mendasar, ’bahan’ tubuh
dan jiwa setiap orang memang berbeda. Bila diandaikan dengan kain, ada kain yang dibuat dari bahan kasar dan mudah robek,
ada juga yang terbuat dari bahan halus dan kuat. Ada yang sejak awai hanya
memiliki kain yang robek- robek, ada juga yang kainnya sejak awai sudah utuh. Menyadari
modal awai yang berbeda-beda ini, tentu saja godaan,
halangan maupun hasilnya berbeda dari satu orang ’ ke orang lain.
Namun, dalam bentuk
apa pun modal awalnya,
dan sebesar apa pun godaannya, setiap orang sama-sama
dibekali dua tubuh yang sama. Dengan misi yang sama juga: membersihkan dan
mencerahkan sang badan. Sekali badan ini (baca: badan halus maupun badan
kasar) bersih dan tercerahkan, modal awal
seperti apa pun, akan lebih mudah dirajut
menjadi pakaian seperti yang kita inginkan.
Mari kita mulai
dengan membersihkan badan melalui makanan yang kita konsumsi. Kalau badan
kasar, jelas sekali apa makanannya. Dokter mana pun akan menyebut empat sehat lima sempurna. Plus olahraga tentunya. Akan
tetapi, menyangkut badan halus, perdebatan masih terbuka, jalan menuju
kesimpulan yang membuat semua orang sepakat masih jauh.
Kendati masih jauh,
izinkan saya berbagi kejernihan dalam
hal ini. Dalam kesederhanaan berpikir, bila badan kasar memperoleh energi
melalui makanan, badan halus sebenarnya memperoleh energinya melalui pikiran.
Jika badan kasar mengolah setiap bahan yang masuk, demikian juga dengan
pikiran. Ia mengolah apa pun yang datang melalui filter, serta proses lain yang dimilikinya.
Oleh karena badan
kasar dan badan halus tinggal di tempat yang sama, maka keduanya memiliki daya pengaruh secara
interaktif terhadap yang lain. Di samping makanannya
berbeda, interaksi terakhirlah yang membuat seni mengelola diri menjadi sangat
menarik. Banyak pemikir yang mengurai interaksi terakhir secara sangat rumit.
Izinkan saya mengurainya dalam kesederhanaan saja.
Meminjam kerangka
seorang pemikir atraktif bernama Eknath Easwaran dalam buku Dialogue With Death: A Journey Through Consciousness, tubuh kita sebenarnya mirip dengan kereta yang ditarik lima kuda. Kuda-kuda itu
bernama pancaindra (mata, telinga, hidung, mulut dan kulit). Kelimanya lari
berderap setiap hari. Sayangnya, kalau kereta sebenarnya dikendalikan oleh
kusir, tubuh banyak orang dibiarkan saja ditarik ke sana-ke mari oleh kelima
kuda ini. Di sinilah awai dan asai muasal interaks antara badan kasar dan badan halus yang sulit dikendalikan.
Bagaimana bisa
mengendalikan kereta (baca: badan halus dan kasar), kalau keretanya lari cepat
dan kencang tanpa kusir? Nah, di zaman yang sudah demikian kapitalis dan borjuisini,
kelima kuda tadi lari demikian kencangnya. Bahkan, sering lari ke arah yang berbeda-beda. Kalau ini membawa resiko dalam bentuk keretanya
rusak parah, tentu mudah sekali bisa dimengerti.
Badan yang mengidap banyak penyakit, sakit kejiwaan
yang melanda banyak orang, larinya orang ke narkoba, penyakit
sosial (korupsi, perampokan, perceraian, dan lain- lain). Yang tidak kunjung sembuh, hanyalah sebagian bukti sahih yang
menunjukkan, betapa kereta-kereta kita sudah dibuat
demikian berantakan oleh lima kuda yang lari liar ke arah yang berbeda.
Easwaran memang
menyebut mind, emosi dan
hasrat sebagai tali kendali kelima kuda tadi. Kitalah sang kusir yang
diharapkan menjadi pengendali. Sayang, tidak sedikit orang yang misi dan tugasnya sebagai kusir, tetapi
hanya pasrah di tengah kereta, kendati ditarik kuda liar ke berbagai arah.
Anda saya kira sudah
tahu apa yang sebaiknya dikendalikan setelah wacana ini. Yang jelas, sangat dan sangatlah penting-terutama
bagi siapa saja yang mau memiliki badan kasar dan badan halus yang
sehat-mengendalikan pancaindra. Sekali pancaindra terkendali, kita bisa
menghidupi kedua badan dengan gizi yang cukup, tanpa perlu berlebihan.
Di tataran ini, apa yang saya sebut di awal sebagai loving meditation, bukanlah
sebuah kegiatan yang terlalu sulit. Sama mudahnya dengan air sungai yang
mengalir penuh kelenturan. Di samping mudah, juga indah dan penuh berkah.
Hanya saja, tanpa kemampuan menjadi kusir dari
kereta yang ditarik lima kuda tadi, saya khawatir, siapa pun akan sulit memasuki teritori
loving maditation. Bila diibaratkan dengan jalan setapak, ia
penuh duri, tanjakan terjal, serta jurang
berbahaya.
Kembali ke cerita
tentang modal awal orang yang berbeda-beda dalam
hidup. Tidak semua orang dilengkapi helikopter untuk pergi ke puncak gunung. Sebagian
besar orang memang tidak dianugerahi helikopter yang bisa membuat perjalanan
ke puncak gunung menjadi nikmat dan mudah. Namun, dengan kemampuan dan
kesediaan menjadi kusir dari kedua badan ini, kita sedang memperkuat otot,
mempertinggi keterampilan memanjat tebing, serta mengumpulkan tali-tali yang
bisa membuat kita sampai ke puncak gunung (baca: loving meditation).
*Penulis: Gede Prama, Penerbit: PT Elex Media
Komputindo