Kereta Ditarik Lima Kuda

Selasa, 03 April 2012 08:04 WIB | 4.896 kali
Kereta Ditarik Lima Kuda Dalam sebuah presentasi di salah satu hotel bintang lima di Surabaya, sejumlah peserta sangat tertarik dengan konsep yang saya sebut dengan loving meditation. Sebuah meditasi hanya untuk kepentingan meningkatkan energi cinta. Banyak orang sudah yang tertarik untuk mencoba menerap­kannya. Dan banyak juga yang mengeluh tentang tidak sedikitnya hambatan dalam hal ini. Sehingga memborbardir saya dengan demikian banyak pertanyaan dan keluhan.

Dalam bentuknya yang cukup mendasar, ’bahan’ tubuh dan jiwa setiap orang memang berbeda. Bila diandaikan dengan kain, ada kain yang dibuat dari bahan kasar dan mudah robek, ada juga yang terbuat dari bahan halus dan kuat. Ada yang sejak awai hanya memiliki kain yang robek- robek, ada juga yang kainnya sejak awai sudah utuh. Menyadari modal awai yang berbeda-beda ini, tentu saja godaan, halangan maupun hasilnya berbeda dari satu orang ’ ke orang lain.

Namun, dalam bentuk apa pun modal awalnya, dan sebesar apa pun godaannya, setiap orang sama-sama dibekali dua tubuh yang sama. Dengan misi yang sama juga: mem­bersihkan dan mencerahkan sang badan. Sekali badan ini (baca: badan halus maupun badan kasar) bersih dan tercerahkan, modal awal seperti apa pun, akan lebih mudah dira­jut menjadi pakaian seperti yang kita inginkan.

Mari kita mulai dengan membersihkan badan melalui makanan yang kita konsumsi. Kalau badan kasar, jelas sekali apa makanannya. Dokter mana pun akan menyebut empat sehat lima sempurna. Plus olahraga tentunya. Akan tetapi, menyangkut badan halus, perdebatan masih terbuka, jalan menuju kesimpulan yang membuat semua orang sepakat masih jauh.

Kendati masih jauh, izinkan saya berbagi kejernihan dalam hal ini. Dalam kesederhanaan berpikir, bila badan kasar memperoleh energi melalui makanan, badan halus sebe­narnya memperoleh energinya melalui pikiran. Jika badan kasar mengolah setiap bahan yang masuk, demikian juga dengan pikiran. Ia mengolah apa pun yang datang melalui filter, serta proses lain yang dimilikinya.

Oleh karena badan kasar dan badan halus tinggal di tempat yang sama, maka keduanya memiliki daya pengaruh secara interaktif terhadap yang lain. Di samping makanan­nya berbeda, interaksi terakhirlah yang membuat seni me­ngelola diri menjadi sangat menarik. Banyak pemikir yang mengurai interaksi terakhir secara sangat rumit. Izinkan saya mengurainya dalam kesederhanaan saja.

Meminjam kerangka seorang pemikir atraktif bernama Eknath Easwaran dalam buku Dialogue With Death: A Journey Through Consciousness, tubuh kita sebenarnya mirip dengan kereta yang ditarik lima kuda. Kuda-kuda itu bernama pancaindra (mata, telinga, hidung, mulut dan kulit). Kelimanya lari berderap setiap hari. Sayangnya, kalau kereta sebenarnya dikendalikan oleh kusir, tubuh banyak orang dibiarkan saja ditarik ke sana-ke mari oleh kelima kuda ini. Di sinilah awai dan asai muasal interaks antara badan kasar dan badan halus yang sulit dikendalikan.

Bagaimana bisa mengendalikan kereta (baca: badan halus dan kasar), kalau keretanya lari cepat dan kencang tanpa kusir? Nah, di zaman yang sudah demikian kapitalis dan borjuisini, kelima kuda tadi lari demikian kencangnya. Bahkan, sering lari ke arah yang berbeda-beda. Kalau ini membawa resiko dalam bentuk keretanya rusak parah, tentu mudah sekali bisa dimengerti.

Badan yang mengidap banyak penyakit, sakit kejiwaan yang melanda banyak orang, larinya orang ke narkoba, penyakit sosial (korupsi, perampokan, perceraian, dan lain- lain). Yang tidak kunjung sembuh, hanyalah sebagian bukti sahih yang menunjukkan, betapa kereta-kereta kita sudah dibuat demikian berantakan oleh lima kuda yang lari liar ke arah yang berbeda.

Easwaran memang menyebut mind, emosi dan hasrat sebagai tali kendali kelima kuda tadi. Kitalah sang kusir yang diharapkan menjadi pengendali. Sayang, tidak sedikit orang yang misi dan tugasnya sebagai kusir, tetapi hanya pasrah di tengah kereta, kendati ditarik kuda liar ke berbagai arah.

Anda saya kira sudah tahu apa yang sebaiknya dikenda­likan setelah wacana ini. Yang jelas, sangat dan sangatlah penting-terutama bagi siapa saja yang mau memiliki badan kasar dan badan halus yang sehat-mengendalikan pan­caindra. Sekali pancaindra terkendali, kita bisa menghidupi kedua badan dengan gizi yang cukup, tanpa perlu berlebihan.

Di tataran ini, apa yang saya sebut di awal sebagai loving meditation, bukanlah sebuah kegiatan yang terlalu sulit. Sama mudahnya dengan air sungai yang mengalir penuh ke­lenturan. Di samping mudah, juga indah dan penuh berkah.

Hanya saja, tanpa kemampuan menjadi kusir dari kereta yang ditarik lima kuda tadi, saya khawatir, siapa pun akan sulit memasuki teritori loving maditation. Bila diibaratkan dengan jalan setapak, ia penuh duri, tanjakan terjal, serta jurang berbahaya.

Kembali ke cerita tentang modal awal orang yang berbeda-beda dalam hidup. Tidak semua orang dilengkapi helikopter untuk pergi ke puncak gunung. Sebagian besar orang memang tidak dianugerahi helikopter yang bisa mem­buat perjalanan ke puncak gunung menjadi nikmat dan mudah. Namun, dengan kemampuan dan kesediaan menja­di kusir dari kedua badan ini, kita sedang memperkuat otot, mempertinggi keterampilan memanjat tebing, serta me­ngumpulkan tali-tali yang bisa membuat kita sampai ke pun­cak gunung (baca: loving meditation).

*Penulis: Gede Prama, Penerbit: PT Elex Media Komputindo



Yuk Bagikan :

Baca Juga

Doa yang Paling Sering Diucapkan Rasulullah
Kamis, 24 November 2016 10:25 WIB
Jika Anda Begini, Istri Anda Bakal Demen
Kamis, 13 Oktober 2016 10:52 WIB
Tinggi Ilmu Namun Rendah Hati
Rabu, 28 September 2016 10:29 WIB
Empat Amalan Surga Dalam Satu Hari
Selasa, 20 September 2016 14:21 WIB