Di tempat-tempat umum seperti bandara, mall, bioskop, atau sekolah dan universitas, di mana banyak orang berkumpul, sering saya memperhatikan wajah orang. Bila diamati secara agak mendalam, ada semacam kelangkaan orang yang berwajah penuh kedamaian. Cirinya, sinar muka yang segar, murah senyum, sorot mata yang bersahabat, serta kesediaan yang mudah untuk berkomunikasi. Di Jakarta dan kota besar lainnya, mayoritas mata menunjukkan sinar curiga. Senyum disamping mengundang curiga orang lain, juga menjadi barang yang teramat langka. Wajah-wajah kota besar banyak terdiri dari wajah yang lesu, kusam dan tidak bersemangat. Apa lagi berkomunikasi dengan orang yang tidak kita kenal. Salah-salah kita menjadi korban tidak perlu.
Maka jadilah wajah kota besar sebagai wajah sepi dalam keramaian. Dalam arti kehadiran suara, di mana-mana hadir keramaian. Dari suara mobil, orang jualan, kondektur bus kota, sampai orang berkelahi. Namun dalam arti kedamaian, inilah sebuah wilayah yang amat dan teramat sepi.
Sebagai pembicara publik yang bertemu ribuan orang, saya sering dihadang pertanyaan-pertanyaan yang mengindikasikan keringnya jiwa banyak orang. Sebagai eksekutif puncak perusahaan, tidak jarang harus berhadapan dengan bawahan dan lingkungan kerja yang mirip manusia-manusia di tempat umum tadi. Sebagai konsultan, bukan lagi menjadi pengalaman baru kalau bertemu dinamika manusia di puncak piramida, yang miskin kebahagiaan dan kedamaian.
Dengan latar belakang seperti ini, banyak orang menduga kalau kedamaian itu tidak berada di kota. Ia berada jauh di tempat sepi sana. Dan larilah banyak orang kota setiap minggu, dan setiap libur ke tempat-tempat sepi tadi. Ada yang ketemu kedamaian di sana - kendatipun hanya sesaat. Ada juga yang memindahkan kekeringan jiwa ala kota ke tempat sepi. Dan kalau benar tempat sepi tadi bersemayam kedamaian dan kebahagiaan hidup, semua orang akan ramai-ramai pindah ke sana.
Akan tetapi sebagaimana ditunjukkan pengalaman banyak orang kaya dengan banyak vilanya di tempat sepi, teramat sedikit orang yang menemukan kedamaian permanen di sana. Perubahan suasana sementara tentu ada. Namun, perubahan kedamaian ? Tidak ada satupun orang kaya dengan vilanya yang berhasil membuktikannya ke saya.
Dengan sedikit kejernihan ingin saya bertutur ke Anda, kedamaian sedikit sekali hubungannya dengan tempat. Ia lebih banyak terkait dengan kemampuan kita mengelola fikiran kita sendiri.
Berkaitan dengan fikiran terakhir, seorang sahabat intelektual asli India, pernah punya cerita menarik. Pada suatu hari ada seorang petani yang berdoa amat husuk, sampai-sampai mengganggu ketenteraman Tuhan. Untuk itu, maka Tuhan memberikan kesempatan kepada petani tadi untuk mengajukan permintaan sebanyak tiga kali. Dan Tuhan berjanji pasti akan memenuhinya.
Teringat dengan ayahnya yang terbaring sakit di rumah dengan umur yang tua renta, langsung saja petani tadi minta agar ayahnya dipanggil. Dan sore itu langsung saja sang ayah wafat. Maka berceritalah semua penduduk desa tentang almarhum. Ada yang menyebutnya dengan ayah penyabar, murah hati, suka membantu, sampai dengan pencinta anak dan isteri. Mendengar semua cerita ini, petani tadi merasa berdosa sudah membunuh orang tua yang demikian baik. Maka kembali ia meminta ke Tuhan agar ayahnya dihidupkan kembali dalam keadaan sembuh.
Menyadari bahwa kesempatannya meminta hanya tinggal sekali lagi, maka bertanyalah dia ke semua orang, apa yang sebaiknya dia minta kepada Tuhan. Ada yang menyuruhnya meminta uang, memohon hidup tanpa pernah mati, dikasi isteri baru, sampai dengan rumah serta mobil mewah. Bingung dengan semua ini akhirnya petani tadi diam dan pasrah. Setahun, dua tahun sampai sepuluh tahun berlalu, dia tidak juga meminta sesuatu. Maka kini giliran Tuhan yang bertanya : ’kenapa Anda tidak menagih janji saya yang terakhir ?’.
Merasa diri bingung, kemudian petani tadi bertanya balik ke Tuhan : ’apa yang sebaiknya saya minta ?’. Dengan ekspresi amat tenang Tuhan menjawab : "mintalah hati yang penuh dengan rasa syukur".
Cerita ini memang cerita imajiner, namun siapapun yang memiliki hati yang penuh dengan rasa syukur, ia akan bertemankan kedamaian selamanya. Entah di kamar hotel berbintang lima plus atau di kandang kerbau. Entah di sebelahnya bintang film tercantik, atau wanita berwajah terburuk. Entah makan makanan terenak, atau hanya makan nasi putih. Tidak ada tempat, waktu dan suasana yang bisa mendiktekan kedamaian atau penderitaan.
Kembali ke cerita semula tentang langkanya wajah-wajah yang penuh kedamaian. Kita manusia tidak sedikit yang hidup seperti ikan yang kehausan di dalam air. Di mana-mana ada air yang melimpah, dan tinggal meminumnya. Namun, toh meminta-minta air karena haus tidak tertahankan.
Demikian juga dengan mereka yang merasa tidak pernah menemukan kedamaian dan kebahagiaan. Kedamaian ada di mana-mana. Dan bisa diambil oleh siapa saja dan kapan saja. Dan syaratnyapun dimiliki oleh semua orang. Persoalannya, maukah kita membuka pintu hati untuk senantiasa bersukur, bersyukur dan bersyukur ?
*Penulis: Gede Prama, Penerbit: PT Elex Media Komputindo