Ketika Menang Bukan Segalanya

Jum'at, 09 Maret 2012 00:00 WIB | 5.936 kali
Ketika Menang Bukan Segalanya Karena merasa setiap orang yang saya temui pasti membawa makna belajar, oleh karena itu ketika mengetahui seorang sahabat, dokter bertugas demikian lama di unit gawat darurat, saya memintanya untuk mencatat pesan-pesan terakhir orang yang mau meninggal. Begitu tahu, permintaan ini akan digunakan sebagai pesan yang dibaca ribuan orang, maka ia pun menyanggupi untuk mencatatnya selama dua minggu. Yang mengejutkan, dalam dua minggu pengamatan, tidak ada satu pun orang yang mau meninggal yang menitipkan harta, atau membanggakan hasil-hasil `kemenangannya` selama hidup. Tidak juga ada orang yang berpesan untuk membunuh musuh-musuhnya. Apa lagi untuk mengingat-ingat dendamnya kepada orang lain. Hampir semua orang yang mau meninggal—demikian tutur dokter serius tadi—menitipkan keluarga dekatnya (isteri, suami, anak, ibu, bapak dan lain-lain) ke orang yang tinggalkan.

Dan kalau boleh saya sarikan dalam satu kesimpulan semua responden merasakan `utang` cinta kepada orang-orang yang ditinggalkan. Tidak ada yang merasa tidak memiliki utang cinta. Seolah-olah memberikan pelajaran semua manusia yang hidup di dunia ini meninggalkan utang cinta. Dalam bahasa akuntansi, harta cinta kita selalu lebih sedikit dibandingkan dengan utangnya.

Sempat lama saya tercenung dengan penemuan sederhana itu. Dengan sedikit kejernihan, saya pun termasuk manusia dengan saldo negatif cinta. Lebih-lebih ketika mengingat, bahwa rel karier dan kemajuan dimana pun ditandai oleh orang-orang yang sangat bernafsu untuk menang. Menang, menang dan menang, itulah mesin pendorong kemajuan. Tiba-tiba setelah mencermati penemuan sahabat dokter di atas, rupanya di penghujung kehidupan, kemenangan bukanlah segala-galanya. Bahkan, menjadi sumber dari banyaknya utang cinta kepada orang lain.

Anda dan saya beruntung mengetahuinya bukan ketika sudah berada di gerbang akhir kehidupan. Namun, ketika waktu masih terbentang lebar untuk membuat saldo cinta kita jadi positif. Atau, waktu yang tersedia untuk membuat harta cinta lebih besar dibandingkan dengan utang cinta kita pada orang lain masih tersisa. Pertanyaannya kemudian, dari manakah kita sebaiknya memulai usaha untuk mengurangi utang cinta?

Saya memang tidak mau menyuapi Anda, namun hanya menghadirkan pembanding sebagai bahan inspirasi. Yang jelas, ketika tulisan ini dibuat, saya sedang dilanda gesekan-gesekan karier yang besar bersama orang lain. Kalau tidak hati-hati, bisa menghadirkan api yang bisa membakar banyak orang. Sebagai manusia biasa, saya pun tergoda untuk memuaskan ego saya. Lebih-lebih berhadapan de¬ngan bawahan. Ibarat berperang, posisi di atas memiliki kemungkinan menang jauh lebih tinggi. Lebih-lebih dengan bungkus politicking yang cantik dan manis. Semuanya bisa dipermainkan, di mana musuh kita hatinya sakit melalui tangan-tangan orang lain.

Akan tetapi, mengingat pentingnya harta cinta dalam hidup, dan mengurangi utang cinta, saya memaksa diri un¬tuk tidak melakukannya. Tentu saja dengan risiko kehilang-an muka dan diinjaknya gengsi di depan orang banyak. Berat dan membebani memang, namun inilah pilihan sikap yang saya yakini bisa membuat harta cinta bertambah.

Nah, Anda juga saya yakin? Tentu saja pernah, atau malah sering berhadapan dengan gesekan-gesekan karier semacam ini. Sebagaimana saya, juga digoda untuk selalu tampil sebagai pemenang. Adalah menjadi pilihan Anda, apakah ikut nafsu untuk senantiasa menang, atau ikut menabung cinta. Yang jelas, berbeda dengan orang-orang yang sudah berada di gerbang akhir kehidupan yang hanya bisa pasrah, Anda dan saya masih punya banyak kesempatan untuk lebih dari sekadar pasrah.

Di samping di jalur karier, jalur keluarga juga sangat berpotensi menjadi sumber dari utang-utang cinta. Secara lebih khusus, karena di rumahlah kita tampil hampir telanjang. Sebab, di sinilah kita hidup dengan topeng yang sangat minimal. Menyadari hal ini, kita memang tidak bisa mem¬buat utang cinta menjadi nol, apa lagi di rumah. Lebih-lebih tugas sebagai orang tua, suami dan isteri yang kadang harus bersikap tegas. Namun, kita bisa mengimbanginya dengan tabungan-tabungan cinta yang dikenang.

Dan berbeda dengan hal-hal negatif yang mudah sekali diingat dan dikenang, tindakan-tindakan cinta mudah sekali lenyap dari kenangan. Satu tindakan menyakiti hati, bisa diingat orang selamanya. Namun, seribu tindakan mencintai belum tentu diingat satu pun. Oleh karena alasan inilah, maka diperlukan tabungan cinta yang bergunung-gunung agar tabungan cinta jadi positif. Saya menulis tulisan ini sam¬bil memangku anak bungsu saya yang menyita sebagian layar komputer, untuk memutar VCD yang dia sangat sukai. Yang jelas, setiap ada kesempatan untuk menabung cinta, saya berusaha untuk memanfaatkannya. Seorang sahabat saya di Inggris pernah menyarikan hidup dan kehidupan dalam satu kalimat sederhana namun indah: to live a life with love. Memenuhi kehidupan dengan cinta. Dan bukan sebuah kebetulan, kalau tiga kata yang menjadi inti kalimat tadi (live, life, love) memiliki unsur yang sangat mirip dan dekat. Karena ketiganya (hidup, kehidupan dan cinta) memang diciptakan sebagai satu paket yang saling berkait. Terdengar sulit dicapai memang, dan saya pun kerap masih salah dan khilaf, namun bukankah akan lebih sulit lagi mencapainya kalau baru kita mulai ketika kita tidak ber¬daya di gerbang kematian?


*Penulis: Gede Prama, Penerbit: PT Elex Media Komputindo


Yuk Bagikan :

Baca Juga

Doa yang Paling Sering Diucapkan Rasulullah
Kamis, 24 November 2016 10:25 WIB
Jika Anda Begini, Istri Anda Bakal Demen
Kamis, 13 Oktober 2016 10:52 WIB
Tinggi Ilmu Namun Rendah Hati
Rabu, 28 September 2016 10:29 WIB
Empat Amalan Surga Dalam Satu Hari
Selasa, 20 September 2016 14:21 WIB