Dalam bidang kepemimpinan maupun personal
power, ada banyak orang yang menyimpan keingintahuan, dari mana dibawa,
karisma, daya tarik, daya pengaruh pada orang lain, dan hal-hal sejenis
berasal. Anda boleh saja memiliki teori dan keyakinan sendiri, entah pendekatan
terlahir ataupun pendekatan bisa dipelajari. Namun, bagi saya apa yang kita
miliki sekarang ini-dari tingkatan wibawa, karisma, dan lain-lain-adalah hasil
tabungan perbuatan kita dalam kurun waktu yang sangat panjang.
Memang, manusia diberi bekal yang relatif
berbeda keti¬ka lahir. Akan tetapi, perbuatan bisa memperkuat maupun
menghancurkan bekal lahiriah. Terus terang, jika bekal la¬hiriah diandaikan
dengan sebuah kain-dengan tetap ber¬syukur pada Tuhan saya ingin ceritakan,
saya dibekali kain yang tidak terlalu membanggakan. Anda bisa bayangkan, saya
ini adalah bungsu dari tiga belas bersaudara. Pernah lama minder baik akibat
kecerdasan yang kurang, maupun diejek orang karena, memiliki banyak kelemahan.
Dan bukan pada tempatnya kalau saya menceritakan semua sisi gelap masa lalu
saya. Yang jelas, di titik start saya berlari, modal saya sangat terbatas.
Saya heran kalau ada orang yang menyebut saya
memiliki kelebihan sekarang. Sebab, di samping modal awainya ter¬batas,
semuanya dicapai dengan cara yang bisa dilakukan oleh setiap orang. Ramuannya
sangatlah sederhana: berbuat baik, berbuat baik dan berbuat baik. Bahkan,
hampir tidak ada dari perbuatan tadi yang bernilai ’besar’. Hampir semuanya
berskala sangat sederhana. Menempatkan nasi di pinggir kali belakang rumah
untuk dimakan burung gereja setiap pagi, membantu orang tidak mampu semampunya,
hanyalah sebagian dari hal-hal mudah dan sederhana yang secara terus menerus
saya lakukan.
Lebih-lebih ketika bekerja. Seorang rekan yang
menge¬tahui filosofi kerja saya pernah menyebut saya seorang sufi. Terutama,
setelah mengetahui kalau saya tidak terlalu ’berhi¬tung’. Waktu presentasi yang
seharusnya tiga jam melebar menjadi empat jam, dan saya tidak pernah meminta
biaya tambahan. Semenjak dipercaya memimpin perusahaan, belum pernah saya
mempertanyakan besarnya gaji yang diberikan. Lebih-lebih berhitung bekerja
lembur di hari Sabtu atau Minggu, tidak pernah terjadi dalam catatan hidup saya.
Setiap kelebihan kerja, saya anggap sebagai persem¬bahan buat Tuhan.
Ada memang orang yang merasa tersiksa dengan
hidup ’mengalir’ seperti ini. Bahkan, mencontohkannya dengan sepatu yang
diinjak-injak orang lain. Di sinilah letak indah- nya kehidupan. Orang yang
merasa tersiksa, hidupnya menaik. Saya pun sangat mensyukuri hidup saya yang
juga menaik.
Di samping itu, saya sering menempatkan
rangkaian hari dalam kehidupan seperti kegiatan menabung, tindakan-tin¬dakan
kecil yang tidak dikenal. Semakin tidak dikenal dan tidak diketahui orang mana pun,
semakin besar nilai tabungannya bagi saya. Dan ini pun tidak bersembunyi pada
hal-hal
tear’. Mematikan kran air di tempat umum,
memberi tanda pada jalan yang berlubang, mengembalikan bola pada anak orang yang
sedang berenang sambil bermain bola, adalah ben- luk-bentuk tabungan-tabungan
kecil yang tidak dikenal. Sebagian besar bahkan tidak diakhiri oleh ucapan
terima kasih. Hampir setiap malam saya membuka e-mail, dan menjemukan banyak
surat yang meminta nasihat. Sahabat saya menyarankan agar mereka dikenakan
biaya saja. Sampai sekarang, saran tidak saya turuti. Ada kesenangan dan
keba¬hagiaan tersendiri. Kendati, karena demikian banyaknya e- mil, saya harus
memprioritaskan orang-orang yang belum pernah mendapat jawaban. Ada memang yang
kecewa, sebab suratnya yang ketiga maupun keempat tidak sempat I dibalas.
Namun, itulah hal maksimal yang bisa dilakukan di I tengah mobilitas kerja yang
sangat tinggi.
Dalam ritme kerja yang jarang cli rumah
(seminggu kadang ada di empat kota), saya sering merasa berutang sama anak-anak
dan anak mertua. Kendati saya tahu memanjakan mereka tidaklah terlalu mendidik,
tetapi selalu disempatkan untuk menelepon setiap hari. Kerap saya bernyanyi di
telepon untuk anak bungsu saya yang baru berumur tiga tahun setengah.
Sampai-sampai anak yang masih berbicara cadel ini, hapal lagu Every Day I Love
You yang sering saya nyanyikan di telepon.
Dan sebagaimana manusia biasa lainnya, saya
pun kerap melakukan perbuatan buruk-baik disengaja maupun tidak disengaja. Di
tingkat karier yang agak tinggi, godaan memang bisa datang dari mana-mana:
atasan, bawahan, rekan kerja, wanita sampai dengan harta. Tidak semua godaan
saya bisa lulus. Kadang terjatuh dan menyakitkan, berkata kasar, kadang memang
tidak terasa. Melirik wanita cantik lebih tidak terasa lagi. Kesal dengan orang
yang menyinggung perasaan itu malah sering terjadi.
Entah bagaimana kehidupan Anda, kehidupan saya
mem¬bawa sensitivitas yang sangat tinggi akan segala perbuatan buruk. Lupa membawa
sandal milik hotel pernah membuat saya hampir celaka. Keceplosan menghina orang
lain, mem¬buat saya sempat menderita. Terbawa perasaan pada wanita lain, hampir
membuat seluruh hidup saya hancur lebur.
Boleh saja psikolog menyebutnya self
fulfilling prophecy. Namun, sejak kecil tubuh ini memang ditandai sensitivitas
yang demikian tinggi akan perbuatan buruk. Makanya saya tidak terlalu heran
membaca tulisan Thomas Jefferson yang menulis: ’kejujuran adalah bab pertama
dalam buku kebijaksanaan’.
*Penulis: Gede Prama, Penerbit: PT Elex Media Komputindo