Bab Pertama Buku Kebijaksanaan

Minggu, 04 Maret 2012 00:00 WIB | 6.478 kali
Bab Pertama Buku Kebijaksanaan Dalam bidang kepemimpinan maupun personal power, ada banyak orang yang menyimpan keingintahuan, dari mana dibawa, karisma, daya tarik, daya pengaruh pada orang lain, dan hal-hal sejenis berasal. Anda boleh saja memiliki teori dan keyakinan sendiri, entah pendekatan terlahir ataupun pendekatan bisa dipelajari. Namun, bagi saya apa yang kita miliki sekarang ini-dari tingkatan wibawa, karisma, dan lain-lain-adalah hasil tabungan perbuatan kita dalam kurun waktu yang sangat panjang.

Memang, manusia diberi bekal yang relatif berbeda keti¬ka lahir. Akan tetapi, perbuatan bisa memperkuat maupun menghancurkan bekal lahiriah. Terus terang, jika bekal la¬hiriah diandaikan dengan sebuah kain-dengan tetap ber¬syukur pada Tuhan saya ingin ceritakan, saya dibekali kain yang tidak terlalu membanggakan. Anda bisa bayangkan, saya ini adalah bungsu dari tiga belas bersaudara. Pernah lama minder baik akibat kecerdasan yang kurang, maupun diejek orang karena, memiliki banyak kelemahan. Dan bukan pada tempatnya kalau saya menceritakan semua sisi gelap masa lalu saya. Yang jelas, di titik start saya berlari, modal saya sangat terbatas.

Saya heran kalau ada orang yang menyebut saya memiliki kelebihan sekarang. Sebab, di samping modal awainya ter¬batas, semuanya dicapai dengan cara yang bisa dilakukan oleh setiap orang. Ramuannya sangatlah sederhana: berbuat baik, berbuat baik dan berbuat baik. Bahkan, hampir tidak ada dari perbuatan tadi yang bernilai ’besar’. Hampir semuanya berskala sangat sederhana. Menempatkan nasi di pinggir kali belakang rumah untuk dimakan burung gereja setiap pagi, membantu orang tidak mampu semampunya, hanyalah sebagian dari hal-hal mudah dan sederhana yang secara terus menerus saya lakukan.

Lebih-lebih ketika bekerja. Seorang rekan yang menge¬tahui filosofi kerja saya pernah menyebut saya seorang sufi. Terutama, setelah mengetahui kalau saya tidak terlalu ’berhi¬tung’. Waktu presentasi yang seharusnya tiga jam melebar menjadi empat jam, dan saya tidak pernah meminta biaya tambahan. Semenjak dipercaya memimpin perusahaan, belum pernah saya mempertanyakan besarnya gaji yang diberikan. Lebih-lebih berhitung bekerja lembur di hari Sabtu atau Minggu, tidak pernah terjadi dalam catatan hidup saya. Setiap kelebihan kerja, saya anggap sebagai persem¬bahan buat Tuhan.

Ada memang orang yang merasa tersiksa dengan hidup ’mengalir’ seperti ini. Bahkan, mencontohkannya dengan sepatu yang diinjak-injak orang lain. Di sinilah letak indah- nya kehidupan. Orang yang merasa tersiksa, hidupnya menaik. Saya pun sangat mensyukuri hidup saya yang juga menaik.

Di samping itu, saya sering menempatkan rangkaian hari dalam kehidupan seperti kegiatan menabung, tindakan-tin¬dakan kecil yang tidak dikenal. Semakin tidak dikenal dan tidak diketahui orang mana pun, semakin besar nilai tabungannya bagi saya. Dan ini pun tidak bersembunyi pada hal-hal

tear’. Mematikan kran air di tempat umum, memberi tanda pada jalan yang berlubang, mengembalikan bola pada anak orang yang sedang berenang sambil bermain bola, adalah ben- luk-bentuk tabungan-tabungan kecil yang tidak dikenal. Sebagian besar bahkan tidak diakhiri oleh ucapan terima kasih. Hampir setiap malam saya membuka e-mail, dan menjemukan banyak surat yang meminta nasihat. Sahabat saya menyarankan agar mereka dikenakan biaya saja. Sampai sekarang, saran tidak saya turuti. Ada kesenangan dan keba¬hagiaan tersendiri. Kendati, karena demikian banyaknya e- mil, saya harus memprioritaskan orang-orang yang belum pernah mendapat jawaban. Ada memang yang kecewa, sebab suratnya yang ketiga maupun keempat tidak sempat I dibalas. Namun, itulah hal maksimal yang bisa dilakukan di I tengah mobilitas kerja yang sangat tinggi.

Dalam ritme kerja yang jarang cli rumah (seminggu kadang ada di empat kota), saya sering merasa berutang sama anak-anak dan anak mertua. Kendati saya tahu memanjakan mereka tidaklah terlalu mendidik, tetapi selalu disempatkan untuk menelepon setiap hari. Kerap saya bernyanyi di telepon untuk anak bungsu saya yang baru berumur tiga tahun setengah. Sampai-sampai anak yang masih berbicara cadel ini, hapal lagu Every Day I Love You yang sering saya nyanyikan di telepon.

Dan sebagaimana manusia biasa lainnya, saya pun kerap melakukan perbuatan buruk-baik disengaja maupun tidak disengaja. Di tingkat karier yang agak tinggi, godaan memang bisa datang dari mana-mana: atasan, bawahan, rekan kerja, wanita sampai dengan harta. Tidak semua godaan saya bisa lulus. Kadang terjatuh dan menyakitkan, berkata kasar, kadang memang tidak terasa. Melirik wanita cantik lebih tidak terasa lagi. Kesal dengan orang yang menyinggung perasaan itu malah sering terjadi.

Entah bagaimana kehidupan Anda, kehidupan saya mem¬bawa sensitivitas yang sangat tinggi akan segala perbuatan buruk. Lupa membawa sandal milik hotel pernah membuat saya hampir celaka. Keceplosan menghina orang lain, mem¬buat saya sempat menderita. Terbawa perasaan pada wanita lain, hampir membuat seluruh hidup saya hancur lebur.

Boleh saja psikolog menyebutnya self fulfilling prophecy. Namun, sejak kecil tubuh ini memang ditandai sensitivitas yang demikian tinggi akan perbuatan buruk. Makanya saya tidak terlalu heran membaca tulisan Thomas Jefferson yang menulis: ’kejujuran adalah bab pertama dalam buku kebijaksanaan’.


*Penulis: Gede Prama, Penerbit: PT Elex Media Komputindo



Yuk Bagikan :

Baca Juga

Doa yang Paling Sering Diucapkan Rasulullah
Kamis, 24 November 2016 10:25 WIB
Jika Anda Begini, Istri Anda Bakal Demen
Kamis, 13 Oktober 2016 10:52 WIB
Tinggi Ilmu Namun Rendah Hati
Rabu, 28 September 2016 10:29 WIB
Empat Amalan Surga Dalam Satu Hari
Selasa, 20 September 2016 14:21 WIB