Salah satu acara tetap yang diadakan oleh pengelola
site saya adalah chatting. Di antara sekian chatting’
sudah berlalu, topik yang mendatangkan
pengunjung paling banyak adalah topik ’hidup ini indah’. Sebagaimana
biasa, selalu ada pro-kontra dalam setiap wacana. Saya tidak perlu lagi
menjelaskan alasan-alasan orang yang pro terhadap
konsep hidup ini indah.
Terutama, karena sudah sangat jelas bagi saya.
Akan tetapi, tidak sedikit orang yang menganggap
saya ’melebih-lebihkan’ kenyataan tentang hidup ini indah. Secara lebih
khusus,
mereka yang kurang terhibur oleh film Italia dengan judul Life is
Beautiful.
Tulisan ini bukan
pledoi.
Hanya renungan lebih lanjut dari pemikiran saya
terdahulu tentang hidup ini indah, Mungkin saja
tuduhan orang benar, bahwa saya melebih-lebihkan. Pengalaman yang
berbeda bisa membawa kesimpulan yang berbeda juga. Di tengah pro-kontra
ini, izinkan saya memperjelas lagi argumen-argumen dahulu.
Coba cermati tempat
Anda duduk saat ini. Dengan jabatan, kesehatan, uang, serta
dukungan keluarga yang
Anda miliki saat ini-sekali lagi saat
ini. Saya tidak tahu
posisi Anda dalam hal ini. Saat
tulisan ini dibuat, ada problema dalam jabatan yang
saya duduki. Kesehatan saya lumayan bagus. Uang tergantung pembandingnya.
Dukungan keluarga saya, syukur alhamdullilah. Dan duduk di rumah di pinggir kali yang anginnya sedang
bertiup kencang.
Anda boleh
menyimpulkannya dengan indah atau tidak indah. Bagi saya pribadi, di hotel
berbintang lima plus, maupun di rumah yang berlantai tanah liat
serta beratap jerami, selalu tersembunyi keindahan dan kenikmatan. Dengan penuh
rasa syukur saya ucapkan kepada Tuhan, saya pernah
hidup di perkampungan kumuh dengan baju berceceran di lantai-karena tidak punya
lemari baju. Pernah juga hidup dalam standar orang-orang yang berpunya. Dan
yang namanya kenikmatan, dia hadir baik ketika di tempat kumuh, maupun di tempat yang disebut orang mewah.
Dalam kejernihan saya
ingin bertutur kepada Anda, di kedua tempat tadi manusia sama-sama memakan sepiring
lebih nasi dan lauknya. Tidur sekitar enam sampai delapan jam semalamnya.
Menghirup udara dengan jumlah yang tidak jauh berbeda. Kalau bepergian,
menggunakan apa pun bisa sampai di tempat tujuan. Dalam kasus diri saya, ada
sebuah tambahan yang membuatnya lebih indah lagi: hidup bersama anak mertua
yang sama, serta sejumlah anak kecil ’ yang juga sama.
Beda antara dua
kehidupan ekstrem yang pernah saya lalui hanya satu: keinginannya yang berbeda.
Dulu, karena belum pernah melewati kehidupan yang disebut orang mewah dan
megah, ada keinginan untuk sesegera mungkin sampai di sana. Sekarang, ketika
kehidupan tadi sudah sempat dilalui dan dinikmati, ada kesenangan
kadang-kadang untuk membayangkan kehidupan yang serba sederhana.
Nah, di sinilah inti
ide yang mau saya bagi kepada Anda: keinginan itu membutakan. Di tempat dan
keadaan mana pun-dari kandang kerbau sampai kamar
hotel berbintang lima plus, dari naik angkot
sampai naik Jaguar, dari mengenakan jam tangan murahan sampai memakai Rolex-orang bisa dibutakan
oleh keinginan. Tidak hanya keinginan untuk menaik yang membutakan, keinginan
untuk turun pun membutakan.
Perhatikan sejumlah keluarga yang akan berangkat berlibur.
Ketika mempersiapkan segala sesuatunya,semua pikiran tertuju pada
tujuan wisata. Entah keindahan pemandangan, makanan yang
enak, hotel yang nyaman, atau berbelanja
barang-barang kebutuhan. Tatkala sudah sampai di tempat
tujuan-lengkap dengan badan yang lelah- semua pikiran tertuju pada rumah yang
menenteramkan.
Dari lingkungan yang sudah biasa, tempat tidur yang menenteramkan, sampai
dengan tiadanya beban untuk membawa tas ke mana-mana. Anda lihat sendiri,
pikiran lengkap dengan keinginannya, sudah membutakan banyak orang. Di rumah
ketika mau berangkat membutakan kenikmatan tinggal di rumah. Di tempat wisata,
keinginan membutakan orang untuk menikmati keindahan tempat wisata.
Di pojokan lain dari kehidupan, hal
serupa sangat sering terjadi. Kenikmatan-kenikmatan hari ini, sering lewat percuma
begitu saja, semata-mata karena banyak orang sudah buta oleh keinginan. Kalau
kemudian saya mengajak orang untuk menyelami konsep ’hidup ini indah’, pada
pikiran yang dibutakan keinginan, tentu saja jauh panggang dari api.
Sebagai manusia biasa, saya pun kadang dibutakan oleh
keinginan. Setelah jadi direktur ingin jadi presiden direktur. Sesudah
anak-anak sekolah di salah satu sekolah terbaik di Jakarta, ingin agar mereka
segera ke luar negeri. Dan bila sang keinginan diikuti terus, maka buta dan
tulilah kita dari semua berkah dan rahmat Tuhan. Syukur adalah kata yang tidak pernah mampir dalam rumah jiwa kita. Tanpa rasa syukur, siapa pun dan di tingkat kehidupan yang
setinggi langit pun hidup kita pasti menderita.
Entahlah,
apakah saya sudah berhasil meyakinkan sahabat-sahabat yang masih skeptis terhadap
ide tentang hidup ini indah, atau malah membuat mereka tambah tidak percaya.
Yang jelas, kata-kata dan logika bukanlah cara yang paling tepat untuk berguru tentang kehidupan. Ia tidak lebih
dari daftar
menu saja, atau petunjuk jalan saja. Untuk sampai di sana, kita tidak bisa
hanya memandangi petunjuk jalan- Nya. Jalan dan berangkatlah ke sana. Tugas
saya memasang petunjuk jalan sudah selesai. Hanya Anda yang bisa membawa diri
Anda ke sana.
Penulis: Gede Prama, Penerbit: PT Elex Media
Komputindo