Kedamaian Memerlukan Kebebasan

abatasa | Rabu, 30 Oktober 2013 08:26 WIB | 5.888 kali
Kedamaian Memerlukan Kebebasan
Dalam kehidupan pribadi maupun pergaulan yang cukup luas, sering saya bertemu dengan kehidupan yang tidak bebas. Kondisi terakhir ini, tidak hanya monopoli orang bawah dan miskin materi. Ia juga menghinggapi kalangan atas. Bedanya cuma satu. Orang bawah terpenjara di bawah. Orang atas terpenjara di atas.

Di tengah mobil-mobil mewah, jangan pikir tidak ada orang yang merasa tidak bebas. Di rumah-rumah mahal dan berlokasi elit, jangan dikira tidak ada orang yang merasa tidak pernah menikmati kebebasan. Malah sebaliknya, secara kualitatif, orang atas memiliki ketakutan (baca: ketakutan ke­hilangan harta, dirampok, kehilangan jabatan, dan lain-lain) yang jauh lebih tinggi dibandingkan orang bawah. Maka, kehidupan mewah yang dibayangkan orang penuh ke­bebasan, ternyata sebuah penjara yang sangat menyedihkan.

Tentu bukan maksud saya untuk mempengaruhi Anda agar menakuti kekayaan materi. Namun, yang ingin saya ceritakan bukan di situ letaknya fondasi kokoh kedamaian. Dia bersembunyi pada kehidupan yang penuh kebebasan. Terutama kebebasan hati dan pikiran.

Seorang sahabat yang kebetulan sejak lahir sudah kaya secara materi, sering saya ketemu dengan wajah berkerut.

Bahkan, hampir di setiap pertemuan ia memiliki wajah berkerut tadi. Awainya, saya anggap hanya sebuah kondisi situasional semata. Namun, begitu wajahnya selalu demi­kian, kerap saya dalami, apa yang ada di balik kerutan wajahnya yang dibungkus kemewahan? Suatu ketika dia mengakui, bahwa dia sangat mengkhawatirkan masa depan­nya. Kekayaan dan kemewahan yang dia miliki sekarang semuanya hasil keringat orangtuanya. ’Kalau saja suatu waktu orangtua saya meninggal, mampukah saya memper­tahankan semua ini?’, demikian ia bertanya kepada saya.

Inilah salah satu penjara kebebasan. Penjara ini bernama penjara kekhawatiran akan masa depan. Di salah satu kesempatan duduk di rumah yang sering kali didatangi burung gereja, kerap saya berpikir. Burung gereja tidak menanam sesuatu. Tidak bersekolah sejak kecil hingga besar. Kalau burung gereja saja bernyanyi setiap hari, kena­pa kita harus menakuti masa depan? Itu baru penjara kekhawatiran akan masa depan. Ada lagi penjara yang bernama penjara gengsi dan harga diri. Banyak orang di zaman ini yang diikat keras-keras oleh penjara tersebut. Ada yang mengisi rumahnya dengan mobil dan barang-barang supermewah, bahkan berani dengan cara berutang. Ada yang membawa palm top serta perangkat canggih lainnya yang belum diperlukan. Atau, di bawah sana ada orang yang sedikit-sedikit merasa harga dirinya diinjak orang. Dilihat mukanya sebentar saja sudah membentak: ’apa lihat-lihat!?’ Tidak sedikit buruh dan pekerja yang membakar pabrik, atau melakukan demonstrasi karena hal-hal yang berbau harga diri.

Supir bus kota di Jakarta yang sebagian sangar, juga banyak berkelahi-bahkan ada yang kehilangan nyawa-karena faktor harga diri. Maka diikatlah kita keras- keras tanpa bisa bergerak oleh penjara harga diri. Orang atas membayarnya dengan uang dalam jumlah besar. Bahkan bisa menciptakan utang tidak terhitung. Orang bawah mem­bayarnya dengan kehilangan pekerjaan dan nyawa sekalian. Semua itu membuat saya bertanya, sebegitu mahalkah harga diri harus dibayar?

Dalam sebuah kesempatan, seorang sahabat yang sangat saya kagumi dituduh melakukan kesalahan. Akibat kesa­lahan itu, dia tidak hanya malu, tetapi kehilangan sebagian reputasinya di depan pemilik perusahaan. Demikian sulitnya membuktikan kesalahan, dia biarkan saja dirinya dihina dan dicaci orang. Bahkan, ada orang yang menghujatnya di depan umum. Dengan penuh keheranan, plus solidaritas teman yang mau membela saya bertanya kepadanya: ’Kenapa Anda tidak membela diri?’ Dengan enteng dia men­jawab: ’Biarkan saja!’

Setahun setelah persoalan berlalu, auditor independen dari luar melakukan kegiatannya untuk kepentingan rapal umum pemegang saham tahun berikutnya. Dan terbukalah semuanya. Singkat cerita, sahabat tadi tidak bersalah. Maka ramai-ramailah orang meminta maaf. Ketika saya tanya kenapa ekspresi mukanya biasa-biasa saja, sekali lagi dia menjawab: ’Biarkan saja!’

Awainya, saya heran betul dengan sahabat ini. Namun setelah menyelami hakikat penjara harga diri dan beleng- gunya, saya kagum. Inilah contoh sahabat yang tidak meng­izinkan dirinya dipenjara harga diri. Bukankah harga din dan gengsinya hanya sebuah pengertian yang sangat relatif;

Di samping kekhawatiran akan masa depan maupun harga diri, sebenarnya masih ada lagi penjara lain yang membelenggu kebebasan. Utang kita kepada orang yang sudah meninggal, kesalahan fatal yang pernah terjadi duk hanyalah sebagian dari penjara-penjara pikiran yang sangat potensial memperkosa kebebasan. Kemudian, membuat kita bermusuhan selamanya dengan kedamaian. Apa pun ben- tuknya, kita memerlukan usaha sengaja agar segera keluar dari sana.

Sebagaimana burung gereja yang bernyanyi setiap hari, kendati tidak pernah menanam pohon untuk masa depan. Atau sebagaimana sahabat tadi yang enteng dan ringan saja menerima hinaan dan hujatan orang lain. Di tengah luas dan kayanya pikiran, akankah Anda membiarkan diri Anda ter­penjara oleh harga diri, kekhawatiran akan masa depan dan penjara-penjara lainnya?

*Penulis: Gede Prama, Penerbit: PT Elex Media Komputindo



Yuk Bagikan :

Baca Juga

Doa yang Paling Sering Diucapkan Rasulullah
Kamis, 24 November 2016 10:25 WIB
Jika Anda Begini, Istri Anda Bakal Demen
Kamis, 13 Oktober 2016 10:52 WIB
Tinggi Ilmu Namun Rendah Hati
Rabu, 28 September 2016 10:29 WIB
Empat Amalan Surga Dalam Satu Hari
Selasa, 20 September 2016 14:21 WIB