Dalam kehidupan pribadi maupun
pergaulan yang cukup luas, sering saya bertemu dengan kehidupan yang tidak
bebas. Kondisi terakhir ini, tidak hanya monopoli orang bawah dan miskin
materi. Ia juga menghinggapi kalangan atas. Bedanya cuma satu. Orang bawah
terpenjara di bawah. Orang atas terpenjara di atas.
Di tengah
mobil-mobil mewah, jangan pikir tidak ada orang yang merasa tidak bebas. Di
rumah-rumah mahal dan berlokasi elit, jangan dikira tidak ada orang yang merasa
tidak pernah menikmati kebebasan. Malah sebaliknya, secara kualitatif, orang
atas memiliki ketakutan (baca: ketakutan kehilangan harta, dirampok,
kehilangan jabatan, dan lain-lain) yang jauh lebih tinggi dibandingkan orang
bawah. Maka, kehidupan mewah yang dibayangkan orang penuh kebebasan, ternyata
sebuah penjara yang sangat menyedihkan.
Tentu bukan
maksud saya untuk mempengaruhi Anda agar menakuti kekayaan materi. Namun, yang
ingin saya ceritakan bukan di situ letaknya fondasi kokoh
kedamaian. Dia bersembunyi pada kehidupan yang penuh kebebasan. Terutama
kebebasan hati dan pikiran.
Seorang
sahabat yang kebetulan sejak lahir sudah kaya secara materi, sering saya ketemu
dengan wajah berkerut.
Bahkan, hampir di setiap
pertemuan ia memiliki wajah berkerut tadi. Awainya, saya anggap hanya sebuah
kondisi situasional semata. Namun, begitu wajahnya selalu demikian, kerap saya
dalami, apa yang ada di balik kerutan wajahnya yang dibungkus kemewahan? Suatu
ketika dia mengakui, bahwa dia sangat mengkhawatirkan masa depannya. Kekayaan
dan kemewahan yang dia miliki sekarang semuanya hasil keringat orangtuanya.
’Kalau saja suatu waktu orangtua saya meninggal, mampukah saya mempertahankan
semua ini?’, demikian ia bertanya kepada saya.
Inilah salah
satu penjara kebebasan. Penjara ini bernama penjara kekhawatiran akan
masa
depan. Di salah satu kesempatan duduk di rumah yang sering kali
didatangi burung gereja, kerap saya berpikir. Burung gereja
tidak menanam sesuatu. Tidak bersekolah sejak kecil hingga besar. Kalau
burung
gereja saja bernyanyi setiap hari, kenapa kita harus menakuti masa
depan? Itu
baru penjara kekhawatiran akan masa depan. Ada lagi penjara yang bernama
penjara gengsi dan harga diri. Banyak orang di zaman ini yang diikat
keras-keras oleh penjara tersebut. Ada yang mengisi rumahnya dengan
mobil dan
barang-barang supermewah, bahkan berani dengan cara berutang. Ada yang
membawa palm top serta perangkat canggih lainnya yang belum diperlukan.
Atau, di bawah sana ada orang yang sedikit-sedikit merasa harga dirinya
diinjak
orang. Dilihat mukanya sebentar saja sudah membentak: ’apa
lihat-lihat!?’ Tidak
sedikit buruh dan pekerja yang membakar pabrik, atau melakukan
demonstrasi
karena hal-hal yang berbau harga diri.
Supir bus kota di Jakarta yang
sebagian sangar,
juga banyak berkelahi-bahkan ada yang kehilangan nyawa-karena faktor
harga
diri. Maka diikatlah kita keras- keras tanpa bisa bergerak oleh penjara
harga
diri. Orang atas membayarnya dengan uang dalam jumlah besar. Bahkan bisa
menciptakan utang tidak terhitung. Orang bawah membayarnya
dengan kehilangan pekerjaan dan nyawa sekalian. Semua itu membuat saya
bertanya, sebegitu mahalkah harga diri harus dibayar?
Dalam sebuah
kesempatan, seorang sahabat yang sangat saya kagumi dituduh melakukan
kesalahan. Akibat kesalahan itu, dia tidak hanya malu, tetapi kehilangan
sebagian reputasinya di depan pemilik perusahaan. Demikian sulitnya membuktikan
kesalahan, dia biarkan saja dirinya dihina dan dicaci orang. Bahkan, ada orang
yang menghujatnya di depan umum. Dengan penuh keheranan, plus solidaritas teman yang mau membela saya bertanya kepadanya:
’Kenapa Anda tidak membela diri?’ Dengan enteng dia menjawab: ’Biarkan saja!’
Setahun
setelah persoalan berlalu, auditor independen dari luar melakukan kegiatannya
untuk kepentingan rapal umum pemegang saham tahun berikutnya. Dan terbukalah
semuanya. Singkat cerita, sahabat tadi tidak bersalah. Maka ramai-ramailah
orang meminta maaf. Ketika saya tanya kenapa ekspresi mukanya biasa-biasa saja,
sekali lagi dia menjawab: ’Biarkan saja!’
Awainya, saya
heran betul dengan sahabat ini. Namun setelah menyelami hakikat penjara harga
diri dan beleng- gunya, saya kagum. Inilah contoh sahabat yang tidak mengizinkan
dirinya dipenjara harga diri. Bukankah harga din dan gengsinya hanya sebuah
pengertian yang sangat relatif;
Di samping
kekhawatiran akan masa depan maupun harga diri, sebenarnya masih ada lagi
penjara lain yang membelenggu kebebasan. Utang kita kepada orang
yang sudah meninggal, kesalahan fatal yang pernah terjadi duk
hanyalah sebagian dari penjara-penjara pikiran yang sangat potensial memperkosa
kebebasan. Kemudian, membuat kita bermusuhan selamanya dengan kedamaian. Apa
pun ben- tuknya, kita memerlukan usaha sengaja agar segera keluar dari sana.
Sebagaimana burung gereja yang bernyanyi setiap
hari, kendati tidak pernah menanam pohon untuk masa depan. Atau
sebagaimana
sahabat tadi yang enteng dan ringan saja menerima hinaan dan hujatan
orang lain. Di tengah luas dan kayanya pikiran, akankah Anda membiarkan
diri Anda terpenjara oleh harga diri, kekhawatiran akan masa depan dan
penjara-penjara lainnya?
*Penulis: Gede Prama, Penerbit: PT Elex Media
Komputindo