Kalau sejarah manusia, dibentangkan dalam
kurun waktu yang panjang dan lama, bisa jadi kebanyakan ditandai oleh siklus
menaik dan menurun. Dalam spekulasi pikiran saya, mungkin tidak ada sejarah
yang tidak ditandai siklus naik turun.
Coba perhatikan,
kebanyakan manusia lahir sebagai anak-nak lengkap dengan sifat
kekanak-kanakannya. Kemudian
tumbuh dewasa-sebagian malah sangat berkuasa, namun bagaimana pun
hebat kekuasaannya, toh harus melewati masa-masa senja yang kekanak-kanakan lagi.
Demikian juga kisah
banyak bangsa. Jepang, sebagai contoh, runtuh oleh kekalahan perang, kemudian
pelan-pelan bangkit sebagai perekonomian yang berbasiskan barang murah dan
kualitas rendah. Sekarang, sebagaimana kita tahu bersama, ia menjadi kekuatan
ekonomi yang menentukan.
Di tengah-tengah
sejarah yang by
nature ditandai oleh siklus naik turun ini, kebanyakan orang hanya menjadi
’korban tidak berdaya’. Tatkala sejarah bergerak naik, tawa, bahagia yang kerap
disertai kesombongan dan kecongkakanlah sahabatnya. Ketika sejarah bergerak
turun, kesedihan dan air mata bergelimang di mana-mana. Jarang bah-
kan sangat jarang terjadi, ada
manusia yang berhasil keluar dari perangkap naik turun
ini.
Ini yang bisa menjelaskan, kenapa banyak
bintang film/sinetron demikian cantik dan bersinar ketika masih
jaya. Namun, jangankan kecantikan, yang lebih dalam dari
penampilan
fisik pun ikut pudar bersama ketidakterkenalannya. Mereka yang demikian cepat
meninggal
ketika memasuki usia pensiun. Intinya cuma satu,
ketika kehidupan bergerak naik, jarang ada orang yang sudah mempersiapkan
diri-terutama secara kejiwaan-bahwa cepat atau lambat sang kehidupan pasti bergerak turun
Seluruh ilustrasi ini, tampak jelas bahwa
betapa lama kita manusia
membiarkan diri menjadi korban tidak berdaya dari siklus suka dan duka. Hampir
semua energi kita terkuras habis untuk naik turun bersama siklus tadi. Tidak
sedikit persoalan manusia, justru berakar dari sini: hanya siap ketika naik, tidak siap tatkala turun.
Tidak hanya Anda, sebagai manusia biasa saya
pun masih ’dipermainkan’ oleh siklus tadi-kendati lewat meningkatnya kedewasaan
dampak negatifnya semakin berkurang dan berkurang. Ada semacam kemanjaan untuk
hanya menerima pujian, dan menolak kritikan orang lain.
Ada sejenis!
kemaruk untuk hanya menerima
kesenangan, dan menolak kesedihan. Ada dorongan dari dalam, agar keluarga
menerima segala kelemahan saya, dan tidak siap menghadapi kenyataan bahwa ada
segi hidup saya yang ditolak mereka.
Setelah lama dibuat sangat lelah dengan siklus
naik turun ini, saya sedang mempelajari hidup yang melampui suka dan duka.
Banyak rekan yang ragu, kalau saya bisa melakukannya. Belum sepenuhnya berhasil
memang-karena kadang masih dipermainkan siklus tadi, namun ada banyak sekali
yang berubah dalam kehidupan saya, setelah jalan melampaui suka dan duka mulai
ditempuh. Dengan |
niat hanya untuk berbagi-tidak ada niat lain, dan bahkan kalau ada
yang mau melengkapi it’s more than
welcome- izinkan saya berbagi cerita bagaimana jalan
melampaui suka dan duka saya buka dan jalani.
Pertama,
penting sekali menyadari secara sangat dalam, kalau suka dan duka itu
pasti-sekali lagi pasti-datang silih berganti. Hanya persoalan waktu saja.
Ketika Anda berpelukan dengan rasa suka, sadari dan
ingatkan diri kalau dia akan diganti duka. Demikian juga sebaliknya. Tidak ada
satu pun makhluk Tuhan yang bisa membantahnya. Dengan kesadaran dan kesiapan
seperti ini, pengaruh siklus suka- duka bisa dikurangi dalam kadar yang cukup
menentukan. Di tingkatan yang lebih tinggi, belajarlah untuk berpelukan sama
mesranya, antara berpelukan dengan suka maupun duka.
Kedua, meminjam logika dalam Roots of Wisdom yang ditulis Hong
Yingming, manusia hidup seperti pemain teater. Ketika berpentas, aktor memiliki
martabat dan rasa bangga-lebih-lebih kalau dia dipuja. Aktingnya
mungkin bagus. Namun, ketika pertunjukan selesai, ia hanyalah orang biasa.
Demikian juga kehidupan setiap orang. Berawal dari orang biasa dan berakhir
sebagai orang biasa. Dengan menyadari akar dalam bentuk orang biasa, sehebat
apa pun siklus suka-duka, dia tidak akan bisa menghempaskan kita. Sebab,
bagaimana bisa terhempas, kalau setiap saat kita mengingatkan diri akan asal
muasal kita sebagai orang biasa. Ketiga, baik suka dan duka sebenarnya tidak
ada pada jabatan, uang maupun kejadian. Semuanya adalah hasil produksi pikiran.
Pikiranlah yang membuatnya demikian. Nah, melampaui suka-duka berarti melampaui
pikiran. Ada banyak rekan yang tidak percaya kalau pikiran bisa dilampaui.
Seolah-olah, tidak ada dunia di luar pikiran. Dalam kesederhanaan ingin saya
bertutur kepada Anda, dengan
mendalami bahwa ada suka dalam duka, dan ada duka dalam setiap suka, maka kita sudah membuat langkah
pertama menuju melampaui sang pikiran.
Kalau kehidupan diibaratkan dengan
perjalanan. Dalam kehidupan yang telah melampaui pikiran, di mana-mana tersedia
’petunjuk jalan’. Pada banyak kejadian terbukti, ada saja kekuatan yang membuat
kehidupan mengalir tanpa paksaan. Ada memang orang yang menyebut kehidupan
seperti ini seperti kaos kaki (baca: selalu diinjak). Ada juga orang yang
bahkan menyebut kehidupan seperti ini dengan kehidupan yang tercerahkan. Saya
sendiri kurang menyukai sebutan, karena dia juga output pikiran.
*Penulis: Gede Prama, Penerbit: PT Elex
Media Komputindo