Melampaui Suka dan Duka

Rabu, 01 Februari 2012 00:00 WIB | 6.959 kali
Melampaui Suka dan Duka Kalau sejarah manusia, dibentangkan dalam kurun waktu yang panjang dan lama, bisa jadi kebanyakan ditandai oleh siklus menaik dan menurun. Dalam spekulasi pikiran saya, mungkin tidak ada sejarah yang tidak ditandai siklus naik turun.

Coba perhatikan, kebanyakan manusia lahir sebagai anak-nak lengkap dengan sifat kekanak-kanakannya. Kemudian tumbuh dewasa-sebagian malah sangat berkuasa, namun bagaimana pun hebat kekuasaannya, toh harus melewati masa-masa senja yang kekanak-kanakan lagi.

Demikian juga kisah banyak bangsa. Jepang, sebagai contoh, runtuh oleh kekalahan perang, kemudian pelan-pelan bangkit sebagai perekonomian yang berbasiskan barang murah dan kualitas rendah. Sekarang, sebagaimana kita tahu bersama, ia menjadi kekuatan ekonomi yang menentukan.

Di tengah-tengah sejarah yang by nature ditandai oleh siklus naik turun ini, kebanyakan orang hanya menjadi ’korban tidak berdaya’. Tatkala sejarah bergerak naik, tawa, bahagia yang kerap disertai kesombongan dan kecongkakanlah sahabatnya. Ketika sejarah bergerak turun, kese­dihan dan air mata bergelimang di mana-mana. Jarang bah-

kan sangat jarang terjadi, ada manusia yang berhasil keluar dari perangkap naik turun ini.

Ini yang bisa menjelaskan, kenapa banyak bintang film/sinetron demikian cantik dan bersinar ketika masih jaya. Namun, jangankan kecantikan, yang lebih dalam dari penampilan fisik pun ikut pudar bersama ketidakterkenalannya. Mereka yang demikian cepat meninggal ketika memasuki usia pensiun. Intinya cuma satu, ketika kehidupan bergerak naik, jarang ada orang yang sudah mempersiapkan diri-terutama secara kejiwaan-bahwa cepat atau lambat sang kehidupan pasti bergerak turun

Seluruh ilustrasi ini, tampak jelas bahwa betapa lama kita manusia membiarkan diri menjadi korban tidak berdaya dari siklus suka dan duka. Hampir semua energi kita terkuras habis untuk naik turun bersama siklus tadi. Tidak sedikit persoalan manusia, justru berakar dari sini: hanya siap ketika naik, tidak siap tatkala turun.

Tidak hanya Anda, sebagai manusia biasa saya pun masih ’dipermainkan’ oleh siklus tadi-kendati lewat meningkatnya kedewasaan dampak negatifnya semakin berkurang dan berkurang. Ada semacam kemanjaan untuk hanya menerima pujian, dan menolak kritikan orang lain. Ada sejenis! kemaruk untuk hanya menerima kesenangan, dan menolak kesedihan. Ada dorongan dari dalam, agar keluarga menerima segala kelemahan saya, dan tidak siap menghadapi kenyataan bahwa ada segi hidup saya yang ditolak mereka.

Setelah lama dibuat sangat lelah dengan siklus naik turun ini, saya sedang mempelajari hidup yang melampui suka dan duka. Banyak rekan yang ragu, kalau saya bisa melakukannya. Belum sepenuhnya berhasil memang-kare­na kadang masih dipermainkan siklus tadi, namun ada banyak sekali yang berubah dalam kehidupan saya, setelah jalan melampaui suka dan duka mulai ditempuh. Dengan |

niat hanya untuk berbagi-tidak ada niat lain, dan bahkan kalau ada yang mau melengkapi it’s more than welcome- izinkan saya berbagi cerita bagaimana jalan melampaui suka dan duka saya buka dan jalani.

Pertama, penting sekali menyadari secara sangat dalam, kalau suka dan duka itu pasti-sekali lagi pasti-datang silih berganti. Hanya persoalan waktu saja. Ketika Anda berpelukan dengan rasa suka, sadari dan ingatkan diri kalau dia akan diganti duka. Demikian juga sebaliknya. Tidak ada satu pun makhluk Tuhan yang bisa membantahnya. Dengan kesadaran dan kesiapan seperti ini, pengaruh siklus suka- duka bisa dikurangi dalam kadar yang cukup menentukan. Di tingkatan yang lebih tinggi, belajarlah untuk berpelukan sama mesranya, antara berpelukan dengan suka maupun duka.

Kedua, meminjam logika dalam Roots of Wisdom yang di­tulis Hong Yingming, manusia hidup seperti pemain teater. Ketika berpentas, aktor memiliki martabat dan rasa bangga-lebih-lebih kalau dia dipuja. Aktingnya mungkin bagus. Namun, ketika pertunjukan selesai, ia hanyalah orang biasa. Demikian juga kehidupan setiap orang. Berawal dari orang biasa dan berakhir sebagai orang biasa. Dengan menyadari akar dalam bentuk orang biasa, sehebat apa pun siklus suka-duka, dia tidak akan bisa menghempaskan kita. Sebab, bagaimana bisa terhempas, kalau setiap saat kita mengingatkan diri akan asal muasal kita sebagai orang biasa. Ketiga, baik suka dan duka sebenarnya tidak ada pada jabatan, uang maupun kejadian. Semuanya adalah hasil produksi pikiran. Pikiranlah yang membuatnya demikian. Nah, melampaui suka-duka berarti melampaui pikiran. Ada banyak rekan yang tidak percaya kalau pikiran bisa dilam­paui. Seolah-olah, tidak ada dunia di luar pikiran. Dalam kesederhanaan ingin saya bertutur kepada Anda, dengan

mendalami bahwa ada suka dalam duka, dan ada duka dalam setiap suka, maka kita sudah membuat langkah pertama menuju melampaui sang pikiran.

Kalau kehidupan diibaratkan dengan perjalanan. Dalam kehidupan yang telah melampaui pikiran, di mana-mana tersedia ’petunjuk jalan’. Pada banyak kejadian terbukti, ada saja kekuatan yang membuat kehidupan mengalir tanpa paksaan. Ada memang orang yang menyebut kehidupan seperti ini seperti kaos kaki (baca: selalu diinjak). Ada juga orang yang bahkan menyebut kehidupan seperti ini dengan kehidupan yang tercerahkan. Saya sendiri kurang menyukai sebutan, karena dia juga output pikiran.

 

*Penulis: Gede Prama, Penerbit: PT Elex Media Komputindo



Yuk Bagikan :

Baca Juga

Doa yang Paling Sering Diucapkan Rasulullah
Kamis, 24 November 2016 10:25 WIB
Jika Anda Begini, Istri Anda Bakal Demen
Kamis, 13 Oktober 2016 10:52 WIB
Tinggi Ilmu Namun Rendah Hati
Rabu, 28 September 2016 10:29 WIB
Empat Amalan Surga Dalam Satu Hari
Selasa, 20 September 2016 14:21 WIB