Pemburu-pemburu kenikmatan. Mungkin itu sebutan yang tepat bagi orang yang hidup di zaman modern ini. Mereka yang mempercayai kapitalisme sebagai mesin pendorong peradaban, malah menyebut kenikmatan sebagai awal dari pertumbuhan dan kemajuan. Kalau tanpa kenikmatan, bukankah semuanya jadi tidak hidup dan stagnan? Demikianlah kira-kira pertanyaan awal mereka dalam melakukan pencarian.
Dari sinilah kemudian lahir setiap hari jutaan pemburu kenikmatan. Ada yang memburunya melalui jalur seks. Ada yang mencarinya melalui hobi seperti motor gede, mobil built up, main golf, rumah mewah secara sangat berlebihan. Ada yang mengejarnya melalui tangga-tangga kekuasaan. Serta masih banyak lagi yang lainnya. Digabung menjadi satu, benar kata kaum kapitalis, kenikmatanlah awal dari kemajuan dan pertumbuhan.
Bukan kapasitas saya untuk meninjau persoalan ini secara ekonomi maupun sosiologi. Sebagaimana biasa, saya mengajak Anda berefleksi atau bercermin. Bukan untuk membenarkan atau menyalahkan kehidupan seperti ini, namun untuk menarik garis merah kehidupan ke depan dari sini.
Dalam sebuah perjamuan makan malam di hotel Borobudur beberapa waktu lalu, saya bertemu es puter yang sesuai selera. Karena sudah lama tidak makan es itu, maka ada nafsu untuk memakan sepuas-puasnya. Dan lupa kalau memiliki penyakit maag. Tidak lama kemudian, penyakit maag datang menyiksa tidak kurang dari tiga hari.
Seorang sahabat bertutur tentang nasib keponakannya. Dengan latar belakang masa muda yang demikian ketat, maka begitu orangtuanya meninggal hampir semua kenikmatan—terutama kenikmatan seks—dikejarnya habis-habisan. Tidak lama kemudian, tidak hanya sekolahnya yang berantakan. Dia pun mulai kena penyakit seks yang sangat menakutkan.
Sebenarnya masih ada banyak sekali cerita sejenis dengan makna serupa. Yang jelas, segala bentuk kenikmatan yang datang dari luar—entah makanan, seks, harta dan lain-lain— memerlukan kesiapan badan dan jiwa. Di tingkat yang tepat(tidak kurang dan tidak lebih), kenikmatan dari luar tadi menjadi sahabat. Di tingkatan yang tidak tepat—apa lagi sangat berlebihan—maka dia menjadi musuh yang sangat berbahaya. Bagi Anda yang suka sekali nasi goreng, makanlah sepuluh piring. Pencinta sate kambing, makanlah seribu tusuk. Dengan semua langkah ini, bukankah neraka langsung menghadang di depan mata?
Sebagai ilustrasi lain, lihat saja sendiri, bagaimana banyak orang kaya dijebak dan dibuat menderita oleh kekayaannya. Harta yang berlimpah memproduksi ketakutan akan kehilangan yang bisa membuat insomnia. Asuransi kehidupan ’ yang menggunung membuat sejumlah orangtua mencurigai anak-anaknya. Sisa harta kehidupan yang melimpah (baca: warisan) tidak jarang membuat anak cucu pecah berantakan. Demikian juga sebaliknya. Orang yang teramat miskin juga dibuat menderita oleh kemiskinan. Kelaparan,
kekurangan gizi, penyakit hanyalah sebagian saja dari perangkap-perangkap kemiskinan yang mencelakakan.
Belajar dari sini, penting dan teramat penting untuk sesegera mungkin menemukan titik cukup dalam kehidupan. Titik ini memang tidak absolut, bisa diperdebatkan, dan berbeda dari satu orang ke orang lain. Makanya ada petanyaan yang berbunyi: when is enough enough?
Entah bagaimana Anda menemukan hidup yang cukup Bagi saya, kata kuncinya ada pada pengeluaran. Sebab. dia lebih controlable dibandingkan dengan pendapatan Dengan persentase pengeluaran yang tidak boleh lebih dan lima puluh persen dari pendapatan, siapa pun akan aman secara keuangan. Garis pembatas cukup, dalam kehidupan saya adalah setengah dari pendapatan. Sisanya, kami sisakan untuk persiapan hari depan.
Ada juga rekan yang bertanya tentang godaan untuk tidak melebihi limit lima puluh persen. Godaan sebenarnya bukan datang dari luar, tetapi seberapa cermat kita menjaga jendela-jendela’ hawa nafsu. Mata, mulut, hidung, telinga. perasaan adalah jendela-jendela hawa nafsu yang sebaiknya kita jaga secara cermat.
Sebagai ilustrasi, saya dan keluarga mengurangi untuk datang ke pameran-pameran yang barangnya tidak kami butuhkan. Ia hanya menimbulkan kebutuhan-kebutuhan baru yang membuat kami berhitung, untuk kemudian menyimpulkan bahwa uang tidak cukup. Saya mendidik diri untuk tidak membandingkan diri dengan teman maupun tetangga. Anak-anak kami didik sejak awai untuk hidup lentur. Ketika hidup naik, kita nikmati kenikmatan hidup di tingkat yang lebih tinggi. Demikian juga kalau sebaliknya, Dan yang paling penting, sesering mungkin mengatakan cukup pada jumlah uang yang kami miliki.
Awalnya memang tidak mudah. Namun, dengan sedikit kesabaran dan disiplin diri, serta komitmen bersama, sinyal- sinyal hidup secukupnya pun cukup sering datang dalam kehidupan kami.
Mirip dengan tanaman, pupuk yang terlalu banyak bisa membuat dia mati. Tidak pernah diberi pupuk juga bisa membuatnya mati. Kadar pupuk yang cukup sangatlah penting. Kita manusia juga sama. Kekayaan dan kekuasaan yang kita kejar dengan kerja sangat keras, menguras banyak energi bahkan menanggung risiko sakit sekalipun. Setelah kita peroleh ternyata hanya menciptakan racun dan petaka baru. hidup akan penuh dengan kesia-siaan, kalau setelah berlari kencang sangat jauh menghabiskan keringat, ternyata garis finishnya hanya sebuah tiang gantungan?
*Penulis: Gede Prama, Penerbit: PT Elex Media Komputindo