Sebagai orang yang kadang disebut ’gelandangan
intelektual’-alias intelektual tanpa universitas-kerap saya bertemu banyak
orang yang semangat sekali berbicara mengenai masa depan Indonesia. Ekonom,
politisi, pejabat pemerintah, pengusaha, manajer sampai orang biasa. Sebagian
dari mereka yang tahu bahwa saya orang sumber daya manusia, sering membawa
muara persoalan pada ’manusia’ Indonesia. Kemudian, bertanya kepada saya:
kira-kira bagaimana wajah Indonesia ke depan?
Asal Anda siap-siap sejak awal, kalau ide singkat ini
berasal dari seorang gelandangan. Melihat apa yang terjadi di republik
tercinta ini beberapa tahun terakhir, tampaknya mendung tebal masih akan
berlangsung beberapa tahun ke depan. Di sektor manajemen publik khususnya-dari
mana kompas Indonesia sedang diarahkan-terlalu banyak diisi oleh
manusia-manusia yang hanya mau menang dan di atas.
Ibarat sebuah pohon besar, tidak ada yang bisa berdiri
tegak dan kuat kalau hanya dibentuk oleh puncak pohon. Demikian juga bila
diandaikan dengan pertandingan sepak bola. Kejuaraan mana pun akan hancur lebur
kalau semuanya memaksa untuk menang, dan sangat tidak rela kalah.
Kembali ke pengandaian pohon beserta hakikatnya, pohon
dibentuk oleh banyak komponen. Daun, bunga, batang sampai akar. Semuanya
memiliki kontribusinya masing-masing. Namun, yang paling mulia dari semua itu
adalah akar. Diinjak, tertanam, mencari makan buat orang lain, tidak memperoleh
sinar matahari, dan di tengah seluruh ’pengorbanannya’ ini, akar rela tidak
kelihatan. Saya bertanya kepada Anda, di tingkat manajemen publik, punyakah
kita tokoh pengambil keputusan yang rela jadi akar?
Atau bila dianalogikan dengan turnamen sepak bola, di
mana pun jumlah yang kalah selalu-sekali lagi selalu- Iebih banyak dibandingkan
dengan yang menang. Nasib turnamen sebenarnya lebih banyak ditentukan oleh
yang kalah. Sebab, bagi yang menang tidak diperlukan kedewasaan dan kematangan
yang tinggi. Namun bagi yang kalah, hanya kematangan dan kedewasaan yang
memadailah yang bisa membuat mereka tersenyum, datang kepada yang menang,
menyalami dan memeluk pihak yang menang.
Dan di sektor manajemen publik kita, pernahkah kita
menyaksikan pihak-pihak yang kalah rela tersenyum dan bertepuk tangan bangga
untuk yang menang? Bukankah salah satu presiden kita datang dari persekutuan
manusia- manusia kalah? Atau sudah menjadi pemandangan umum sejak dulu, kalau
seseorang kalah-entah di ormas atau di orpol-kemudian mendinkan organisasi,
poros dan apalah namanya untuk menggembosi yang meriang?
Kalau betul salah satu fungsi intelektual adalah
menjadi kamera ’netral’ bagi masyarakat, kemudian menyampaikannya ke khalayak
publik, inilah hasil potret saya yang ingin disampaikan dalam bahasan ini.
Boleh saja ada kesan pesimistis, ragu atau bahkan mungkin dikira sentimen.
Yang jelas, dalam lautan manusia yang hanya mau menang
dan hanya mau jadi pucuk pohon, sulit dibayangkan
bisa terbangun masa depan yang cerah. Untuk
itu, mungkin ada baiknya kita melakukan reorientasi terhadap apa yang dulu
sempat disebut
achieving society oleh David Mc, Clleland. Kalau
konsep terakhir berdiri di atas ide "menghasilkan sesuatu lebih baik
dibandingkan orang/masyarakat lain",
ini sebenarnya masih relevan. Akan tetapi, fokus
berlebihan pada hasil, melupakan pentingnya unsur proses, sudah membuat wajah
Indonesia demikian babak belur.
Bagi saya proses maupun hasil berada pada tataran
prioritas yang sama tingginya. Pemimpin yang mencapai hasil dan mengabaikan proses, sama saja dengan
maling dan perampok. Demikian juga sebaliknya, proses tanpa peduli hasil, akan membuat
pemimpin seperti pertapa yang tidak pernah memutuskan.
Nah, mencermati apa yang terjadi di sektor manajemen
publik kita, ’perampok’ memang berjumlah lebih banyak dibandingkan
’pertapa’. Hasil-terutama harta dan tahta- memang telah menjadi mesin pendorong peradaban
yang sangat dahsyat. Sayangnya, tanpa pertapa, mesin terakhir cepat atau lambat
akan panas dan aus. Indonesia adalah salah satu bentuk mesin yang sudah panas.
Cirinya terlihat hampir di setiap pojokan manajemen publik. Perebutan
kekuasaan, pembongkaran skandal di mana-mana, sampai hal-hal anarkis seperti
pemboman dan pembunuhan, hanyalah sebagian kecil ciri mesin yang sudah panas.
Sebagaimana mesin sebenarnya yang lagi panas, di
sinilah kita memerlukan sejumlah langkah pendinginan. Kalau banyak orang mau
memulainya dengan tokoh sekaliber Gus Dur, Megawati, Amien Rais dan Akbar
Tanjung. Saya cenderung lebih realitistis. Menyimak apa yang sampai saat ini
terjadi, mereka yang berada pada tataran bawah, memahami kearifan akan ’akar’
secara lebih dalam.
Lihat saja, dari dulu kita ditertawakan orang Amerika.
Sebab, Amerika sudah berganti presiden sekian kali, kita masih saja sabar dengan
pemimpin yang itu-itu juga. Thailand dan Korea Selatan yang terkena krisis
terlebih dahulu, serta memiliki cadangan kekayaan alam yang jauh lebih sedikit,
sudah keluar dari krisis. Korsel bahkan lebih hebat lagi, melakukan
rekonsiliasi dengan ’musuh’ tahunannya Korea Utara. Namun, di tengah
perbandingan yang hadir di layar kaca setiap hari, hanya filosofi orang bawah
seperti akarlah yang membuat mereka
legowo menerima semua ini.
Entah serius entah
tidak, mungkin menurut orang bawah lambang negara kita adalah akar pohon, bukan
burung Garuda.
*Penulis: Gede Prama,
Penerbit: PT Elex Media Komputindo