Runtuhnya Pohon Indonesia

Rabu, 18 Januari 2012 00:00 WIB | 5.393 kali
Runtuhnya Pohon Indonesia Sebagai orang yang kadang disebut ’gelandangan intelektual’-alias intelektual tanpa universitas-kerap saya bertemu banyak orang yang semangat sekali berbicara mengenai masa depan Indonesia. Ekonom, politisi, pejabat pemerintah, pengusaha, manajer sampai orang biasa. Sebagian dari mereka yang tahu bahwa saya orang sumber daya manusia, sering membawa muara persoalan pada ’manusia’ Indone­sia. Kemudian, bertanya kepada saya: kira-kira bagaimana wajah Indonesia ke depan?

Asal Anda siap-siap sejak awal, kalau ide singkat ini ber­asal dari seorang gelandangan. Melihat apa yang terjadi di republik tercinta ini beberapa tahun terakhir, tampaknya mendung tebal masih akan berlangsung beberapa tahun ke depan. Di sektor manajemen publik khususnya-dari mana kompas Indonesia sedang diarahkan-terlalu banyak diisi oleh manusia-manusia yang hanya mau menang dan di atas.

Ibarat sebuah pohon besar, tidak ada yang bisa berdiri tegak dan kuat kalau hanya dibentuk oleh puncak pohon. Demikian juga bila diandaikan dengan pertandingan sepak bola. Kejuaraan mana pun akan hancur lebur kalau se­muanya memaksa untuk menang, dan sangat tidak rela kalah.

Kembali ke pengandaian pohon beserta hakikatnya, pohon dibentuk oleh banyak komponen. Daun, bunga, batang sampai akar. Semuanya memiliki kontribusinya ma­sing-masing. Namun, yang paling mulia dari semua itu adalah akar. Diinjak, tertanam, mencari makan buat orang lain, tidak memperoleh sinar matahari, dan di tengah selu­ruh ’pengorbanannya’ ini, akar rela tidak kelihatan. Saya bertanya kepada Anda, di tingkat manajemen publik, pun­yakah kita tokoh pengambil keputusan yang rela jadi akar?

Atau bila dianalogikan dengan turnamen sepak bola, di mana pun jumlah yang kalah selalu-sekali lagi selalu- Iebih banyak dibandingkan dengan yang menang. Nasib tur­namen sebenarnya lebih banyak ditentukan oleh yang kalah. Sebab, bagi yang menang tidak diperlukan kedewa­saan dan kematangan yang tinggi. Namun bagi yang kalah, hanya kematangan dan kedewasaan yang memadailah yang bisa membuat mereka tersenyum, datang kepada yang menang, menyalami dan memeluk pihak yang menang.

Dan di sektor manajemen publik kita, pernahkah kita menyaksikan pihak-pihak yang kalah rela tersenyum dan bertepuk tangan bangga untuk yang menang? Bukankah salah satu presiden kita datang dari persekutuan manusia- manusia kalah? Atau sudah menjadi pemandangan umum sejak dulu, kalau seseorang kalah-entah di ormas atau di orpol-kemudian mendinkan organisasi, poros dan apalah namanya untuk menggembosi yang meriang?

Kalau betul salah satu fungsi intelektual adalah menjadi kamera ’netral’ bagi masyarakat, kemudian menyampaikan­nya ke khalayak publik, inilah hasil potret saya yang ingin disampaikan dalam bahasan ini. Boleh saja ada kesan pesi­mistis, ragu atau bahkan mungkin dikira sentimen.

Yang jelas, dalam lautan manusia yang hanya mau me­nang dan hanya mau jadi pucuk pohon, sulit dibayangkan

bisa terbangun masa depan yang cerah. Untuk itu, mungkin ada baiknya kita melakukan reorientasi terhadap apa yang dulu sempat disebut achieving society oleh David Mc, Clleland. Kalau konsep terakhir berdiri di atas ide "meng­hasilkan sesuatu lebih baik dibandingkan orang/masyarakat lain", ini sebenarnya masih relevan. Akan tetapi, fokus berlebihan pada hasil, melupakan pentingnya unsur proses, sudah membuat wajah Indonesia demikian babak belur.

Bagi saya proses maupun hasil berada pada tataran prioritas yang sama tingginya. Pemimpin yang mencapai hasil dan mengabaikan proses, sama saja dengan maling dan pe­rampok. Demikian juga sebaliknya, proses tanpa peduli hasil, akan membuat pemimpin seperti pertapa yang tidak pernah memutuskan.

Nah, mencermati apa yang terjadi di sektor manajemen publik kita, ’perampok’ memang berjumlah lebih banyak dibandingkan ’pertapa’. Hasil-terutama harta dan tahta- memang telah menjadi mesin pendorong peradaban yang sangat dahsyat. Sayangnya, tanpa pertapa, mesin terakhir cepat atau lambat akan panas dan aus. Indonesia adalah salah satu bentuk mesin yang sudah panas. Cirinya terlihat hampir di setiap pojokan manajemen publik. Perebutan kekuasaan, pembongkaran skandal di mana-mana, sampai hal-hal anarkis seperti pemboman dan pembunuhan, hanyalah sebagian kecil ciri mesin yang sudah panas.

Sebagaimana mesin sebenarnya yang lagi panas, di sinilah kita memerlukan sejumlah langkah pendinginan. Kalau banyak orang mau memulainya dengan tokoh sekaliber Gus Dur, Megawati, Amien Rais dan Akbar Tanjung. Saya cenderung lebih realitistis. Menyimak apa yang sampai saat ini terjadi, mereka yang berada pada tataran bawah, memahami kearifan akan ’akar’ secara lebih dalam.

Lihat saja, dari dulu kita ditertawakan orang Amerika. Sebab, Amerika sudah berganti presiden sekian kali, kita masih saja sabar dengan pemimpin yang itu-itu juga. Thailand dan Korea Selatan yang terkena krisis terlebih dahulu, serta memiliki cadangan kekayaan alam yang jauh lebih sedikit, sudah keluar dari krisis. Korsel bahkan lebih hebat lagi, melakukan rekonsiliasi dengan ’musuh’ tahunan­nya Korea Utara. Namun, di tengah perbandingan yang hadir di layar kaca setiap hari, hanya filosofi orang bawah seperti akarlah yang membuat mereka legowo menerima semua ini.

Entah serius entah tidak, mungkin menurut orang bawah lambang negara kita adalah akar pohon, bukan burung Garuda.

 

*Penulis: Gede Prama, Penerbit: PT Elex Media Komputindo



Yuk Bagikan :

Baca Juga

Doa yang Paling Sering Diucapkan Rasulullah
Kamis, 24 November 2016 10:25 WIB
Jika Anda Begini, Istri Anda Bakal Demen
Kamis, 13 Oktober 2016 10:52 WIB
Tinggi Ilmu Namun Rendah Hati
Rabu, 28 September 2016 10:29 WIB
Empat Amalan Surga Dalam Satu Hari
Selasa, 20 September 2016 14:21 WIB