Keluar dari Ketidakpuasan

Selasa, 03 Januari 2012 00:00 WIB | 6.601 kali
Keluar dari Ketidakpuasan Sebagai atasan dari dua ribu orang, tempat bertanya dari banyak sekali orang, atau konsultan manajemen sejumlah perusahaan, ada sebuah persoalan yang sangat kerap muncul, yakni ketidakpuasan. Entah itu tidak puas pada  atasan, bawahan, pekerjaan, pasangan hidup sampai dengan anak-anak di rumah. Sinyal dan fenomenanya pun sangat beragam. Demikian juga informasi pendukungnya. Kalau boleh saya generalisasikan, hampir tidak ada orang yang tidak pernah tidak puas.

Dan mungkin Anda juga sudah tahu, apa saja hasil ikutan dari sikap tidak puas tadi. Stres dan depresi mungkin hanya sebagian saja. Banyak penyakit biologis pun bersumber dari sini. Karena tuntutan profesi, saya termasuk orang yang hampir setiap hari menerima limpahan sampah seperti ini. Sebagian berhasil saya olah jadi pupuk, sebagian lagi tetap menjadi sampah yang berbau busuk. Sebagian mengendap di saya, dan sebagian lagi tetap dibawa pemiliknya.

Izinkan saya membagi ketidakpuasan ke dalam tiga tingkatan sebab. Tingkatan pertama, orang yang memiliki masalah besar dengan dirinya sendiri. Tidak sedikit bahkan yang menyakiti dirinya seumur hidup. Tingkatan kedua adalah orang yang senantiasa membandingkan dirinya dengan orang lain yang lebih tinggi. Tingkatan ketiga adalah kehidupan tanpa pembanding.

Di tingkatan sebab yang pertama, banyak orang yang menyesali hampir semua unsur hidupnya. Dari bentuk fisik. rezeki, pekerjaan, suami/istri, atasan, bawahan, dan semua­nya. Tuhan, orangtua dan lingkungan adalah sebagian ter­dakwa dalam hal ini. Tuhan bahkan tidak pernah duduk ditempat yang benar, bagi orang-orang semacam ini.

Mereka sedang menyakiti diri dan hidupnya, karena ibarat binatang yang menggigit tubuhnya terus menerus. Semakin lama, tubuhnya (baca: sang jiwa) akan habis termakan. Persis seperti singa yang memakan ekor dan tubuhnya sendiri. Seorang sahabat psikolog bahkan pernah menun­jukkan gejala-gejalanya. Kendatipun belum teruji, orang-orang yang suka menggigit-gigit kuku, menekuk-nekuk jari. menarik-narik rambut dan sejenisnya, bisa jadi masuk ke dalam hal ini. Jika ditarik ke belakang, sebabnya memang multi kompleks. Yang jelas, tidak pernah terlambat untuk segera menoleh ke kehidupan yang lain. Meminjam logikanya Carl Rogers, saya kerap menggiring orang seperti ini dengan pertanyaan-pertanyaan reflektif. Terutama agar ia keluar dari tempurung ketidakpuasannya.

Tingkatan ketidakpuasan yang kedua, adalah orang yang suka membandingkan dirinya dengan orang yang lebih tinggi, Populasi stres dan depresi-menurut pengalaman saya-lebih banyak dihuni oleh manusia-manusia jenis ini. Melihat tetangga, menganggap bahwa mereka rezekinya lebih bagus diban­dingkan dirinya. Melihat atasan, ia merasa lebih jelek diban­dingkan atasan terdahulu, atau dibandingkan atasan orang lain.

Mencermati isteri, ia kurang lembut dan keibuan diban­dingkan isteri tetangga. Mengamati pemilik perusahaan, ia merasa pemilik sekarang lebih pelit dibandingkan pemilik terdahulu.

Maka  jadilah sebuah kehidupan yang senantiasa terasa di tempat yang rendah. Padahal, di bagian yang lebih rendah lagi masih ada orang yang hidup namun lebih bahagia.

Berkaitan dengan ini, seorang sahabat saya punya sebuah cerita menarik. Seorang petani yang memiliki rumah sempit merasa tersiksa tinggal di rumahnya. Sebab, di sana hidup juga seorang isteri, tiga orang anak, serta empat keponakan. Dan mengeluhlah dia ke seorang pemuka agama akan sumpeknya tinggal di rumah. Menurut pengakuan orang ini, rumahnya seperti neraka. Sambil mencium kaki, orang ini minta agar diberi jalan keluar, plus berjanji menuruti apa saja nasihat sang pemuka tadi.

Dengan ekspresi yang sabar, pemuka agama ini bertanya: punyakah kamu binatang peliharaan? ’Punya’, jawabnya mantap, sambil menambahkan ada dua ekor sapi, tiga ekor kerbau sertaa enam ekor itik. Menyadari keadaan, kemudian sang pemuka memerintahkan agar petani tadi memasukkan semua binatang peliharaan ke dalam rumahnya selama dua minggu. Merasa sudah berjanji untuk menuruti apa saja yang dinasihatkan, maka kembalilah dia ke rumah ditemani rasa heran dan jengkel. Dan dua minggu berikutnya tentu saja ia melapor lagi sambil mengeluh kesedihan: ’rumah saya lebih buruk dari neraka terburuk yang pernah saya bayangkan’. Akhirnya, pemuka agama menyarankan agar semua binatang dikeluarkan dari rumah, dan setelah itu melapor bagaimana perasaannya. Beberapa jam kemudian sang petani lari kegirangan sambil berteriak: ’rumah saya sudah jadi surga!’ Moral cerita ini, menurut saya, kebahagiaan maupun kesedihan sangat dan sangat dominan sekali diwarnai oleh dengan apa dan siapa kita membandingkan hidup dan diri kita. Kejadiannya sering kali sama (dalam kasus petani tadi adalah rumah yang sama), namun begitu pembandingnya berbeda, maka berbedalah kesimpulan kita.

Di tingkatan yang lebih tinggi, ada orang yang bisa sampai dalam kehidupan tanpa pembanding. Pada tingkatan ini. saya adalah saya, Anda adalah Anda. Rezeki saya adalah rezeki saya, rezeki Anda adalah rezeki Anda. Tempat kerja saya adalah tempat kerja saya. Tempat kerja Anda adalah tempat kerja Anda. Isteri saya adalah isteri saya, dan isteri Anda adalah isteri Anda. Semuanya tidak layak dibanding­kan. Orang-orang ini sudah sangat jarang dikunjungi oleh ketidakpuasan. Bahkan lebih sering bersahabatkan keda­maian. Tidak mudah tentunya untuk sampai di sana. Sudahkah Anda sampai di sana?

 
*Penulis: Gede Prama, Penerbit: PT Elex Media Komputindo



Yuk Bagikan :

Baca Juga

Doa yang Paling Sering Diucapkan Rasulullah
Kamis, 24 November 2016 10:25 WIB
Jika Anda Begini, Istri Anda Bakal Demen
Kamis, 13 Oktober 2016 10:52 WIB
Tinggi Ilmu Namun Rendah Hati
Rabu, 28 September 2016 10:29 WIB
Empat Amalan Surga Dalam Satu Hari
Selasa, 20 September 2016 14:21 WIB