Sebagai atasan dari
dua ribu orang, tempat bertanya dari banyak sekali orang, atau konsultan
manajemen sejumlah perusahaan, ada sebuah persoalan yang sangat kerap muncul, yakni ketidakpuasan. Entah itu tidak puas
pada atasan, bawahan, pekerjaan, pasangan hidup sampai dengan anak-anak di
rumah. Sinyal dan fenomenanya pun sangat beragam. Demikian juga informasi
pendukungnya. Kalau boleh saya generalisasikan, hampir
tidak ada orang yang tidak pernah tidak puas.
Dan
mungkin Anda juga sudah tahu, apa saja hasil ikutan dari sikap tidak puas tadi.
Stres dan depresi mungkin hanya sebagian saja. Banyak penyakit biologis pun
bersumber dari sini. Karena tuntutan profesi, saya termasuk orang yang hampir
setiap hari menerima limpahan sampah seperti ini. Sebagian berhasil saya olah
jadi pupuk, sebagian lagi tetap menjadi sampah yang berbau
busuk. Sebagian mengendap di saya, dan sebagian lagi
tetap dibawa pemiliknya.
Izinkan
saya membagi ketidakpuasan ke dalam tiga tingkatan sebab. Tingkatan pertama, orang yang memiliki masalah
besar dengan dirinya sendiri. Tidak sedikit bahkan yang menyakiti dirinya seumur hidup. Tingkatan kedua adalah orang yang senantiasa membandingkan
dirinya dengan orang lain yang lebih tinggi. Tingkatan ketiga adalah kehidupan tanpa pembanding.
Di
tingkatan sebab yang pertama, banyak orang yang menyesali hampir semua unsur
hidupnya. Dari bentuk fisik. rezeki, pekerjaan, suami/istri, atasan,
bawahan, dan semuanya. Tuhan, orangtua dan lingkungan adalah sebagian terdakwa
dalam hal ini. Tuhan bahkan tidak pernah duduk ditempat yang benar, bagi
orang-orang semacam ini.
Mereka
sedang menyakiti diri dan hidupnya, karena ibarat binatang yang menggigit
tubuhnya terus menerus. Semakin lama, tubuhnya (baca: sang jiwa) akan habis
termakan. Persis seperti singa yang memakan ekor dan tubuhnya
sendiri. Seorang sahabat psikolog bahkan pernah menunjukkan gejala-gejalanya.
Kendatipun belum teruji, orang-orang
yang suka menggigit-gigit kuku, menekuk-nekuk
jari. menarik-narik rambut dan sejenisnya, bisa jadi masuk ke dalam hal ini.
Jika ditarik ke belakang, sebabnya memang multi kompleks. Yang jelas, tidak
pernah terlambat untuk segera menoleh ke kehidupan yang lain. Meminjam
logikanya Carl Rogers, saya
kerap menggiring orang seperti ini dengan pertanyaan-pertanyaan reflektif.
Terutama agar ia keluar dari tempurung ketidakpuasannya.
Tingkatan
ketidakpuasan yang kedua, adalah orang yang suka membandingkan dirinya dengan
orang yang lebih tinggi, Populasi stres dan depresi-menurut pengalaman
saya-lebih banyak dihuni oleh manusia-manusia jenis ini.
Melihat tetangga, menganggap bahwa mereka rezekinya
lebih bagus dibandingkan dirinya. Melihat atasan, ia merasa lebih jelek dibandingkan
atasan terdahulu, atau dibandingkan atasan orang lain.
Mencermati
isteri, ia kurang lembut dan keibuan dibandingkan isteri tetangga. Mengamati
pemilik perusahaan, ia merasa pemilik sekarang lebih pelit dibandingkan pemilik
terdahulu.
Maka jadilah
sebuah kehidupan yang senantiasa terasa di tempat yang rendah. Padahal, di
bagian yang lebih rendah lagi masih ada orang yang hidup namun lebih bahagia.
Berkaitan dengan ini,
seorang sahabat saya punya sebuah
cerita menarik. Seorang petani yang
memiliki rumah sempit merasa tersiksa tinggal di rumahnya.
Sebab, di sana hidup juga seorang isteri, tiga orang
anak, serta empat keponakan. Dan mengeluhlah dia
ke seorang pemuka agama akan sumpeknya tinggal di
rumah. Menurut pengakuan orang ini, rumahnya seperti neraka. Sambil mencium kaki, orang ini minta agar
diberi jalan keluar, plus berjanji menuruti apa saja
nasihat sang pemuka tadi.
Dengan
ekspresi yang sabar, pemuka agama ini bertanya: punyakah kamu binatang peliharaan? ’Punya’, jawabnya
mantap, sambil menambahkan ada dua ekor sapi, tiga ekor
kerbau sertaa enam ekor itik. Menyadari keadaan, kemudian sang pemuka
memerintahkan agar petani tadi memasukkan semua binatang peliharaan ke dalam rumahnya selama dua minggu. Merasa sudah
berjanji untuk menuruti apa saja yang dinasihatkan,
maka kembalilah dia ke rumah ditemani rasa heran dan jengkel. Dan dua minggu berikutnya tentu
saja ia melapor lagi sambil
mengeluh kesedihan: ’rumah saya lebih buruk dari neraka terburuk yang pernah saya bayangkan’. Akhirnya,
pemuka agama menyarankan agar semua binatang dikeluarkan dari rumah, dan
setelah itu melapor bagaimana perasaannya. Beberapa jam kemudian sang petani
lari kegirangan sambil berteriak: ’rumah saya sudah jadi surga!’ Moral cerita ini, menurut saya, kebahagiaan
maupun kesedihan sangat dan sangat dominan sekali
diwarnai oleh dengan apa dan siapa kita membandingkan hidup dan diri kita.
Kejadiannya sering kali sama (dalam kasus petani
tadi adalah rumah yang sama), namun begitu pembandingnya berbeda, maka
berbedalah kesimpulan kita.
Di tingkatan yang lebih tinggi, ada orang yang bisa sampai dalam kehidupan tanpa pembanding. Pada
tingkatan ini. saya adalah saya, Anda adalah Anda. Rezeki saya adalah rezeki
saya, rezeki Anda adalah rezeki Anda. Tempat kerja
saya adalah tempat kerja saya. Tempat kerja Anda adalah tempat kerja Anda.
Isteri saya adalah isteri saya, dan isteri Anda adalah isteri Anda. Semuanya
tidak layak dibandingkan. Orang-orang ini sudah sangat jarang dikunjungi oleh
ketidakpuasan. Bahkan lebih sering bersahabatkan kedamaian. Tidak mudah
tentunya untuk sampai di sana. Sudahkah Anda sampai di sana?
*Penulis:
Gede Prama, Penerbit: PT Elex Media Komputindo