Seorang pembaca setia kolom ini dari Surabaya pernah mengirim
e-mail ke saya. Dengan imajinasinya, ia bertanya tentang kemungkinan
terciptanya masyarakat tanpa peme- rintah. Di mana isinya hanya manusia-manusia
yang saling mencintai dan menyayangi. Sehingga, kita tidak lagi membutuhkan
pelindung dan penjaga tatanan yang bernama pemerintah.
Wah, betapa indah dan nikmatnya kalau ada kehidupan yang
sedamai dan setenteram imajinasi rekan tadi. Sayang- nya, sampai dengan
perjalanan manusia saat ini, kehidupan seperti itu memang belum pernah tercipta. Namun, sebagai mimpi dan imajinasi, tentu
sahabat tadi tidak salah. Bahkan, bisa menjadi stimulator renungan saya pada
tulisan kali ini.
Dengan bersahabatkan kejernihan,
masalah dan ketidak-tenteraman sebenarnya tidak
bersumber pada hal-hal yang jauh. Ia bersumber di sini: dari diri kita sendiri.
Coba tinggalkan rumah yang biasanya dibuat riuh oleh segudang masalah: tidak
cocok, tidak disiplin, kurang bersih, kurang bisa mengerti sampai dengan
pembantu yang tidak jujur. Dan intip rumah kita dari jauh. Bukankah semua
persoalan hilang semua ketika kita tidak ada? Atau datang ke kantor di tengah malam ketika tidak ada orang, bukankah masalah berkurang dalam jumlah yang
sangat banyak?
Ini semua berarti, kita
semualah yang menjadi pencipta persoalan. Kalau sahabat di
atas, mencarinya di orang lain (sebagai contoh pemerintah),
tentu saja salah alamat. Sama dengan jari tangan yang menunjuk ke pihak lain. Satu jari menunjuk orang, satu jari netral, dan tiga jari
(mayoritas menunjuk ke diri kita sendiri. Sekarang mari kita cermati, tingkatan
yang mana konflik dan ketidaktenteraman itu muncul.
Izinkan
saya membagi manusia ke dalam dua
bagian kesejatian dan peran (label). Pada saat kita baru lahir, kita datang dengan kesejatian.
Badan telanjang, jiwa yang bersih tangis yang melengking, semuanya tanpa label dan peran Nama, jabatan, kekayaan, keterkenalan, pendidikan
datang kemudian setelah kita memasuki dunia peran dan label
Dalam kesejatian, kita sebenarnya tidak memerlukan
terlalu banyak hal. Makan sepiring, minum beberapa gelas tidur pun-dalam
pikiran yang penuh kesejatian-sebenarnya mudah. Demikian juga dengan
ketenteraman dan kedamaian. Ia bukan barang mewah dan mahal.
Akan tetapi, semua ini menjadi mahal dan tidak
pernah terbeli oleh siapa pun, ketika manusia memasuki dunia peran dan label. Inilah dunia yang penuh atribut dan tuntutan. Pendidikan,
jabatan, keterkenalan, harta, pujian hanyalah serangkaian atribut yang jika
diikuti terus kemauannya membuat kita seperti berkejaran
dengan bayangan sendiri. Alias lelah, namun tidak pernah sampai di tempat
tujuan.
Jika ada orang yang kehilangan jabatan, kemudian shod berat. Masalahnya bukan pada jabatan yang hilang
tersebut tetapi mengapa dia mengidentikkan dirinya pada jabatan tadi. Bila ada
orang yang biasa naik mercedes, kemudian terpaksa naik angkot, dan minder berat dengan keterpakasaan terakhir. Sebabnya, tentu saja bukan mercedes maupun
angkot, namun kenapa ia mengidentikkan percaya dirinya dengan mobil mewah.
Demikian juga orang yang seluruh hidupnya ditandai penyesalan, karena tidak
memiliki gelar akademis. Sekali lagi pertanyaannya, siapa yang menyuruh dia
mengaitkan percaya diri dan pendidikan?
Dengan penjelasan lain, masalah
dan ketidaktenteraman sebenarnya hanya ada di tingkat peran dan label. Dalam kesejatian, masalah itu hampir tidak ada. Secara
lebih khusus, kalau kita sudah demikian terikatnya dengan label- label tadi.
Sebut saja label sukses, siapakah yang memberi label demikian? Atau peran sebagai pimpinan puncak perusahaan,
tidakkah ia adalah sebutan orang yang ada kalanya datang, dan ada saatnya
pergi? Keduanya di sam- ping datang dan pergi secara tidak permanen, juga
datang dari pihak luar yang notabene bukan kesejatian kita sendiri.
Kembali ke pertanyaan sahabat di awal
tentang hidup damai penuh ketenteraman, sejauh kita bisa melepaskan diri dari label dan peran, siapa pun pemerintah dan presidennya,
sebenarnya kedamaian bukanlah sesuatu yang terlalu sulit untuk dicapai.
Sayangnya, lingkungan sosial tempat kita hidup, sangat dan sangat terikat
dengan label. Rumah mewah, mobil mentereng, penampilan ngejreng, jabatan yang tinggi, sebutan sukses dari orang lain, hanyalah sebagian saja dari label-label yang sudah
demikian mengikat pikiran dan jiwa. Demikian terikatnya, sampai-sampai begitu
semua ini pergi, seluruh kesejatian diri pun ikut hilang. Maka bertaburanlah
penderitaan dan ketidakdamaian di mana-mana.
Dalam keadaan demikian, siapa pun pemerintahnya, seberapa
hebat pun presidennya, tetap tidak berdaya dalam menciptakan kehidupan yang
penuh kedamaian. Jadi saya menghargai sekali imajinasi seorang pembaca dari
Surabaya, yang mengimajinasikan
kehidupan damai tanpa pemerintah. Namun, jauh lebih penting dan peran pemerintah, keberanian kita untuk membuang label sangat
menentukan terhadap terealisasinya imajinasi tadi.
Dengan
kesadaran seperti ini, kendati di kantor saya memiliki sekitar dua ribu orang
anak buah, di jalan ditemani supir, ketika jadi pembicara publik kerap
diberikan pujian, tulisan saya juga kadang dihormati orang. Akan
tetapi di rumah saya belajar untuk membuang semua label ini. Celana pendek dan baju kaos yang sebagian rombeng, kaki yang
sering tidak memakai alas,
rambut yang tidak disisir tangan yang kotor oleh
tanah karena cinta tanaman, atau kesenangan untuk
mengobrol dengan satpam, tukang ojek tukang kebun dan orang bawah lainnya. Semuanya
ditujukan untuk membuang label. Sebab,
cepat atau lambat, si tidak suka, semua label akan
lari entah ke mana.
*Penulis: Gede Prama,
Penerbit: PT Elex Media Komputindo