Berpelukan Mesra dengan Kesedihan

Rabu, 13 November 2013 01:06 WIB | 12.031 kali
Berpelukan Mesra dengan Kesedihan
Kalau boleh memilih, ada banyak sekali manusia yang hanya mau kebahagiaan, dan membuang kesedihan. Itu juga terjadi dalam kehidupan saya dalam waktu yang lama. Saya pernah kehilangan seorang ayah yang sudah sampai di tingkat unconditional love. Seorang sahabat-sekaligus pemilik perusahaan-meninggal ketika kami sudah bisa berkomunikasi dari hati ke hati.

Ibu mertua yang tidak per­nah memarahi saya, bahkan selalu membela saya ketika ada konflik dengan isteri-padahal waktu pacaran dengan puteri beliau, saya tergolong anak nakal-meninggal ketika kami sekeluarga belum sempat membahagiakannya. Dan ada banyak lagi kejadian hidup yang pernah membawa saya pada sungai kesedihan yang panjang dan dalam. Mungkin akan ada lagi kejadian-kejadian serupa di masa yang akan datang.

Sayangnya, sebagaimana alam yang mengenal siklus, kehi­dupan manusia pun mengenal siklus. Kesedihan dan keba­hagiaan adalah salah satu dari banyak siklus yang harus kita lalui. Seorang sahabat saya ditimpa kesedihan yang lama dan panjang, ditinggal suaminya beristerikan orang lain. Seorang pembaca kolom ini mengirim e-mail ke saya, kalau dia di­buat tersiksa oleh kekasihnya. Beberapa pengunjung yang rajin mengunjungi web site saya, tidak sedikit mengirim berita kesedihan, dan meminta jalan keluar segera.

Digabung menjadi satu, tidak ada kehidupan yang tidak diwarnai oleh kesedihan. Diundang maupun tidak, ia akan senantiasa datang. Banyak kejadian bahkan terbukti, semakin ia dibenci dan ditakuti, semakin ia senang dan rajn berkunjung ke diri kita. Maka, sengsaralah hidup mereka yang membenci kesedihan.

Kahlil Gibran pernah menulis cantik tentang hakikat kesenangan dan kesedihan. Menurut penulis sufi ini, kesenangan adalah kesedihan yang terbuka kedoknya. Tawa serta airmata datang dari sumber air yang sama. Lebih dari itu, semakin dalam kesedihan menggoreskan luka ke dalam jiwa, maka semakin mampu sang jiwa menampung kebahagiaan.

Bercermin dari goresan indah Kahlil Gibran ini, rupanya kesedihan dan kebahagiaan adalah dua saudara kembar yang melakukan kegiatannya secara bergantian Keserakahan, atau sebaliknya kekhusukan doa manusia mana pun tidak akan bisa membuat dua saudara kembar ini berpisah. Ia seperti dua sayap dari seekor burung. Dibuangnya salah satu sayap, adalah awal dari celakanya ’burung’ kehidupan.

Dalam pengandaian yang lain. Coba perhatikan lambing-lambang tawa dan bahagia. Piala kemenangan sebagai contoh. Bukankah ia melalui proses pembakaran dan pembentukan yang sangat menyakitkan? Seruling penghibur telinga sebagai contoh lain. Dibuat dari bambu yang rela dirinya dipotong-potong? Anak yang berhasil menjadi kebanggaan orangtua. Ia telah mengkonsumsi energi kesabaran yang demikian lama dan melelahkan?

Dari semua contoh ini, tawa ternyata semuanya dibangun p di atas pundi-pundi air mata. Demikian juga sebaliknya Kahlil Gibran bahkan sampai dalam pemahaman yang lebih dalam. Tanpa kesedihan, jiwa yang mana pun tidak akan memiliki daya tampung yang besar terhadap kebahagiaan. Dalam pengandaian yang lain, manusia memang sedang diikat kakinya di tengah-tengah sebuah timbangan. Di sebe­lah kanan ada kebahagiaan, dan di sebelah kiri ada kese­dihan. Semakin keras kaki sebelah kanan disentakkan, semakin besar tarikan timbangan di sebelah kiri. Ini yang terjadi dalam kehidupan banyak orang yang ’serakah’ de­ngan kebahagiaan. Semua orang-termasuk saya kalau mau jujur-memang ingin berat di sebelah kanan. Sayangnya, bertentangan dengan hakikat dasar kesenangan dan kesedihan. Dalam bahasa Kahlil Gibran, ketika kita bercengkerama dengan kebahagiaan di ruang tamu, kesedihan sedang menunggu di pembaringan.

Persoalannya kemudian, punyakah kita cukup keberanian dan kesabaran untuk berpelukan mesra dengan kesedihan? Nah, inilah sebuah kualitas pribadi yang dimiliki oleh sangat sedikit orang. Untuk menerima kebahagiaan, kita tidak memerlukan terlalu banyak kedewasaan. Akan tetapi, untuk berpelukan mesra dengan kesedihan, diperlukan kearifan dan kedewasaan yang mengagumkan.

Saya pernah bertemu dengan segelintir manusia yang sudah sampai pada kualitas kearifan dan kedewasaan terakhir. Seorang guru meditasi, pendeta Buddha, kiai sampai dengan seorang pastur. Entah benar entah tidak kesimpulan saya ini, yang membawa mereka pada kualitas yang menga­gumkan ini justru kesedihan.

Dari orang-orang terakhir saya belajar, kesedihan telah menjadi tangga kedewasaan, kearifan dan kedamaian yang sangat mengagumkan. Sama mengagumkannya dengan akar pohon. Ia diinjak, tertanam di tanah, tidak kelihatan, men­cari makan buat pihak lain, namun nasib buah, bunga, daun, dan batang tergantung pada ketekunan sang akar.

Bukankah kesedihan juga demikian? Membawa manusia ke tangga yang sangat tinggi, namun pada saat yang sama dibenci dan ditakuti.                                                                                

Ada memang orang yang menyebut bahwa kesenang lebih berharga dari kebahagiaan. Ada juga yang mengatakan bahwa kesedihan lebih mulia dari kebahagiaan. Kahlil Gibran menyimpulkan bahwa keduanya tidak terpisahkan. Semua kesimpulan ini sah-sah saja. Saya sedang belajar mendidik diri untuk memeluk kesedihan sama mesranya dengan memeluk kebahagiaan. Doakan saja agar saya berhasil melakukannya.

*Penulis: Gede Prama, Penerbit: PT Elex Media Komputindo


Yuk Bagikan :

Baca Juga

Doa yang Paling Sering Diucapkan Rasulullah
Kamis, 24 November 2016 10:25 WIB
Jika Anda Begini, Istri Anda Bakal Demen
Kamis, 13 Oktober 2016 10:52 WIB
Tinggi Ilmu Namun Rendah Hati
Rabu, 28 September 2016 10:29 WIB
Empat Amalan Surga Dalam Satu Hari
Selasa, 20 September 2016 14:21 WIB