Kalau boleh memilih, ada banyak sekali manusia yang
hanya mau kebahagiaan, dan membuang kesedihan. Itu juga terjadi dalam kehidupan
saya dalam waktu yang lama. Saya pernah kehilangan seorang ayah yang sudah
sampai di tingkat unconditional love.
Seorang sahabat-sekaligus pemilik perusahaan-meninggal
ketika kami sudah bisa berkomunikasi dari hati ke hati.
Ibu mertua yang tidak
pernah memarahi saya, bahkan selalu membela saya ketika ada konflik dengan
isteri-padahal waktu pacaran dengan puteri beliau, saya tergolong anak
nakal-meninggal ketika kami sekeluarga belum sempat membahagiakannya. Dan ada
banyak lagi kejadian hidup yang pernah membawa saya pada sungai kesedihan yang
panjang dan dalam. Mungkin akan ada lagi kejadian-kejadian serupa di masa yang akan datang.
Sayangnya, sebagaimana alam yang
mengenal siklus, kehidupan manusia pun mengenal siklus. Kesedihan dan kebahagiaan
adalah salah satu dari banyak siklus yang harus kita lalui. Seorang sahabat
saya ditimpa kesedihan yang lama dan panjang, ditinggal suaminya beristerikan
orang lain. Seorang
pembaca kolom ini mengirim e-mail ke saya, kalau dia dibuat tersiksa oleh
kekasihnya. Beberapa pengunjung yang rajin mengunjungi web site saya, tidak sedikit mengirim berita kesedihan, dan meminta jalan keluar segera.
Digabung menjadi satu, tidak ada
kehidupan yang tidak
diwarnai oleh kesedihan. Diundang maupun tidak, ia akan senantiasa datang.
Banyak kejadian bahkan terbukti, semakin ia dibenci dan ditakuti, semakin ia senang dan rajn berkunjung ke
diri kita. Maka, sengsaralah hidup mereka yang membenci kesedihan.
Kahlil Gibran pernah menulis
cantik tentang hakikat kesenangan dan kesedihan. Menurut penulis sufi ini, kesenangan adalah kesedihan yang
terbuka kedoknya. Tawa serta airmata datang dari sumber air yang sama. Lebih dari itu, semakin dalam kesedihan
menggoreskan luka ke dalam jiwa, maka semakin mampu sang jiwa menampung kebahagiaan.
Bercermin dari goresan indah
Kahlil Gibran ini, rupanya kesedihan dan kebahagiaan adalah dua saudara kembar yang melakukan kegiatannya
secara bergantian Keserakahan, atau sebaliknya kekhusukan doa manusia mana pun tidak akan bisa membuat
dua saudara kembar ini berpisah. Ia seperti dua sayap dari seekor burung. Dibuangnya salah satu sayap, adalah awal dari celakanya ’burung’ kehidupan.
Dalam
pengandaian yang lain. Coba perhatikan lambing-lambang tawa dan bahagia. Piala kemenangan sebagai contoh. Bukankah ia
melalui proses pembakaran dan pembentukan yang sangat menyakitkan? Seruling penghibur telinga sebagai contoh lain. Dibuat dari bambu
yang rela dirinya dipotong-potong? Anak yang berhasil menjadi kebanggaan orangtua. Ia telah
mengkonsumsi energi kesabaran yang
demikian lama dan melelahkan?
Dari semua contoh ini, tawa ternyata
semuanya dibangun p di atas pundi-pundi air mata. Demikian juga sebaliknya
Kahlil Gibran bahkan sampai dalam pemahaman yang lebih dalam. Tanpa kesedihan, jiwa yang mana pun tidak
akan memiliki daya tampung yang besar terhadap kebahagiaan. Dalam pengandaian yang lain, manusia memang
sedang diikat kakinya di tengah-tengah sebuah timbangan. Di sebelah kanan ada
kebahagiaan, dan di sebelah kiri ada kesedihan. Semakin keras kaki sebelah
kanan disentakkan, semakin besar tarikan timbangan di sebelah kiri. Ini yang
terjadi dalam kehidupan banyak orang yang ’serakah’ dengan kebahagiaan. Semua
orang-termasuk saya kalau mau jujur-memang ingin berat di sebelah kanan. Sayangnya, bertentangan dengan
hakikat dasar kesenangan dan kesedihan. Dalam bahasa Kahlil Gibran,
ketika kita bercengkerama dengan kebahagiaan di ruang tamu, kesedihan
sedang menunggu
di pembaringan.
Persoalannya kemudian, punyakah kita
cukup keberanian dan kesabaran untuk berpelukan mesra dengan kesedihan? Nah, inilah sebuah
kualitas pribadi yang dimiliki oleh sangat sedikit orang. Untuk menerima kebahagiaan, kita
tidak memerlukan
terlalu banyak kedewasaan. Akan tetapi, untuk berpelukan mesra dengan kesedihan, diperlukan
kearifan dan kedewasaan
yang mengagumkan.
Saya pernah bertemu dengan segelintir manusia yang sudah sampai pada kualitas
kearifan dan kedewasaan terakhir. Seorang guru meditasi, pendeta Buddha, kiai sampai dengan seorang pastur. Entah benar entah tidak kesimpulan saya ini, yang
membawa mereka pada kualitas yang mengagumkan ini justru kesedihan.
Dari orang-orang terakhir saya belajar,
kesedihan telah menjadi tangga kedewasaan, kearifan dan kedamaian yang sangat
mengagumkan. Sama mengagumkannya dengan akar pohon. Ia diinjak, tertanam di tanah,
tidak kelihatan, mencari makan buat pihak lain, namun nasib buah, bunga, daun, dan batang
tergantung pada ketekunan sang akar.
Bukankah kesedihan juga demikian? Membawa
manusia ke tangga yang sangat tinggi, namun pada saat yang sama dibenci dan ditakuti.
Ada memang orang yang menyebut
bahwa kesenang lebih berharga dari kebahagiaan. Ada juga yang mengatakan bahwa kesedihan lebih
mulia dari kebahagiaan. Kahlil
Gibran menyimpulkan
bahwa keduanya tidak terpisahkan. Semua kesimpulan ini sah-sah saja. Saya sedang belajar mendidik diri untuk
memeluk kesedihan sama mesranya dengan memeluk kebahagiaan. Doakan saja agar saya berhasil melakukannya.
*Penulis: Gede Prama, Penerbit: PT
Elex Media Komputindo