Terbanglah Seperti Burung

Minggu, 18 Desember 2011 00:00 WIB | 7.735 kali
Terbanglah Seperti Burung

Ada seorang sahabat pernah bertutur, alam memberikan banyak sekali sinyal-sinyal kearifan. Bagi saya, lebih dari sekadar sinyal-sinyal kearifan. Alam adalah kearifan itu sendiri. Lihatlah matahari, yang bangun di pagi hari dengan sangat rajin, dan menyinari siapa saja tanpa pandang bulu. Bumi, ia tidak saja diinjak dan dibongkar kekayaannya, tetapi tidak pernah keluar dari hukum memberi, memberi dan memberi. Laut, tidak saja menaungi ribuan kehidupan, tetapi juga menerima saja apa yang dialirkan kepadanya. Hutan, lebih dari sekadar kumpulan pohon-pohon besar, melainkan juga sebagai payung. Banyak sekali kehidupan di sana. Udara, memang tidak kelihatan, tetapi tanpa udara semua manusia dan kehidupan bakal musnah.

Ini menyangkut aspek-aspek alam yang relatif tidak ber­gerak, yang bergerak juga sama saja. Kupu-kupu yang hinggap di bunga, tidak hanya mengambil sari bunga, tetapi juga menghadirkan keindahan. Anjing yang menggonggong tidak saja menjaga rumah sang tuan, tetapi juga berlari ke sana ke mari melambangkan kegembiraan. Burung yang terbang bebas ke mana-mana, tidak hanya melambangkan kebe­basan, tetapi juga lambang rasa syukur terhadap pencipta yang sangat mendalam. Karena dengan sayapnya ia bis j pergi ke mana-mana.

Di tengah bahan-bahan refleksi seperti ini, kadang saya bertanya, kalau bumi, matahari, laut dan kupu-kupu masing-masing menghadirkan kearifan dan keindahannya. Bagaimana dengan manusia? Boleh saja Anda berargumen lain. Bagi saya, manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang sebelum dilahirkan, sudah disiapkan dengan benih-benih dan lahan-lahan cinta.

Anda dan saya serta kebanyakan manusia sama-sama lahir dari sepasang orangtua, yang sebelum menikah mengenal pengalaman jatuh cinta. Dalam kandungan sang ibu, kebanyakan ibu mengelus-elus bayinya, mengajak calon bayinya berbicara, dan yang paling penting semuanya menggunakan bahasa-bahasa cinta. Ketika kita lahir, sudah menjadi rahasia umum, kalau ibu kita mengorbankan dirinya—bahkan dengan risiko kehilangan nyawa—dan rasa sakitnya yang sangat mendalam, untuk lahirnya seorang bayi. Apa lagi yang membuatnya berani dan ikhlas demikian, kalau bukan karena alasan cinta. Ketika kita masih bayi, hampir semua orang tua memiliki pengalaman begadang menjagai bayinya. Mengorbankan sebagian waktu dan kesempatan untuk memuaskan ego. Semua ini didasari oleh kaidah-kaidah cinta. Banyak orangtua yang rela membanting tulang agar bisa me­nyekolahkan anaknya, membahagiakan anaknya, juga bagian dari kaidah-kaidah cinta. Di setiap kesempatan berduka cita di depan hampir semua kematian, ada saja air mata. Memang ada air mata buaya. Tetapi, kebanyakan air mata yang jatuh di tengah duka kematian adalah air mata penuh cinta.

Manusia hanya bisa hidup kalau ia menghirup udara memakan makanan bergizi, dan memerlukan perawatan orang lain ketika kita sakit. Udara itu ada dan tersedia secara gratis apa lagi kalau bukan karena cinta. Makanan juga demikian. Lebih-lebih ketika manusia sakit, dekapan-dekapan cinta jauh lebih menyembuhkan dibandingkan obat far­masi yang mana pun.

Itu baru menyangkut badan manusia. Jiwa manusia bahkan membutuhkan cinta dalam kadar yang jauh lebih tinggi. Kalau badan makanannya adalah empat sehat lima sempurna, jiwa memerlukan cinta sebagai vitamin yang bergizi. Lebih-lebih mereka yang melakukan pencaharian kesejatian hidup, atau mau hidup dengan tingkat kesempurnaan yang lebih tinggi, atau mau mendekatkan diri kepada Tuhan, cinta adalah satu-satunya kendaraan yang bisa mem­bawa manusia ke sana.

Digabung menjadi satu, totalitas hidup manusia dihidupi, dipelihara dan diintegrasikan oleh spirit-spirit cinta. Ada se­orang dokter yang menjelaskan tubuh manusia dalam dialektika antara bodying the mind dan minding the body. Kadang tubuh mempengaruhi mind. Kadang sebaliknya, mind-lah yang mempengaruhi tubuh. Bagi saya, baik body dan mind diintegrasikan oleh spirit-spirit cinta. Kalau ada yang menyebut bahwa DNA-lah pusat dari tubuh manusia, atau ada juga yang menyebutnya yang lain, bagi saya cinta- lah yang menggerakkan manusia dari awal, dalam proses, sampai dengan titik akhir nantinya.

Kalau tidak percaya, cobalah cermati segala hal yang ada di dalam tubuh Anda, dan semuanya yang memungkinkan tubuh dan jiwa hidup secara sehat. Makanan yang menghi­langkan lapar, buah cinta alam semesta. Udara yang masuk melalui hidung, tersedia gratis karena ada alam yang penuh dnta. Mata yang bisa melihat keindahan, mulut yang men­jadi sarana rasa, hidung yang memungkinkan kita bernapas, semuanya adalah buah-buah cinta.

Masing-masing makhluk ciptaan Tuhan memang berjalan dan bepergian dengan caranya sendiri-sendiri. Anjing biasanya berlari. Ikan senantiasa berenang. Burung terbang 4 udara. Dan manusia, bepergian dalam kehidupan dengan kendaraan-kendaraan cinta. Maka, siapa saja yang hidur tanpa pernah mencintai dan dicintai, ia mirip dengan seeko: burung yang tidak pernah terbang, anjing yang tidak pernah berlari, dan ikan yang tidak pernah berenang. Terbanglah seperti burung, dan Anda pun akan sampai di tempat indat yang sangat jauh.



*Penulis: Gede Prama, Penerbit: PT Elex Media Komputindo


Yuk Bagikan :

Baca Juga

Doa yang Paling Sering Diucapkan Rasulullah
Kamis, 24 November 2016 10:25 WIB
Jika Anda Begini, Istri Anda Bakal Demen
Kamis, 13 Oktober 2016 10:52 WIB
Tinggi Ilmu Namun Rendah Hati
Rabu, 28 September 2016 10:29 WIB
Empat Amalan Surga Dalam Satu Hari
Selasa, 20 September 2016 14:21 WIB