Pesona-Pesona Suka Cita

Selasa, 13 Desember 2011 00:00 WIB | 5.233 kali
Pesona-Pesona Suka Cita Salah seorang seniman jempolan yang kerap menyentak pikiran saya, adalah seniman besar India yang bernama Kabir. Di satu kesempatan, ia menulis: ’aku tertawa, ketik mendengar ikan mati kehausan di dalam air’. Di satu kesem­patan lain, ia mengejutkan saya dengan ajakannya yang bisa menyentak banyak orang: ’Jangan pergi ke taman bunga! Dalam tubuhmu ada taman bunga’.

Sebenarnya, masih banyak ajakan-ajakannya yang lebih menyentak lagi. Dalam bahasa yang lebih sederhana, Kabir sedang menyarankan kepada kita, kalau tubuh dan jiwa ini menyimpan sumber-sumber suka cita dalam jumlah yang teramat melimpah. Sehingga, ia tertawa kalau menemukan manusia yang hidup menderita. Sebab, ini sama saja dengan ikan yang mati kehausan di dalam air. Di bagian lain, ia juga menertawakan pemuas-pemuas mata yang suka pergi ke taman. Sebab, kenapa mesti mencarinya di luar, kalau di dalam sini semuanya sudah ada?

Terus terang, tidak semua orang siap diajak masuk kedalam wajah kehidupan ala Kabir ini. Sebagian malah mencurigainya sebagai kegiatan yang mengada-ada. Saya pun dulunya pernah mencurigainya demikian. Bagaimana tidak! curiga, di tengah-tengah jutaan orang yang menghabiskan! uang triliunan rupiah untuk berdarmawisata, di tengah-tengah kapitalisme yang merajalela, lengkap dengan pemuas-pemuasnya dari luar, bukankah ide demikian bisa sangat mencurigakan?

Ada seorang peserta seminar yang sangat menolak ide ini. Dikatakannya, membuat kita malas bekerja dan belajar. Lebih dari itu, bisa membuat hidup ini tanpa semangat dan hambar. Titik pandang seperti ini, tentu saja bisa dimaklumi. Terutama, kalau lama dibelenggu dan didikte pemuas-pemuas yang datang dari luar yang ditujukan untuk me-muaskan pancaindra.

Mulut minta makan yang enak. Mata ingin pemandangan yang indah-indah. Hidung hanya mau di tempat yang tidak berbau busuk. Kulit minta ruangan yang ber-AC. Apa lagi yang namanya nafsu-nafsu lain. Semuanya meminta pemuas dari luar. Dan terciptalah mekanisme ketergantungan yang sangat luar biasa.

Sebagaimana kita tahu, di satu sisi pancaindra adalah jembatan yang menghubungkan diri kita dengan alam semesta. Namun, di lain sisi patut disadari, pancaindra juga yang membuat kita sangat dan teramat tergantung pada pemuas-pemuas dari luar. Perhatikan saja orang-orang yang tergan­tung sangat berlebihan pada pemuas dari luar, bukankah mereka didikte pancaindra?

Sebagai jembatan penghubung dengan alam semesta, kita tidak bisa melupakan pancaindra. Namun, sebagai sarana ketergantungan secara sangat berlebihan. pancaindra patut diwaspadai. Dalam kerangka inilah, manusia-manusia seper­ti Kabir bisa dimaklumi dan dimengerti. Ia bisa sampai pada garis-garis pencerahan, terutama melalui keberaniannya un­tuk tidak tunduk dan menyerah begitu saja pada pancaindra.

Terdengar aneh, dan bahkan gila, terutama di mata orang- orang yang belum berhasil bebas dari jeratan pancaindra.

Namun, bagi siapa saja yang berhasil keluar dari jeratan terakhir, ia menemukan pesona-pesona suka cita di mana- mana. Lebih dari sekadar hidup dalam suka cita, orang- orang jenis terakhir memiliki wajah fisik, wajah jiwa dan wajah kehidupan yang teramat berbeda.

Seperti lampu di tengah kegelapan, ia menjadi pusat penerangan bagi banyak orang. Sebut saja sebuah contoh seorang wanita yang bernama Ibu Theresa. Di satu kesempatan, tokoh legendaris ini mengemukakan: ’suka cita itu sangat menawan hati; karena itu, selalulah penuh suka cita’.

Ibu Theresa saya kira benar. Orang-orang yang hidup dalam suka cita wajah dan jiwanya pasti menawan. Awalnya, ia hanya menawan bagi diri sendiri. Kemudian, menawan bagi orang lain-terutama melalui senyum dan wajahnya yang berseri. Lama-lama ia menawan bagi kehidupan, secara lebih khusus melalui rasa syukurnya yang memeluk erat semua aspek kehidupan (baca: suka maupun duka) Dan bukan tidak mungkin, kalau ia juga menawan bagi Tuhan.

Dalam keadaan demikian, benar Kabir, di dalam sini tersedia banyak taman indah, air terjun niagara, matahari terbit yang menawan, dan sumber-sumber suka cita dalam jumlah yang sangat melimpah. Rugi sekali-kira-kira demikian pendapat saya-kalau ada orang hidup yang belum pernah menemukan pesona-pesona suka cita di dalam diri.

Kalau saja kita paham bahwa hambatan terbesar ke sana adalah ketergantungan berlebihan pada pancaindra, untuk kemudian awas akan hambatan terakhir, mungkin banyak orang bisa sampai di sana. Saya memulainya dengan lang­kah-langkah sangat sederhana. Pelan dan perlahan, mengu­rangi makan berlebihan. Kerap malah berhenti makan ketika sedang enak. Sejak dulu, hanya berwisata bersama keluarga dalam frekuensi yang tidak terlalu sering. Keluarga saya,

jarang ada malam minggu di mana kita pergi ke luar ber­sama. Kebanyakan waktu dialokasikan untuk bersama-sama di rumah. Dan hampir setiap hari saya bermeditasi untuk penyucian tubuh dan jiwa.

Ini semua memang tidak menjamin Anda bisa kaya secara materi. tidak juga membuat orang otomatis kagum, atau tidak juga membuat kebal dari serangan senjata. Namun mirip dengan keyakinan Kabir, inilah awal dari dunia yang penuh dengan pesona-pesona suka cita. Atau serupa de­ngan pendapat Ibu Theresa, inilah awal dari suka cita yang sangat menawan. Anda tertarik?

 

*Penulis: Gede Prama, Penerbit: PT Elex Media Komputindo



Yuk Bagikan :

Baca Juga

Doa yang Paling Sering Diucapkan Rasulullah
Kamis, 24 November 2016 10:25 WIB
Jika Anda Begini, Istri Anda Bakal Demen
Kamis, 13 Oktober 2016 10:52 WIB
Tinggi Ilmu Namun Rendah Hati
Rabu, 28 September 2016 10:29 WIB
Empat Amalan Surga Dalam Satu Hari
Selasa, 20 September 2016 14:21 WIB