Salah
seorang seniman jempolan
yang kerap menyentak pikiran saya, adalah seniman besar India yang bernama Kabir. Di satu kesempatan, ia menulis: ’aku tertawa, ketik mendengar ikan mati kehausan di dalam air’.
Di satu kesempatan lain,
ia mengejutkan saya dengan ajakannya
yang bisa menyentak banyak orang: ’Jangan pergi ke taman
bunga! Dalam tubuhmu ada taman bunga’.
Sebenarnya,
masih banyak ajakan-ajakannya yang lebih menyentak lagi. Dalam bahasa yang lebih sederhana, Kabir sedang menyarankan kepada
kita, kalau tubuh dan jiwa ini menyimpan sumber-sumber suka cita dalam jumlah
yang teramat melimpah. Sehingga, ia tertawa kalau menemukan manusia yang hidup
menderita. Sebab, ini sama saja dengan ikan yang mati kehausan di dalam air. Di
bagian lain, ia juga menertawakan pemuas-pemuas mata yang
suka pergi ke taman. Sebab, kenapa mesti mencarinya di luar, kalau di dalam sini semuanya sudah ada?
Terus
terang, tidak semua orang siap diajak masuk kedalam wajah kehidupan ala Kabir ini. Sebagian malah
mencurigainya sebagai kegiatan yang
mengada-ada. Saya pun dulunya pernah mencurigainya
demikian. Bagaimana tidak! curiga, di tengah-tengah jutaan orang yang
menghabiskan! uang triliunan rupiah untuk berdarmawisata, di tengah-tengah kapitalisme
yang merajalela, lengkap dengan pemuas-pemuasnya dari luar, bukankah ide
demikian bisa sangat mencurigakan?
Ada seorang peserta seminar yang sangat menolak ide
ini. Dikatakannya, membuat kita malas bekerja dan
belajar. Lebih dari itu, bisa membuat hidup ini tanpa semangat dan hambar. Titik pandang seperti ini, tentu saja
bisa dimaklumi. Terutama, kalau lama dibelenggu dan
didikte pemuas-pemuas yang datang dari luar yang ditujukan untuk me-muaskan
pancaindra.
Mulut
minta makan yang enak. Mata ingin pemandangan yang indah-indah. Hidung hanya
mau di tempat yang tidak berbau busuk. Kulit minta ruangan yang ber-AC. Apa
lagi yang namanya nafsu-nafsu lain. Semuanya
meminta pemuas dari luar. Dan terciptalah mekanisme ketergantungan yang sangat luar biasa.
Sebagaimana
kita tahu, di satu sisi pancaindra adalah jembatan yang menghubungkan diri kita dengan alam semesta. Namun, di lain sisi patut disadari, pancaindra juga yang membuat kita
sangat dan teramat tergantung pada pemuas-pemuas dari luar. Perhatikan saja orang-orang yang tergantung
sangat berlebihan pada pemuas dari luar, bukankah mereka didikte pancaindra?
Sebagai
jembatan penghubung dengan alam semesta, kita tidak bisa melupakan pancaindra.
Namun, sebagai sarana ketergantungan secara sangat berlebihan. pancaindra patut
diwaspadai. Dalam kerangka inilah, manusia-manusia seperti Kabir bisa
dimaklumi dan dimengerti. Ia bisa sampai pada garis-garis pencerahan, terutama
melalui keberaniannya untuk tidak tunduk dan menyerah begitu saja pada
pancaindra.
Terdengar aneh, dan
bahkan gila, terutama di mata orang- orang yang belum berhasil bebas dari
jeratan pancaindra.
Namun, bagi siapa
saja yang berhasil keluar dari jeratan terakhir,
ia menemukan pesona-pesona suka cita di mana- mana. Lebih dari sekadar hidup
dalam suka cita, orang- orang jenis terakhir memiliki
wajah fisik, wajah jiwa dan wajah kehidupan yang teramat berbeda.
Seperti
lampu di tengah kegelapan, ia menjadi pusat penerangan bagi banyak orang. Sebut saja sebuah contoh
seorang wanita yang bernama Ibu Theresa. Di satu kesempatan,
tokoh legendaris ini mengemukakan: ’suka cita itu sangat menawan hati; karena itu, selalulah penuh suka cita’.
Ibu
Theresa saya kira benar. Orang-orang
yang hidup dalam suka cita wajah dan jiwanya
pasti menawan. Awalnya, ia hanya menawan bagi
diri sendiri. Kemudian, menawan bagi orang lain-terutama melalui senyum dan wajahnya yang berseri. Lama-lama ia menawan bagi
kehidupan, secara lebih khusus melalui rasa syukurnya
yang memeluk erat semua aspek kehidupan
(baca: suka maupun duka) Dan bukan tidak mungkin, kalau ia juga menawan
bagi Tuhan.
Dalam
keadaan demikian, benar Kabir, di dalam sini tersedia banyak taman indah, air terjun niagara,
matahari terbit yang menawan, dan sumber-sumber suka
cita dalam jumlah yang sangat melimpah. Rugi sekali-kira-kira demikian
pendapat saya-kalau ada orang hidup yang belum pernah menemukan pesona-pesona suka cita di dalam diri.
Kalau
saja kita paham bahwa hambatan terbesar ke sana adalah ketergantungan berlebihan pada pancaindra, untuk
kemudian awas akan hambatan terakhir, mungkin banyak orang bisa sampai di sana. Saya memulainya dengan langkah-langkah
sangat sederhana. Pelan dan perlahan, mengurangi makan berlebihan. Kerap malah
berhenti makan ketika sedang enak. Sejak dulu, hanya berwisata bersama
keluarga dalam frekuensi yang tidak terlalu sering.
Keluarga saya,
jarang
ada malam minggu di mana kita pergi ke
luar bersama. Kebanyakan waktu dialokasikan untuk bersama-sama di rumah.
Dan hampir setiap hari saya bermeditasi untuk penyucian tubuh dan jiwa.
Ini
semua memang tidak menjamin Anda bisa kaya secara materi. tidak juga membuat
orang otomatis kagum, atau tidak juga membuat kebal dari serangan senjata.
Namun mirip dengan keyakinan Kabir, inilah awal dari
dunia yang penuh dengan pesona-pesona suka cita. Atau serupa dengan pendapat
Ibu Theresa, inilah awal dari suka cita yang sangat menawan. Anda tertarik?
*Penulis:
Gede Prama, Penerbit: PT Elex Media Komputindo