Akhir Januari 2001, di salah
satu kesibukan kantor yang rutin sambil mendengarkan radio Delta FM Jakarta,
tiba-tiba suara seorang penyiar wanita menyebutkan nama
saya, dan kemudian membacakan resume salah satu
tulisan saya yang berjudul Tuhan tidak pernah benar`. Ringkasnya, tulisan ini berisi sebagian kisah hidup
saya-zaman dulu-yang sangat menuntut pada Tuhan. Ketika jadi staf, mau jadi
manajer. Setelah jadi manajer, dan merasakan beratnya kerja sebagai manajer,
maka salah lagilah Tuhan, dan seterusnya tanpa mengenal habis.
Anda boleh menggunakan kata
kebetulan dalam kejadian ini. Bagi saya, tidak ada yang kebetulan dalam hidup
ini. Demikian juga dengan pesan penyiar wanita di atas yang membacakan ide saya
sendiri. Ia hadir di hari, jam, dan detik yang sangat pas. Persis ketika saya
berhadapan pada masalah besar, memohon petunjuk Tuhan, eh tidak lama kemudian
terdengar suara wanita di radio seperti di atas.
Anda boleh percaya boleh tidak,
saya mengalami kejadian serupa dalam frekuensi yang sangat sering. Ketika
pertama kali membaca ide orang, yang mengatakan bahwa Tuhan
berkomunikasi dengan kita setiap hari-terutama melalui kejadian-kejadian
yang lewat di depan kita-saya sempat tidak percaya. Sekarang,
setelah kejadian-kejadian seperti di atas sering hadir berkunjung, rasanya ide
tentang bertemu Tuhan setiap hari, bukanlah sebuah isapan jempol.
Lebih dari sekadar bertemu
Tuhan, dengan penuh rasa
syukur saya ingin bertutur kepada
Anda, dalam kehidupan saya, Tuhan sudah teramat baik kepada saya dan keluarga.
Dengan tidak ada maksud menyombongkan diri, di umur saya yang baru 38 tahun (pada tahun 2001) pada hampir semua segmen kegiatan yang
saya kerjakan, saya sampai di tempat yang relatif tinggi. Sebagai penulis, saya
menulis rutin di empat media yang sangat diperhitungkan (Media Indonesia, Warta
Ekonomi, Infobank, dan detikcom). Dan sebagian dari buku dan kaset saya
menempati posisi bestseller. Sebagai pembicara publik, tabloid Job menyebut saya salah satu pembicara publik termahal. Dan
telah diundang oleh perusahaan-perusahaan papan atas seperti IBM. Telkom, dan Citibank. Sebagai seorang pekerja di perusahaan, saya telah dipilih
jadi orang nomor satu (Presiden dan CEO) di salah satu perusahaan swasta dengan
ribuan karyawan, sebuah kursi jabatan yang menjadi cita-cita hampir setiap pekerja di perusahaan. Sebagai suami dan ayah tiga anak,
jelek-jelek begini juga sering memperoleh predikat suami dan ayah teladan oleh
penghuni mmah.
Dengan seluruh kinerja ini, ada
yang bertanya kepada saya, bagaimana saya bisa sampai di tangga seperti ini? Anda boleh beragumen lain bagi saya keberhasilan hanyalah persoalan bagaimana
menjadi orang dengan kemampuan yang tepat, di tempat dan waktu yang tepat.
Tidak banyak orang yang bisa mengatur
hal terakhir ini, dan saya pun tidak bisa mengaturnya demikian. Sering terjadi,
tiba-tiba saja saya berada pada waktu dan tempat dimana kemampuan sayalah yang paling dibutuhkan. Dan saya yakin, siapa lagi yang
membuatnya demikian, kalau bukan yang Maha Tinggi.
Coba bayangkan
hubungan Anda dengan orang-orang terdekat. Kedekatan hanya bisa dibina kalau
kita intensif berkomunikasi. Lebih-lebih kalau komunikasi dilakukan dengan
penuh senyum, rendah hati, dan penuh keikhlasan. Demikian juga dengan komunikasi
kita dengan yang Maha Tinggi. Oleh karena itu, saya tidak heran kalau seniman
besar Rabin Dranath
Tagore pernah menulis: `kita bertemu yang Maha Tinggi, ketika kita
rendah hati`.
Pengertian `Maha Tinggi` terakhir,
demikian kehidupan saya bertutur, tidak saja berarti surgawi dalam bentuk
Tuhan, tetapi juga bermakna duniawi. Jabatan yang tinggi, reputasi yang tinggi,
nama yang diperhitungkan orang, adalah rangkaian ketinggian yang bisa
dipersembahkan oleh sikap rendah hati.
Majalah SWA edisi 21 Februari
2001, pernah memberitakan bahwa prestasi saya mencapai posisi CEO di perusahaan
swasta milik warga keturunan, sebagai sesuatu yang mengagetkan. Sebab, sangat
jarang orang melayu seperti saya ini bisa duduk setinggi ini. Dan ketika
ditanya apa modal saya, tidak ada modal lain selain
sikap rendah hati.
Terdengar enteng, enak, dan
mudah. Tetapi tidak demikian halnya bagi yang melakukannya. Sikap rendah hati
tidak turun dari langit, gratis lagi. Ia adalah
rangkaian perjuangan yang sangat menyakitkan. Siapa saja yang mempelajari
hidup penuh dengan kerendahan hati, sebaiknya siap membayar harganya yang
mahal.
Izinkan saya bercerita tentang
harga-harga mahal yang pernah saya bayar. Gengsi, harga diri, wibawa, karisma
adalah sebagian hal yang siap untuk diinjak-injak orang di awal-awal pencarian.
Tidak jarang bahkan berakhir dengan sakit hati, insomia dan bahkan risiko
impoten.
Akan tetapi, apa pun dan berapa pun ongkos serta biayanya,
imbalan yang dihadirkan di balik semua ini. adalah kemungkinan untuk bertemu
dengan yang Maha Tinggi. Saya melakukannya dengan menghormati sebanyak mungkin
orang, menjaga jangan sampai kesombongan menjadi kekuatan yang memimpin,
menyadari bahwa setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan, menabung tindakan-tindakan
kecil yang tidak dikenal, dan yang paling penting diri saya hanya berguna bila ada orang lain yang menilainya demikian. Anda bebas memilih cara Anda
sendiri.
*Penulis:
Gede Prama, Penerbit: PT Elex Media Komputindo